Saleh Iskandar Puradisastra adalah seorang lelaki berperawakan tegap yang akrab disingkat namanya menjadi SI Puradisastra. Ia merupakan seorang sastrawan revolusioner Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat.
Namanya tercatat aktif sebagai anggota Lekra sejak tahun pertama lembaga kebudayaan milik PKI itu berdiri. Bahkan jauh sebelum PKI tahun 55’ menjadi partai besar di Indonesia, Puradisastra sudah aktif dan menjadi tokoh penting dalam pemberontakan PKI 1926 di Banten.
Tidak seperti kebanyakan tokoh PKI yang terkenal karena politik praktisnya yang berapi-api, SI Puradisastra justru terkenal karena media politiknya melalui sastra.
Salah satu karya sastra Puradisastra yang terkenal dalam pergaulan kiri zaman itu berjudul, “Esai Perkembangan Kesusastraan Indonesia”.
Baca Juga: Cerita PKI Kalah Pemilu di Ciamis, Bikin DN Aidit Kesal
Selain itu, Puradisastra juga terkenal karena berbagai sajak-sajak revolusionernya yang terbit dalam majalah Gema Tanah Air. Banyak pembaca yang terkesima dengan sajak karya Puradisastra. Konon sajak tokoh kiri asal Ciamis ini bisa membangkitkan semangat juang rakyat kecil.
Namun pada tahun 1965 nama Puradisastra menghilang. Berbagai surat kabar menyebut Puradisastra ikut terdaftar menjadi salah satu tokoh penting PKI yang dibuang ke pulau Buru oleh pemerintah Orde Baru.
Kisah SI Puradisastra, Sastrawan Lekra Asal Ciamis Membangun Kekuatan PKI di Banten
Menurut buku “Pemberontakan November 1926” (1980), perjalanan SI Puradisastra dalam PKI terbilang punya jam terbang yang jauh ketimbang Aidit dan kawan-kawan lainnya.
Beberapa sejarawan mengatakan SI Puradisastra merupakan tokoh PKI angkatan Semaun, Darsono, dan Musso.
Pernyataan ini didukung oleh peristiwa pemberontakan PKI pada bulan November 1926 di daerah Banten. Konon salah seorang agitator penyebab kerusuhan ini adalah SI Puradisastra yang sangat dibenci oleh pemerintah kolonial Belanda.
Puradisastra rupanya tidak bekerja sendiri untuk melakukan pemberontakan tersebut. Ia mendapat dukungan dari dua tokoh kiri terkemuka lainnya bernama Achmad Bassaif dan Tubagus Alipan.
Mereka bertiga berhasil membangun kekuatan PKI di Banten menjadi basis massa terbesar yang membuat Belanda ketakutan. Menariknya di tangan ketiga tokoh terkemuka ini, PKI tidak menjadi partai yang alergi dengan agama.
Baca Juga: Bojong Ciamis Basis PKI yang Memberontak Bupati RAA Sastrawinata Karena Pro Belanda
Sastrawan Lekra dari Ciamis ini bersama kawan-kawan lainnya tidak pernah berjuang secara sekuler. Meskipun mereka berada di blok kiri, tapi setiap berjuang meraih kemerdekaan bangsa, Puradisastra, Bassaif, dan Tubagus Alipan selalu berpegang teguh pada ajaran agama.
SI Puradisastra Menjadi Dosen di Moskow
Beralih ke tahun 1950-1960-an, setelah melewati zaman perjuangan Indonesia, nama SI Puradisastra semakin terkenal oleh khalayak publik karena eksistensinya di dunia pendidikan.
Tidak lagi menjadi aktor politik berpengaruh, Puradisastra memilih jadi staff pengajar di perguruan tinggi negeri (Fakultas Sastra Universitas Indonesia).
SI Puradisastra menjadi dosen di jurusan sastra UI. Ia aktif mengajar mahasiswanya dengan semangat kebudayaan khas Lekra. Puradisastra menginginkan semua mahasiswanya bisa membuat esai dan sajak yang revolusioner –membangkitkan semangat nasional.
Pada tahun 1960-an, sastrawan dari Ciamis ini diangkat menjadi salah seorang pengurus inti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi akar rumput PKI yang fokus dalam ranah seni dan budaya. Maka dari itu semangat organisasi ini sampai terbawa ke forum-forum akademis.
Sebelum peristiwa G30S 1965 meletus, SI Puradisastra sempat menjadi dosen tamu di Moskow, Uni Soviet. Tepatnya di Universitas M. V. Lomonosov dari tahun 1962-1964. Ketika menjadi dosen di Moskow, Puradisastra mengajar bahasa dan kebudayaan Asia khususnya Indonesia.
Namun prestasi ini kemudian tidak pernah sampai ke buku-buku pelajaran sejarah generasi sekarang. Padahal peristiwa tersebut merupakan bagian dari catatan berharga putra daerah dari Ciamis yang sukses menjadi pengajar di negeri adikuasa (Uni Soviet –sekarang Rusia).
Baca Juga: Amir Syarifuddin, Pecinta Sastra yang Mati Dieksekusi Bangsa Sendiri
Puradisastra Mendalami Ilmu Agama
Sekembalinya dari Moskow (1964), peristiwa G30S 1965 meletus setahun kemudian. Puradisastra adalah bagian penting dari organisasi akar rumput PKI, maka mau tidak mau ia harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Pasalnya PKI terbukti telah melakukan upaya kudeta kepada Presiden dengan menumbalkan beberapa nama penting perwira di Angkatan Darat. Peristiwa ini akhirnya membuat siapapun yang dahulu terlibat dalam kepengurusan PKI akan diadili oleh negara dengan hukuman paling berat.
Sastrawan Lekra dari Ciamis ini pun menyerah. Puradisastra merasa hidupnya sudah di ambang usia. Ia pun rela jika harus menerima vonis hukuman mati oleh negara. Namun takdir Tuhan berkehendak lain, aparat justru memboyong Puradisastra ke pulau Buru.
Selama di pulau Buru, Puradisastra tidak mendalami lagi dunia perpolitikan –khususnya politik kiri yang menyeretnya hingga ke pulau Buru. Pada masa pengasingan ini, Puradisastra mulai menyempatkan diri belajar ilmu agama.
Selain belajar sendiri pada buku-buku agama yang dikirim oleh aparat ke pulau Buru, sastrawan Lekra dari Ciamis, Jawa Barat ini juga belajar agama secara langsung kepada beberapa tokoh Islam berpengaruh yang kebetulan saat itu mengunjungi pulau Buru.
SI Puradisastra berguru kepada Buya Hamka, Taufik Ismail, Ali Audah, Bambang Pranowo, dan Saifuddin Anshari. Bahkan setelah ia belajar agama pada tokoh Islam terkemuka, Puradisastra membuat buku berjudul, “Islam, Ilmu, dan Kebudayaan Modern”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)