Sejarah Pondok Pesantren Asyrofuddin tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pendidikan Islam di Sumedang, Jawa Barat.
Pondok pesantren ini merupakan salah satu pondok pesantren salaf tertua yang ada di Kabupaten Sumedang.
Pesantren Asyrofuddin yang didirikan oleh K.H.R. Asyrofuddin menjadi salah satu pondok pesantren yang digunakan sebagai basis perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Bahkan selama masa-masa revolusi fisik, pesantren ini dijadikan sebagai pusat mengatur siasat oleh para pejuang kemerdekaan.
Baca Juga: Profil Eyang Hasan Maolani, Ulama Kharismatik Asal Kuningan yang Diasingkan Belanda
Sejarah Awal Pondok Pesantren Asyrofuddin
Pondok pesantren ini berdiri sejak tahun 1846 oleh seorang ulama yang bernama K.H.R. Asyrofuddin.
Menurut Ading Kusdiana dalam “Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan 1800-1945″(2014), jika dirunut asal-usulnya K.H.R. Asyrofuddin sendiri sebenarnya merupakan pangeran yang berasal dari Kesultanan Cirebon.
K.H.R Asyrofuddin mendirikan pesantren atas permintaan langsung dari Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata atau Pangeran Sugih.
Pada awalnya pondok pesantren yang terletak di daerah Cipicung Conggeang ini dinamakan Pondok Pesantren Ardli Sela Singa Naga Cipicung.
Di atas tanah wakaf seluas 3,5 hektar pondok pesantren ini dibangun dan dipimpin langsung oleh K.H.R. Asyrofuddin.
Pondok pesantren ini pun berkembang pesat seiring dengan bertambahnya jumlah santri yang berguru pada K.H.R. Asyrofuddin.
Di pondok pesantren ini sendiri setiap santri akan diajarkan berbagai mata pelajaran, mulai dari pengajian tahfiz, hafalan hadist, hingga kajian kitab kuning.
Beberapa karakter ini merupakan ciri khas dari sebuah pondok pesantren salaf yang masih memegang teguh pembelajaran berbasis kitab kuning dan tradisionalisme.
Tepat pada tahun 1876 K.H.R. Asyrofuddin meninggal dan digantikan oleh anaknya yang bernama K.H.R Abdul Hamid.
Pemimpin Pondok Pesantren selepas K.H.R Abdul Hamid adalah K.H.R Abdul Hamid Mama Ukun Ukasyah Mas’un kemudian diganti lagi oleh K.H.R Abdul Hamid Endang Buchori dan kini pondok pesantren Asyrofuddin dipimpin keturunan anak keenam yang bernama K.H.R Abdul Hamid Ahmad Sadad Mubarok.
Anti Kolonialisme Belanda
Selain belajar ilmu agama di pondok pesantren ini sendiri K.H.R. Asyrofuddin mengajarkan tentang ilmu politik dan beladiri.
Mengutip buku “Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat” (1984), K.H.R. Asyrofuddin adalah seorang yang memiliki watak keras, pemberani dan teguh terhadap pendirian.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya
Karakter inilah yang diturunkan oleh K.H.R. Asyrofuddin ketika mendidik santri-santrinya agar memegang teguh prinsip anti kolonialisme.
Setiap santri diajarkan untuk menentang penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. mereka dididik menjadi kader-kader pejuang yang diharapkan nantinya akan mengusir Belanda dari Indonesia.
Pendidikan anti kolonialisme ini memang salah satu ajaran yang diajarkan oleh beberapa pondok pesantren di tanah Nusantara waktu itu.
Para ulama meyakini bahwa melawan bangsa kolonialisme merupakan salah satu bentuk jihad yang harus mereka lestarikan.
Nilai-nilai ini bahkan diajarkan langsung oleh para petinggi pondok pesantren Asyrofuddin sendiri. Sehingga sangat wajar ketika dalam peperangan melawan Belanda, pondok pesantren terutama golongan kiai menjadi salah satu pihak yang paling depan dalam melawan Belanda.
Fenomena ini sebenarnya masih terus berlanjut hingga pergantian penjajahan Jepang. Oleh karena itu, pada masa pendudukan Jepang, golongan ulama terutama kalangan pondok pesantren gencar didekati oleh Jepang.
Harapannya adalah agar pondok pesantren itu tidak melakukan perlawanan terhadap Jepang dan mendukung sepenuhnya Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Pola-pola ini diterapkan terutama di pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa. Bukti lainnya adalah adanya usaha untuk memberikan ruang bagi golongan Islam dalam membentuk organisasi.
Walaupun ketika gerakan tersebut diarahkan demi kepentingan kemerdekaan akan langsung dibubarkan oleh Jepang.
Basis Perlawanan Kolonialisme Belanda di Sumedang
Menurut Barnas Rasmana dan Sumiyatun dalam “Ordonansi Guru: Kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Terhadap Guru Agama Islam 1905-1942” (2021), sudah sejak lama pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tradisional mempunyai peran penting dalam mempertahankan eksistensi nasionalisme Islam di Indonesia.
Pesantren tumbuh menjadi sebuah lembaga tempat diajarkan perlawanan terhadap bangsa kolonial.
Baca Juga: Profil KH Choer Affandi, Pendiri Pesantren Miftahul Huda Tasikmalaya
Perlawanan ini bahkan berlanjut ketika Indonesia sudah merdeka. Belanda yang berkeinginan merebut kembali Indonesia datang bersama dengan pasukan sekutu.
Periode-periode inilah yang disebut sebagai periode revolusi fisik. Sebuah periode dimana seringnya terjadi konflik antara Indonesia yang baru merdeka dan Belanda yang ingin masuk kembali ke Indonesia.
Konflik bersenjata tidak bisa dihindari, termasuk di wilayah Jawa Barat. Bahkan wilayah Jawa Barat menjadi salah satu kawasan pertempuran yang cukup berat.
Dalam catatan sejarah, Pesantren Ardli Sela Cipicung atau Pesantren Asyrofuddin menjadi basis bagi pertahanan pasukan kemerdekaan waktu itu.
Selain itu, tempat ini juga menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga-warga yang terluka atau pasukan yang membutuhkan pertolongan.
Sistem gotong-royong antara pasukan kemerdekaan dan kalangan pesantren ini tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu alasan Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaannya.
Apalagi kondisi Indonesia yang serba terbatas, sangat berbanding terbalik dengan pasukan Belanda yang memiliki perlengkapan lengkap.
Selepas Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, Pondok Pesantren Ardli Sela Cipicung kembali menyelenggarakan kegiatan seperti biasanya.
Penggunaan nama Pesantren Asyrofuddin sendiri baru digunakan pada tahun 1965, ketika pondok pesantren itu di bawah kepemimpinan Kiai Bukhari Ukasyah Mubarok.
Kini Pondok Pesantren Asyrofuddin yang sudah berusia 1 abad lebih ini tumbuh menjadi salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Sumedang. Sudah tak terhitung jumlah para santri yang menuntut ilmu di pondok pesantren ini.
Tentu saja seiring dengan berjalannya waktu Pondok Pesantren Asyrofuddin turut serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)