harapanrakyat.com,- Kerusuhan mandor kelapa 1939 merupakan peristiwa konflik sosial yang melibatkan makelar dan petani kopra di Banjar Patroman, Jawa Barat. Kejadian ini menarik perhatian karena peristiwa tersebut nyaris tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Kericuhan mandor kelapa pada tahun 1939 silam memiliki akhir cerita yang membuat kaum petani terangkat.
Pasalnya, peristiwa ini melatarbelakangi petani kopra di Banjar (saat ini Kota Banjar), berunjuk rasa depan Pendopo Kabupaten Ciamis. menolak profesi makelar.
Sungguh kejadian yang luar biasa heroik. Sayang peristiwa ini tidak pernah terekam lengkap dalam historiografi kita saat ini.
Padahal jika melihat lebih dalam lagi, kerusuhan mandor kelapa tahun 1939 mendukung lahirnya jiwa pemberontak bagi para petani di setiap pedesaan wilayah Kota Banjar.
Semangat pemberontakan inilah yang bisa menjadi kekuatan mereka melawan penjajahan Jepang sepanjang tahun (1942-1945).
Bagi para petani kopra di Banjar, profesi makelar sama saja seperti penjajahan. Hal ini membuktikan jika mereka mulai mengerti akan artinya sebuah penjajahan.
Kerusuhan mandor kelapa 1939 berakhir dalam waktu satu bulan. Karena kekuatan petani lebih besar dari para mandor, akhirnya profesi makelar kebun. Khususnya kebun kopra di Banjar, berhasil dihentikan oleh Bupati Ciamis kala itu.
Baca Juga: Pangeran Mekkah Julukan Bupati Sumedang, Terkenal Baik Hati dan Berjiwa Sosial Tinggi
Kerusuhan Mandor Kelapa 1939 dan Dukungan R.A.A. Sastrawinata
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kerusuhan mandor kelapa kala itu telah membuat tatanan petani kopra di Banjar berubah.
Mereka yang awalnya menjadi petani penurut, tiba-tiba memberontak dan menyerang profesi makelar kebun sampai ke akar-akarnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Menurut surat kabar Belanda Algemeen Handelsblad voor Nederland (De Locomotief) berjudul, “Resident naar Bandjar” yang rilis 6 Februari 1939, petani kelapa (kopra) mengamuk di Pendopo Kabupaten Ciamis. Sebab, mereka tidak suka pada sifat mandor kelapa yang sering memonopoli harga kopra.
Dalam pemberitaan surat kabar De Locomotief (1939) menjelaskan bahwa, mandor kelapa memiliki relasi yang kuat dengan Bupati Ciamis R.A.A. Sastrawinata.
Relasi itu kemudian disalahgunakan untuk membujuk petani kopra menjual hasil taninya dengan bayaran yang jauh di bawah harga wajar.
Dari pernyataan itu dapat diketahui penyebab para petani kopra di Banjar Patroman mendemo Pendopo Kabupaten Ciamis.
Baca Juga: Sejarah Rumah Sakit Banjar, Fasilitas Kesehatan yang Sudah Ada sejak Zaman Belanda
Tampaknya karena Bupati R.A.A. Sastrawinata yang kontroversial bermain di belakang mandor. Singkat catatan, Sastrawinata telah menjadi dekeng para makelar yang menindas.
Tertekan Makelar yang Menindas, Petani Kopra Melawan
Meski mendapat dukungan R.A.A. Sastrawinata, namun para petani kopra di Banjar tetap mengadakan perlawanan pada gerombolan makelar/mandor kelapa.
Mereka berunjuk rasa di depan Pendopo Ciamis dengan membawa perkakas kebun yang sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari.
Keadaan ini membuat polisi keamanan pemerintah kolonial Belanda ketar-ketir. Mereka takut jika pertahanannya jebol dan Bupati Sastrawinata bisa kena imbasnya.
Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya bupati kontroversial itu memilih untuk menemui pengunjuk rasa.
R.A.A. Sastrawinata memahami betapa tertekannya mereka oleh perbuatan mandor kelapa. Ketika berdialog dengan petani, Sastrawinata sama sekali tidak menyinggung soal keterlibatannya dengan pekerjaan makelar.
Hal inilah yang membuat petani merasa dibodohi oleh Sastrawinata. Namun, karena kondisi semakin mencekam akibat bertambahnya jumlah aparat kolonial dari Tasikmalaya, maka para pengunjuk rasa memilih tertib.
Baca Juga: Sejarah Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran yang Bikin Bangkrut Pengusaha Swasta
Mereka pulang dengan langkah yang berat, sedangkan janji Sastrawinata “mengebiri” mandor kelapa masih tanda tanya.
Jiwa Memberontak Petani Kopra Loloskan Mereka dari Kerja Paksa (Romusha)
Walaupun memilih jalan damai saat berunjuk rasa depan Kantor Bupati Ciamis tahun 1939, tampaknya petani kopra di Banjar sudah terlatih mentalnya untuk menghadapi tekanan pada masa yang akan datang.
Pernyataan tersebut terbukti saat Jepang menjajah Hindia Belanda pada tahun 1942. Saat zaman pendudukan Nippon terdapat sistem kerja paksa bernama Romusha.
Konon karena petani kopra di Banjar Patroman memiliki mental yang liar, maka hal itu membuatnya sulit dipekerjakan paksa oleh Jepang ke dalam sistem Romusha.
Petani kebun kelapa tidak melawan terang-terangan pada Jepang. Mereka sadar diri, Jepang adalah salah satu penjajah di Hindia Belanda yang paling kejam. Maka jika mereka melawan bukannya menang, tapi buntung terkena bayonet tajam.
Adapun yang kemudian dipilih petani kopra di Banjar menghindari Romusha antara lain, pergi bergerilya di hutan.
Salah satu tempat persembunyian mereka adalah hutan yang ada di Pamarican. Tempat tersebut kemudian menjadi basis pejuang kemerdekaan setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dan Belanda datang kembali ke Indonesia melakukan Agresi pada tahun 1946-1947. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)