Belakangan nama PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) kembali mencuat setelah peristiwa tawuran di Jalan Tamansiswa Yogyakarta yang terjadi pada Minggu, 4 Juni 2023. Berikut sejarah PSHT, organisasi pencak silat yang pernah menentang sistem kasta zaman Hindia Belanda.
PSHT yang terlibat tawuran tersebut ternyata berasal dari organisasi pencak silat yang usianya sudah lebih dari 100 tahun.
Organisasi pencak silat kenamaan itu adalah PSHT. Menurut catatan sejarah, PSHT meninggalkan banyak jejak heroisme di masa silam karena perkumpulan tersebut merupakan organisasi pencak silat pertama di Hindia Belanda yang menentang sistem kasta.
PSHT menjadi wadah berkumpulnya para jagoan silat dari golongan bumiputera. Pemerintah kolonial Belanda saat itu sangat takut dengan jagoan silat dari PSHT.
Baca Juga: Sejarah Pasar Baru Bandung, Pusat Dagang Tionghoa Zaman Kolonial
Konon organisasi ini memiliki banyak pengikut karena membebaskan semua kalangan dari golongan apapun bisa jadi anggota perkumpulan silat tersebut.
PSHT tidak mengenal sistem kasta seperti kebanyakan perguruan silat di Hindia Belanda lainnya. Perkumpulan silat yang kerap disingkat dengan SH –Setia Hati ini bersifat egaliter untuk membangun mental bumiputera menjadi rakyat yang merdeka.
Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya PSHT
Gagasan pendirian PSHT sudah ada sejak tahun 1903, tepatnya ketika guru besar pencak silat asal Madiun ini masih mengampu praktik, ia adalah Ki Ngabei Soero Diwirjo.
Namun PSHT belum terbentuk secara terstruktur, rencana matang pendirian PSHT sebagai organisasi pusat perguruan silat di Jawa Timur baru terealisasi sejak Ki Hadjar Hardjo Oetomo meresmikan PSHT pada tahun 1922.
Konon PSHT lahir dari keinginan para petinggi perguruan silat di Madiun akan organisasi perguruan silat yang egaliter. Sebab sebelumnya pendidikan pencak silat bersifat selektif, artinya hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut.
Antara lain seperti anak-anak kaum ningrat, bupati, wedana, serta mereka yang ayah atau ibunya bergelar Raden dan Raden Ayu.
Pada zaman kolonial kasta ini berlaku normatif, artinya tidak ada yang salah dengan pendidikan silat yang mengatur sistem kelayakan yang diukur oleh keadaan finansial suatu keluarga.
Baca Juga: Mangkunegaran VI Reformis Jawa, Penentang Kebijakan Kolonial Belanda
Namun ada yang berbeda ketika konsep itu masuk pada Ki Ngabei Soero Diwirjo dengan murid kepercayaannya Ki Hadjar Hardjo Oetomo. Bagi mereka berdua aturan normative ini justru yang membiasakan rakyat bumiputera memiliki mental terjajah.
Maka dari itu dengan tanggap mereka berdua mendirikan pendidikan silat yang anti pada sistem kasta. Selain menciptakan kesetaraan sosial, PSHT juga dibentuk untuk memberikan edukasi pada kaum bumiputera supaya jadi bangsa yang merdeka. Minimal merdeka untuk diri sendiri.
PSHT Lahir dari Kepedulian Bumiputera
Pernyataan di atas juga diperkuat oleh pendapat Galih Dwi Cahyo Utomo dalam Avatara e –Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 5, No. 1 Maret 2017 berjudul, “Pencak Silat Setia Hati Terate di Madiun dari Awal sampai Pada Masa Pendudukan Jepang”.
Menurut Galih, PSHT lahir dari kepedulian guru silat se–Jawa Timur terhadap nasib rakyat bumiputera yang sering teraniaya oleh keadaan. Banyaknya rakyat bumiputera yang disiksa oleh bangsa Barat menggugah pembentukan PSHT.
Dengan kata lain PSHT ingin mengajarkan anak bangsa tentang ketangkasan fisik untuk membela diri. Jadi ketika ada orang Belanda yang berusaha “menjatuhkan”, ia tetap “berdiri” tangguh karena bisa membela diri sendiri sesuai dengan ajaran pencaksilat.
Kepedulian terhadap keadaan fisik bumiputera yang lemah seperti inilah semakin membuat para pesilat senior di Madiun bersatu membangun perguruan.
Dengan demikian lahirnya PSHT juga tidak semata-mata untuk menciptakan kesetaraan dalam penguasaan silat, tetapi juga memberikan ajaran bela diri untuk kaum bumiputera yang lemah, terutama bagi mereka yang sering dianiaya bangsa Barat.
Baca Juga: Pembangunan Kanal Batavia Abad 17, Upaya VOC Bangun Kualitas Air Ibukota
PSHT Berkolaborasi dengan Aliran Silat Jepang Tahun 1942-1945
Ketika Belanda hengkang dari Nusantara akibat kalah oleh Fasisme tahun 1942, maka penjajah yang berganti menguasai Indonesia saat itu adalah Jepang.
Saat Jepang menguasai Indonesia, PSHT menjadi salah satu organisasi pencak silat yang dimanfaatkan oleh prajurit Nippon sebagai pelatih beladiri calon tentara cadangan.
Selain itu Jepang juga mengkolaborasikan PSHT dengan aliran silat Jepang seperti, Karate, Jujitsu, Judo, Kempo, dan Akido. Dalam perkembangannya PSHT menjadi perguruan silat lokal yang dekat dengan Jepang.
Perasaan dekat ini membuat pemerintah Dai Nippon merekrut beberapa anggota PSHT menjadi tentara cadangan. Mereka diberikan latihan kemiliteran sebagaimana tentara Jepang yang hendak terjun ke medan perang.
Jadi selain berlatih bela diri, para anggota PSHT di zaman Jepang juga memiliki keterampilan menggunakan senjata api.
Anggota PSHT mengalami proses militerisasi yang begitu kompleks. Kader perguruan silat tersebut di zaman kemerdekaan tidak hanya terampil bergulat. Mereka juga handal menggunakan senjata api laras panjang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)