Pada tahun 1950 terdapat salah seorang kombatan perang yang tergabung dalam APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) bernama Van Kleef didakwa pengadilan telah melakukan sekutu dengan gerombolan DI/TII di Tasikmalaya, Jawa Barat untuk menghancurkan kedaulatan republik.
Peristiwa ini menggegerkan jagat militer tak terkecuali pasukan Siliwangi. Tak lama setelah pengadilan tersebut mendakwa Van Kleef, pasukan Siliwangi kemudian segera memburu pengikut-pengikutnya dalam tubuh DI/TII yang bersarang di kaki gunung Galunggung.
Pasukan Siliwangi tak kunjung menemukan orang-orang bule (Belanda) yang tergabung dalam DI/TII. Mereka semakin bingung dan hilang arah sehingga mempertanyakan ulang apakah betul apa yang dikatakan oleh salah seorang kaki tangan Kartosoewiryo itu benar –Van Kleef itu ada?
Sedangkan pihak Belanda sendiri tidak pernah mengakui jika mantan kombatan APRA ada yang tergabung dalam DI/TII. Mereka tidak pernah membela musuh yang pernah memeranginya di Tasikmalaya tepat setelah perjanjian Renville dimenangkan oleh pihak Belanda.
Baca Juga: Sejarah DI/TII di Tasikmalaya, Kartosuwiryo Marah Disebut Gerombolan Separatis
Kala itu DI/TII merupakan satuan militer yang ikut membasmi Belanda di Tasikmalaya. Mereka ingin Jawa Barat bebas dari cengkraman Belanda, oleh sebab itu ketika tentara republik kembali ke Jawa Barat, pasukan DI/TII menganggapnya sebagai musuh. Begitupun sebaliknya.
Persekutuan Van Kleef dari APRA dengan Kartosoewiryo DI/TII di Tasikmalaya Menggegerkan Pasukan Siliwangi
Menurut sejumlah sumber, awal mula persekutuan Van Kleef dengan Kartosoewiryo terjadi ketika Kapten Westerling –pemimpin APRA hendak kerjasama menggulingkan republik dengan pasukan DI/TII yang kala itu bermarkas di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Westerling merasa DI/TII memiliki massa yang cukup banyak untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno-Hatta. Ia semakin percaya diri ketika perjanjian Renville pada akhirnya harus memukul mundur tentara Siliwangi ke daerah Jawa Tengah.
Bahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta. Dengan begitu Westerling optimis untuk memenangkan perang apabila bersekutu dengan DI/TII. Kabar persekutuan ini kemudian tersebar luas di kalangan rakyat Jawa Barat, tak terkecuali di dalam keanggotaan tentara Siliwangi.
Mereka geram dan hendak membungkam DI/TII supaya tidak bisa menerima persekutuan Van Kleef dengan Kartosoewiryo. Alhasil pasukan Siliwangi bergegas mempersenjatai diri dan pergi ke hutan untuk bergerilya dan menghancurkan markas-markas gerombolan DI/TII.
Baca Juga: Pemberontakan DI/TII Tahun 1949 di Ciamis, Ajengan Diculik dan Dibantai
Van Kleef dan Kartosoewiryo Sepakat Hancurkan Republik
Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, Van Kleef (kombatan APRA) telah sepakat dengan Imam Besar DI/TII –Kartosoewiryo untuk menghancurkan pemerintahan republik.
Kartosoewiryo sepakat karena jika pemerintah republik hancur, Belanda akan memberikan pengakuan secara de facto bahwa wilayah Jawa Barat jadi daerah milik DI/TII.
Kartosoewiryo pun setuju, ia kemudian mengerahkan pasukannya supaya bekerja sama dengan “orang-orang Van Kleef” untuk melakukan penyerangan pada pasukan republik. Jadi selain harus mengusir Belanda di Indonesia, pejuang revolusi di Tasikmalaya juga akan berhadapan dengan musuh baru yakni –sekutu APRA dengan DI/TII.
Atas dasar kesepakatan itulah Kartosoewiryo kemudian sangat dibenci oleh pasukan republik. Mereka menganggap pasukan Kartosoewiryo sebagai penghianat bangsa. Pasalnya mereka rela menguasai sebagian wilayah RI dengan cara yang kotor –kerja sama dengan militer Belanda.
Peristiwa ini kemudian menjadi pengalaman yang tak pernah tercatat dalam historiografi Indonesia. Padahal kisah penghianatan yang dilakukan oleh bangsa sendiri mengandung pembelajaran bahwa jiwa-jiwa yang serakah tidak akan pernah mendapatkan kemenangan.
Baca Juga: Hajat Tutulak di Kuningan dan Kisah Pemimpin DI/TII yang Kebal Senjata
Pihak Belanda Menuduh Pemerintah RI Melakukan Fitnah
Menurut buku berjudul, “Darul Islam: Sebuah Pemberontakan” (1983), C. van Dijk mengatakan Belanda menuduh pemerintah RI melakukan fitnah. Pasalnya pihak Belanda tidak pernah menemukan kebenaran dari adanya nama Van Kleef.
Apalagi sampai ada isu Van Kleef (anggota APRA) yang bersekutu dengan Kartosoewiryo dalam DI/TII. Pihak Belanda lebih percaya jika figur Van Kleef hanyalah unsur kesengajaan pemerintah RI untuk memancing keluar dua musuh mereka sekaligus (APRA dan DI/TII).
Bahkan C. van Dijk juga pernah mengusulkan kebohongan ini jadi tuntutan untuk memperingan hukuman perang yang mendera Belanda di pengadilan Internasional. Ia juga menceritakan bagaimana APRA sangat berseberangan dengan DI/TII.
Namun pihak republik kekeuh mempercayai adanya persekutuan antara tokoh DI/TII dengan Van Kleef. Mereka juga yakin jika peristiwa penyerangan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950 terdapat campur tangan DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)