Sejarah mencatat, pada tahun 1920-1962 daerah Banjar Patroman, Jawa Barat pernah menjadi pusat produksi getah karet terbesar di Priangan Timur.
Banjar Patroman memiliki perkebunan karet yang luas dan berkualitas, tak heran pemerintah kolonial saat itu menjadikan daerah ini menjadi sentral pemasok karet terkemuka di Hindia Belanda.
Adapun bagian wilayah Banjar Patroman yang menjadi sentral perkebunan karet pada zaman Belanda dulu adalah daerah Batulawang. Tempat tersebut sampai saat ini terkenal dengan perkebunan karetnya yang terhampar luas.
Konon perkebunan karet di Batulawang membuat jumlah penduduk daerah Banjar Patroman meningkat secara drastis. Sebab dengan adanya perkebunan karet disana, maka dengan sendirinya mengundang para pekerja untuk menetap di Banjar.
Apalagi setelah perkebunan karet di Batulawang diperluas oleh pemerintah kolonial melalui dana perusahaan swasta. Banyak kemudian orang-orang dari luar Banjar yang menetap di beberapa wilayah perkebunan karet yang telah diperluas hingga ke daerah Banjarsari, dan Padaherang.
Maka jika kita telusuri hingga saat ini banyak keluarga di perkampungan Batulawang, Banjarsari, dan Padaherang yang bukan warga asli disana. Kemungkinan besar mereka adalah anak atau cucu dari leluhurnya yang dahulu bekerja menjadi buruh di perkebunan karet Batulawang.
Baca Juga: Kisah Djoeminta, Robin Hood dari Ciamis
Sejarah Banjar Patroman dan Kisah Buruh Perkebunan Karet yang Berasal dari Daerah Ciamis dan Jawa Tengah
Menurut S. Budi Santoso dalam laporan ilmiah berjudul, “Konsep Kebersihan dan Kotor pada Lingkungan yang sedang Mengalami Perubahan di Kecamatan Banjar, Jawa Barat dan Kecamatan Ngadirejo Jawa Tengah” (1990), kebanyakan buruh di perkebunan karet Batulawang berasal dari daerah Ciamis dan Jawa Tengah.
Adapun beberapa daerah lain yang saat itu disinyalir menjadi penyadap getah karet terbanyak di Batulawang berasal dari daerah Panatasan dan Lakbok.
Mereka datang untuk menjadi buruh di perkebunan karet, namun karena sudah kerasan maka para petani karet itu mulai menetap di sekitar perkebunan karet Batulawang.
Tidak hanya di daerah Batulawang, banyak juga para petani karet yang datang dari berbagai daerah tersebut yang kemudian menetap di perkebunan karet yang berada di Banjarsari, dan Padaherang.
Mereka kemudian mendirikan bangunan tetap di sana, dan hingga saat ini kemungkinan besar jejak peninggalan itu masih bisa ditemukan.
Menurut S. Budi Santoso (1990), konon para petani karet yang menetap di Batulawang disebut dengan masyarakat Patroman II. Sebab daerah Batulawang masih menjadi bagian dari Banjar, sedangkan wilayah Banjar Kota disebut dengan Patroman I.
Produksi Karet di Batulawang Memuncak Tahun 1948-1962
Selanjutnya sejarah juga mencatat, ketika zaman kolonial Hindia sudah terlewati maka bukan berarti peminat karet di Batulawang, Banjar Patroman berhenti. Justru pada tahun 1948-1962 permintaan karet dari berbagai daerah dan negara meningkat. Perkebunan karet di Banjar Patroman II pun semakin eksis dan terkenal.
Baca Juga: Kisah Patih Demang Sukma Amijaya, Santri yang Diangkat Jadi Pejabat Kolonial di Tasikmalaya
Merujuk dari berbagai laporan perkebunan karet, permintaan yang besar tahun 1948-1962 berasal dari perusahaan transportasi. Karet ini nantinya akan dibuat menjadi ban mobil dan motor, adapun pengimpor karet dari Batulawang banyak dari negara Eropa, salah satunya Inggris, Belanda, dan Jerman.
Karena jumlah permintaan yang semakin hari semakin banyak, maka industrial karet di Batulawang kerap dilirik oleh investor asing.
Mereka ingin menanam saham di perkebunan tersebut, namun karena Indonesia pada tahun 1950 melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda, maka investor itu gagal menanam saham di perkebunan tersebut.
Sedang pada tahun 1962 pemerintah Indonesia sedang mengalami kesulitan ekonomi. Persoalan ini juga berdampak pada permintaan karet dari importir, mereka tidak ingin mengambil karet dari negara yang sedang susah dalam hal ekonomi. Sebab sudah bisa dipastikan persoalan itu akan berdampak pada harga karet yang lebih mahal dari biasanya.
Perkebunan Karet Batulawang Mewariskan Bangunan Berarsitektur Kolonial
Masih menurut S. Budisantoso (1990), perkebunan karet di Batulawang telah mewariskan beberapa bangunan beraristektur kolonial yang kuat. Antara lain beberapa bangunan tersebut hingga saat ini masih berdiri kokoh seperti, mess perkebunan karet di Cisaga, dan Ciaren.
Baca Juga: Sejarah Gunung Tangkuban Perahu, Wisata Favorit Sejak Zaman Belanda
Selain itu bangunan kolonial yang kala itu memegang posisi paling penting terletak di daerah Lemahneundeut. Bangunan tersebut dulunya ditempati oleh administratur karet yang mengurusi perkebunan karet di Batulawang dan beberapa cabangnya di berbagai wilayah lain.
Saat ini bangunan-bangunan peninggalan kolonial di perkebunan karet Batulawang menjadi bagian dari bangunan cagar budaya yang dilindungi. Oleh karena itu perbaikan pun hanya bisa dilakukan seusai dari arahan pemerintah.
Bangunan peninggalan kolonial di perkebunan karet Batulawang ini menjadi saksi kekayaan alam Banjar Patroman. Selain itu daerah tersebut juga berjasa pada pemerintah kolonial, sebab sebagian dana pembangunan di Priangan Timur berasal dari hasil penjualan getah karet. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)