harapanrakyat.com,- Tradisi sawer panganten di Pangandaran merupakan budaya sakral pernikahan warisan leluhur orang Parigi. Menurut sejumlah sumber sejarah, kemunculan tradisi sawer ini sudah ada sejak awal abad ke-20 Masehi.
Pada tahun 1919-1920, tradisi pernikahan golongan menak menjadi tren popular di lingkungan orang Sunda. Budaya ini menjamah berbagai wilayah di Priangan Timur, salah satunya Pangandaran.
Banyak masyarakat pribumi mencontoh tradisi pesta pernikahan layaknya golongan menak. Awalnya hanya main-main, namun seiring dengan berjalannya waktu, leluhur dari orang Parigi mencontohkan tradisi sawer panganten dalam adat pernikahan rakyat pribumi biasa.
Konon tradisi sawer panganten adalah salah satu rangkaian upacara pernikahan yang sering dilaksanakan dalam keluarga menak.
Awalnya tradisi ini tabu, karena yang bisa menjalankan upacara sawer panganten keluarga ningrat. Namun, setelah berjalan lebih dari satu dekade, tradisi sawer panganten beradaptasi dengan budaya setempat.
Tidak ada orang selain leluhur orang Parigi yang berani mengadaptasi sebagian tradisi pernikahan sakral dari golongan menak.
Bagi orang Parigi, sawer panganten menjadi tradisi yang sangat penting. Selain sacral, tradisi ini juga menyimpan banyak simbol yang berarti.
Baca Juga: Merawat Tradisi Gotong Royong di Cigadung Kota Banjar, Ngala Suluh buat Hajatan
Tradisi Sawer Panganten di Pangandaran, Budaya Pernikahan Warisan Leluhur Orang Parigi
Menurut Yadi Kusmayadi dalam Jurnal Agastya, Vol. 8, No. (2) Juli 2018 berjudul “Tradisi Sawer Panganten Sunda di Desa Parigi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran”, tradisi tersebut merupakan budaya sakral pernikahan warisan leluhur orang Parigi.
Yadi menyangkal jika tradisi sawer panganten berasal dari budaya menak tahun 1919-1920. Menurutnya, tradisi tersebut sudah ada jauh sebelum orang-orang Barat datang menjajah Negeri Pasundan.
Leluhur orang Parigi sangat anti meniru. Hal inilah yang membuat peneliti ragu jika tradisi sawer panganten berasal dari budaya menak.
Dalam temuannya Yadi mengatakan, menurut kepercayaan masyarakat Desa Parigi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur mereka.
Orang Parigi punya kepercayaan jika sesuatu yang tidak dilakukan leluhurnya dianggap sesuatu yang tabu dan tak patut ditiru.
Kesimpulannya, tradisi sawer panganten di Pangandaran berasal dari leluhur orang Parigi. Terlepas dari stratifikasi sosial saat itu, tampaknya kaum menak belum popular sebagai golongan yang mendominasi struktur masyarakat di Parigi. Karena fenomena menak baru terjadi awal abad ke-20 Masehi.
Baca Juga: Kisah Desa di Pangandaran, Makmur Sejak Zaman Belanda
Mempercayai Hari Baik Perkawinan
Tidak hanya sawer panganten, orang Parigi juga mempercayai hari baik untuk pelaksanaan perkawinan. Biasa mereka menghitung tanggal sebelum penentuan akad nikah.
Mereka juga akan meminta tanggal nikah itu pada sosok yang dituakan (tokoh spiritualis). Biasanya figur ini akan memberikan beberapa tanggal di bulan Syawal.
Perhitungan tanggal untuk melangsungkan akad nikah yang baik dihitung dari tanggal kelahiran sepasang calon pengantin.
Kebanyakan tokoh spiritual di Parigi akan melarang pernikahan pada bulan Safar dan Ramadhan.
Selain bulan Syawal, pernikahan yang baik akan dilaksanakan pada hari setelah Lebaran Idul Fitri dan hari menjelang Lebaran Idul Adha.
Tradisi ini boleh dipercaya atau tidak oleh kita. Tetapi yang jelas sebagian besar masyarakat Parigi masih meyakini hingga saat ini.
Tradisi menentukan hari baik untuk pernikahan menjadi salah satu budaya di Pangandaran yang harus tetap lestari dan dipertahankan.
Baca Juga: Tradisi Jamasan di Ciamis, Ritual Bersihkan Pusaka Kerajaan Galuh yang Berusia Ratusan Tahun
Pamali, Resiko Tidak Melaksanakan Tradisi Sawer Panganten
Masih menurut Yadi Kusmayadi (2018), konon salah satu resiko tidak melaksanakan tradisi sawer panganten sesudah ijab kabul pernikahan, maka kedua mempelai riskan terkena pamali.
Entah apa yang dimaksud dengan pamali. Tetapi jika kita sangkut pautkan dengan cerita rakyat, pamali bisa diartikan sebagai kutukan yang disebabkan oleh tindakan melanggar pantangan.
Masyarakat Parigi percaya jika ada pengantin setelah menikah tidak melakukan sawer panganten, maka di hari depan akan mendapat musibah.
Namun sekali lagi, ini merupakan kepercayaan lokal (mitos) yang keberadaannya boleh dipercaya atau tidak.
Tetapi akibat mitos tersebut, banyak orang Parigi yang tidak menyepelekan rangkaian upacara sawer panganten setelah ijab kabul.
Biasanya pengantin akan memberi uang koin berikut beras yang telah dijampi-jampi oleh juru sawer dengan cara dilempar.
Setelah tradisi sawer dilakukan, maka kedua pengantin tadi akan melanjutkan upacara nincak endog, cuci kaki (pengantin pria).
Tradisi sawer panganten di Pangandaran yang merupakan warisan leluhur orang Parigi itu diakhiri dengan adat buka pintu. Yakni tanya jawab pihak pengantin laki-laki ke pengantin perempuan. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)