R.M. Soetardjo Kartohadikusumo merupakan Gubernur pertama Jawa Barat yang pernah mengalami peristiwa tak mengenakkan. Ia bersama ajudannya sempat digeledah pejuang republik saat hendak pulang menengok keluarganya di Tasikmalaya.
Kejadian yang membuat Soetardjo dan satu ajudannya panik ini terjadi pada tahun 1945. Dimana waktu itu sedang gencar-gencarnya semangat revolusi. Banyak rakyat Indonesia yang mencurigai berbagai gerak-gerik aktivitas di jalan.
Kebetulan waktu itu Soetardjo melewat, benar saja tanpa tedeng aling-aling mereka menghentikan mobil tersebut sambil menghadangnya menggunakan senapan. Pengalaman yang menegangkan ini masih diingat Soetardjo di daerah Cihaurbeuti (Saat ini masuk wilayah Kabupaten Ciamis).
Baca Juga: Sejarah Gunung Tangkuban Perahu, Wisata Favorit Sejak Zaman Belanda
Seperti kebanyakan orang yang dihentikan para pejuang republik, Soetardjo juga diperlakukan sama dengan mereka. Dari mulai menggiringnya ke pos pemeriksaan, hingga dikawal ketat oleh para gerilyawan sambil menodongkan senapan dari belakang.
R.M. Soetardjo Kartohadikusumo, Gubernur Pertama Jawa Barat Disangka Mata-mata Belanda
Dalam buku berjudul “Tjorat-Tjaret dari Djaman ke Djaman” (1960), pemberhentian mobil R.M. Soetardjo oleh pasukan gerilya tak lepas dari dugaan dirinya sebagai mata-mata Belanda. Meskipun Soetardjo sudah menggunakan kendaraan dinas plat D 1, tetap saja mereka ragu.
Para pejuang republik di daerah Cihaurbeuti lantas memeriksa –dengan menyuruh turun sendiri Soetardjo dari mobilnya tanpa ajudan. Ia diperlakukan seperti tawanan perang kendati sebelumnya tidak punya kesalahan apa-apa.
Kejadian ini membuat Soetardjo tegang, sebagaimana manusia normal dalam kondisi yang penuh dengan tekanan konon membuat Soetardjo keluar keringat dingin. Ia terkejut dengan operasi tak terduga akan menghampirinya di daerah Cihaurbeuti.
Sebelum diperiksa oleh pejuang republik Soetardjo sempat memberikan informasi jika dirinya adalah Gubernur Jawa Barat. Perjalanan yang dihentikan gerombolan republik ini bertujuan untuk menengok keluarganya di Tasikmalaya, Soetardjo membantah saat dirinya dituduh spionase Belanda.
Namun penjelasan ini tak membuat pejuang republik sadar, mereka tidak percaya dengan kata-kata Soetardjo. Sambil berkata dalam nada yang tinggi mereka katakan tak perlu takut jika Soetardjo bukan mata-mata Belanda.
Baca Juga: Sejarah Banjar Patroman, Sentral Karet Terbesar di Priangan Timur 1920-1962
Cukup diam dan ikuti alur pemeriksaan, jika nanti lolos pemeriksaan, Soetardjo bisa melanjutkan perjalanan, bahkan diberikan pengawalan.
R.M. Soetardjo Digeledah, Melepas Peci dan Mata Tertutup Kain
Ketika sampai di markas pejuang yang terletak tidak begitu jauh dengan jalan raya, R.M. Soetardjo diberhentikan oleh penjaga untuk kemudian diberikan kain penutup mata. Setelah ini selesai ia kembali digiring ke satu tempat yang merupakan pusat interogasi mata-mata.
Tanpa persetujuan langsung dari Gubernur pertama Jawa Barat itu, penggeledah Soetardjo kemudian melepas peci hitamnya dan mengacak-ngacak rambut untuk menemukan huruf N di atas ubun-ubunya.
Berdasarkan informasi spionase republik, konon jika ada huruf N di atas ubun-ubun seseorang maka bisa dipastikan ia adalah mata-mata tentara Belanda.
N berarti huruf pertama untuk membaca kalimat berbunyi NICA. Pejuang republik sangat percaya jika ada seseorang dengan tato huruf N di atas kepalanya, maka sudah bisa dipastikan orang itu berbahaya. Ia adalah tentara NICA yang bisa mengacaukan pertahanan kaum republik di berbagai wilayah Jawa Barat.
Namun ketika dicari di kepala milik Soetardjo huruf N itu tak kunjung ditemukan. Ia lantas dibebaskan dan menanyakan apa maksud penggeledahan ini. Soetarjo juga sempat sedikit kesal kepada penggledah dan mengatakan, “Apakah Saudara tahu kalau saya Gubernur Jawa Barat?”
Baca Juga: Sejarah Pemilu 1955 di Ciamis, Parpol Tak Boleh Kampanye Sebelum Pemilihan, Kok Bisa?
R.M. Soetardjo Kartohadikusumo: Jadi Gubernur Zaman Revolusi Sangatlah Berisiko
Ketika Gubernur Soetardjo lolos dari penggeledahan pejuang yang menuduhnya sebagai mata-mata Belanda, orang nomor satu di Jawa Barat ini kemudian berkata jika jadi Gubernur di zaman revolusi itu amatlah berisiko.
Jika salah langkah dan tidak penuh dengan ikhtiar serta kesabaran yang kuat, besar kemungkinan persoalan seperti di atas tadi akan berakhir pada pembunuhan. Tak jarang peristiwa ini terjadi di kalangan pejabat publik. Banyak yang tewas terbunuh kombatan revolusi akibat salah sasaran.
Namun karena pengalaman dihadang pejuang karena dianggap mata-mata Belanda membuat Soetardjo sadar jika tingkat kesadaran pejuang revolusi kita begitu tinggi. Dalam hati, Soetardjo bangga punya pasukan laskar yang berisi pemuda mengawal ketat peperangan.
Sebab mungkin tanpa kehadiran mereka kemerdekaan kita bisa direbut kembali oleh Belanda. Selain itu Belanda juga akan menghukum pejabat publik di Indonesia dengan tuduhan makar –melawan pemerintah yang sah dan hendak mendirikan negara illegal. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)