harapanrakyat.com,- Layanan kapal uap di Pelabuhan Pangandaran, Jawa Barat, pada tahun 1919. Kapal uap berbahan bakar batubara berfungsi mengantarkan penumpang dari Pangandaran ke Cilacap, Jawa Tengah.
Konon menurut beberapa catatan kuno, kapal uap yang berjejer lebih dari lima unit di Pelabuhan Pangandaran itu berasal dari subsidi pemerintah kolonial. Belanda membelanjakan anggaran tahunan untuk membeli kapal uap dari pengusaha swasta.
Keberadaan kapal uap di Pelabuhan Pangandaran kala itu tercatat sebagai wahana penumpang pertama. Untuk kebutuhan operasionalnya langsung dibiayai oleh pemerintah kolonial.
Narasi ini juga sekaligus membantah jika pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya menyulitkan hidup pribumi. Karena dilain konteks mereka bahkan memberikan fasilitas untuk memudahkan interaksi sosial antar wilayah.
Tak hanya sampai Cilacap, terkadang jika penumpangnya banyak orang Kebumen, kapal uap tersebut bisa mengantarkan penumpangnya hingga Pelabuhan Pantai Karang Bolong, Jawa Tengah.
Hal ini membuat masyarakat Jawa Barat dengan Jawa Tengah tidak terisolir lagi. Selain itu, dampak adanya transportasi alternatif Pangandaran-Cilacap membuat perekonomian masyarakat di Pananjung maju.
Sebaliknya, banyak juga orang Jawa Tengah yang mengadu nasib ke Pangandaran. Mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Pemerintah Belanda Subsidi Biaya Operasional Kapal Uap di Pelabuhan Pangandaran
Surat kabar De Indier bertajuk “Stoombootdienst Pangandaran-Tjilatjap” yang terbit 10 Desember 1918 merilis bahwa, Pemerintah Hindia Belanda telah mensubsidi biaya operasional kapal uap jurusan Pangandaran-Cilacap.
Kebijakan ini diatur dalam laporan keuangan pemerintah kolonial yang disahkan pada awal Desember 1918.
Dalam laporan tersebut pemerintah menyanggupi untuk membiayai operasional kapal uap yang berada di Pelabuhan Pangandaran. Jumlahnya sebesar 200 gulden setiap bulannya.
Biaya operasional sebesar itu untuk kebutuhan kapal yang meliputi perbaikan kapal, bahan bakar, dan membayar awak kapal berjumlah 3 orang setiap unitnya.
Pemerintah kolonial biasa membayar biaya operasional ini setiap awal bulan kepada pengusaha swasta kapal uap.
Sembari melatih orang pribumi mengemudikan kapal, Pemerintah Belanda juga saat itu mewacanakan pengurangan biaya operasional (subsidi) apabila orang pribumi sudah lihai mengemudikan kapal.
Pemerintah kolonial akan mengurangi biaya operasional sesuai dengan upah rata-rata pegawai pribumi yang setara ambtenaar (pegawai negeri).
Pelabuhan Kapal Uap Ada di Pelabuhan Kalipucang
Baca Juga: Gerombolan DI/TII Mengamuk di Garut 1953, 113 Rumah Dibakar, 5 Warga Sipil Terbunuh
Masih menurut surat kabar De Indier (1918), pelabuhan yang terdapat kapal uap sebetulnya berada di Pelabuhan Kalipucang.
Saat itu Pelabuhan Kalipucang merupakan tempat satu-satunya kapal penumpang berhenti di Pangandaran.
Biasanya kapal uap yang datang dari Cilacap menuju Pangandaran akan melewati bibir Pantai Nusakambangan, dan berhenti di Pelabuhan Kalipucang.
Mereka (penumpang) yang hendak pergi ke Pangandaran akan menumpang mobil umum atau pedati sapi yang searah.
Dengan adanya pelabuhan di Kalipucang, banyak pedagang yang mencari nafkah di sekitar pelabuhan.
Mereka menjajakan berbagai bentuk dagangan, dari mulai makanan ringan sampai nasi bungkus untuk bekal penumpang kapal uap dari Pangandaran ke Cilacap, maupun sebaliknya.
Kebiasaan berdagang itu sampai saat ini masih bisa kita jumpai di Pelabuhan Kalipucang, karena pelabuhan tersebut masih aktif beroperasi.
Biasanya para pedagang akan datang pada waktu jam kapal uap tiba dan berlabuh di Pelabuhan Kalipucang.
Baca Juga: Tragedi Gaplek Singkong Beracun di Cirebon Tahun 1938, 4 Keluarga Petani Miskin Jadi Korban
Pemberlakuan Kapal Uap Secara Resmi Awal Tahun 1919
Dalam catatan kolonial di Priangan Timur, pemberlakuan kapal uap secara resmi di Pangandaran pada awal tahun 1919. Kendati begitu, uji coba kapal uap sudah berlangsung sejak bulan Desember 1918.
Selama masa percobaan, kapal uap sudah lebih dari 10 kali balikan mengantar penumpangnya dari Pangandaran ke Cilacap.
Bahkan pemerintah kolonial tidak memungut iuran sama sekali kepada para penumpang kapal uap. Kebetulan saat itu juga sedang melatih nahkoda dari orang pribumi.
Baru pada Januari tahun 1919 pemerintah kolonial resmi mengesahkan penggunaan kapal uap sebagai alat transportasi umum. Tujuannya untuk memudahkan perjalanan dari Pangandaran ke Cilacap.
Regent Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja menghadiri secara langsung peresmian layanan kapal uap di Pelabuhan Pangandaran. Dalam peresmian ini juga turut hadir perwakilan Regent Priangan dari Bandung.
Gunting pita menandai peresmian layanan kapal uap di Pelabuhan Pangandaran. Setelah itu ditutup dengan nyanyian kebangsaan Belanda berjudul Wilhelmus. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)