harapanrakyat.com,- Busung lapar akibat krisis pangan di Indonesia terjadi selama perang kemerdekaan (1945-1949). Pada masa peperangan itu seluruh lumbung penghasil beras berhenti.
Para petani khawatir menjadi bulan-bulanan musuh (kolonial Belanda). Tak jarang dari kelompok mereka (petani) ada juga yang bergabung dengan laskar pembela tanah air. Mereka lupa dengan profesinya sebagai penyambung kehidupan.
Akibat hal kecil inilah, krisis pangan mulai melanda berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kesulitan mendapatkan bahan pangan membuat masyarakat pribumi kelaparan. Mereka menahan lapar sampai mati.
Perut membesar dan tulang tangan serta kaki semakin jelas terlihat merupakan ciri-ciri penyakit busung lapar.
Masyarakat yang terimbas busung lapar banyak bergelandangan di pinggiran kota. Mereka meminta bantuan untuk mendapatkan makanan. Pengidap busung lapar mengemis di tengah peperangan.
Sejumlah laporan kesehatan yang diterbitkan oleh Palang Merah Indonesia zaman kemerdekaan, para pengidap busung lapar terancam mati. Sebab, imunitas tubuhnya semakin hari semakin tertindas.
Akibat faktor inilah para pengidap busung lapar sering terserang ragam jenis penyakit. Dari penyakit itulah yang membuat mereka mati dengan cara mengenaskan.
Baca Juga: Wabah Malaria yang Mematikan Saat Lebaran Idul Fitri di Pangandaran Tahun 1930
Krisis Pangan di Indonesia Timbul dari Konsekuensi Peperangan
Selain membuat sebagian besar para petani beralih profesi menjadi pejuang kemerdekaan, peperangan sepanjang tahun 1945-1949 juga beresiko menimbulkan krisis pangan dalam bentuk lain.
Ini semua terjadi sebagai konsekuensi dari peperangan. Misalnya, karena ada peperangan sebagian lumbung padi yang dulunya digarap oleh petani, dialihkan kepada pihak Belanda.
Apalagi setelah Belanda memenangkan Perjanjian Linggarjati, mereka menguasai wilayah Jawa, termasuk lumbung berasnya yang melimpah ruah.
Akibat peristiwa ini, maka satu hal yang paling mungkin terjadi adalah krisis pangan. Khususnya bagi masyarakat pribumi kala itu, mereka harus menerima kesulitan mencari bahan pangan sebagai resiko revolusi.
Meskipun banyak yang menderita penyakit busung lapar akibat krisis pangan, rakyat Indonesia umumnya tidak mempedulikan fenomena tersebut. Mereka ingin segera merdeka, mengusir Belanda dari tanah leluhurnya.
Menariknya, banyak wanita-wanita asal Belanda yang simpati mengurus pengidap busung lapar. Mereka merawat pasiennya dengan baik.
Mulai dari pengobatan hingga pemenuhan gizi yang tepat. Bagi mereka peperangan hanya menimbulkan dampak yang buruk untuk kehidupan.
Baca Juga: Manuskrip Kuno Babad Makukuhan, Cerita Kehidupan Masyarakat Agraris di Babakan Pangandaran
Mengganti Nasi dengan Singkong dan Ubi
Melansir akun instagram @arsip_indonesia, krisis pangan yang terjadi di Indonesia pada zaman kemerdekaan membuat sebagian penduduk pribumi terpaksa mengganti nasi dengan singkong dan ubi.
Jika mereka tidak mendapatkan nasi, maka singkong atau ubi yang menjadi harapan perutnya. Atau ada juga dari beberapa contoh kasus yang memanfaatkan nasi bulgur untuk memenuhi nutrisinya setiap hari.
Namun, kandungan nasi bulgur buruk untuk pencernaan. Sebab, nasi tersebut merupakan beras sisa yang sudah tercampur dengan berbagai bentuk kotoran.
Kendati begitu, mereka terpaksa memakan nasi bulgur karena biasanya kesulitan pula mendapat singkong dan ubi.
Jika semua alternatif pangan tidak tersedia, biasanya mereka akan puasa. Hanya minum dan memakan tumbuhan yang bisa dimakan, sembari berharap ada bantuan beras, singkong, dan ubi yang datang padanya.
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa krisis pangan inilah yang sulit dilupakan oleh mereka yang pernah mengalami hidup di zaman kemerdekaan.
Baca Juga: Budidaya Ikan Air Tawar di Cikalong Tahun 1956, Bibit Terbaiknya Berasal dari Ciamis
Bergelandangan di Tengah Kota
Menurut sejumlah surat kabar Belanda yang terbit pada zaman kemerdekaan, setiap penderita busung lapar sering terlihat bergelandangan di tengah kota. Mereka seperti orang yang kehilangan rumah dan keluarga.
Biasanya mereka tinggal di emperan toko milik orang Tionghoa. Jika hujan turun mereka akan berpindah mencari tempat untuk berteduh.
Tak jarang beberapa wartawan Belanda menjumpai penderita busung lapar terkulai lemas tak bernyawa di sudut gang kota besar di Pulau Jawa.
Entah apa yang menyebabkan mereka bergelandangan di tengah kota. Tapi secara pasti penderita busung lapar keluar dari rumah, jauh dari keluarga (atau tidak hidup sebatang kara) karena hendak mencari makanan.
Mereka lapar dan berharap jika pergi ke pusat kota akan memperbaiki nasibnya menjadi lebih baik. Namun, harapan itu gagal, mereka tidak bisa menemukan secuil pun nasi atau singkong dan ubi.
Mereka tetap kelaparan, bahkan parahnya lagi kondisi perut di tubuhnya semakin membusung.
Busung lapar akibat krisis pangan di Indonesia yang terjadi selama perang kemerdekaan (1945-1949) menjadi salah satu catatan sejarah kelam bangsa ini. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)