Sejarah Masjid Agung Tasikmalaya menyimpan bukti penyebaran Islam di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1886 ini menjadi salah satu masjid tertua yang berada di Jawa Barat.
Meskipun masjid ini terletak di Kota Tasikmalaya, namun dalam catatan sejarah, masjid Agung ini merupakan hasil wakaf dari seorang Bupati Sumedang yang bernama Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja.
Masjid dengan ciri khas menaranya ini kaya akan nilai-nilai filosofi. Meskipun sudah dipugar berulang kali, namun nilai-nilai yang terkandung di dalam Masjid Agung Tasikmalaya ini terus dipertahankan hingga hari ini.
Baca Juga: Sejarah DI/TII di Tasikmalaya, Kartosuwiryo Marah Disebut Gerombolan Separatis
Sejarah Pembangunan Masjid Agung Tasikmalaya
Masjid Agung Tasikmalaya mulai dibangun tepat pada tahun 1886 dan selesai pada tahun 1888. Masjid ini sendiri dibangun oleh seorang Bupati Sumedang yang bernama Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja.
Selepas peresmian, Masjid Agung Tasikmalaya diserahkan kepada Patih Demang Sukma Amijaya.
Pengelolaan masjid Agung Tasikmalaya ini dipegang langsung oleh Raden Haji Abu Bakar yang masih keturunan dari pemerintahan Sumedang.
Masjid yang berdiri di atas tanah 7.215 dan bangunan 2.456 ini merupakan hasil wakaf langsung dari Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja.
Beliau menjabat sebagai Bupati Sumedang mulai tahun 1882 dan resmi dilantik pada tahun 1883.
Rahmi Handayani dkk dalam “Rekam Jejak Pangeran Aria Soeria Atmadja (Bupati Sumedang tahun 1883-1991) (2019) mengatakan, ketika kecil Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja merupakan anak yang cerdas, kreatif, cekatan dan disiplin. Selain itu, ia juga pernah berguru pada seorang ulama yang bernama Kiai Haji Asyrofuddin.
Melalui didikan gurunya inilah pandangan-pandangan keislaman diajarkan pada Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja.
Bentuk wakaf yang ia berikan kepada masyarakat Tasikmalaya waktu itu merupakan bentuk perhatiannya terhadap perkembangan Islam di Jawa Barat.
Mengingat peran dari sebuah masjid menjadi hal yang penting, terutama masjid-masjid agung yang seringkali menjadi pusat penyebaran agama Islam dan basis pertahanan.
Terbukti selama masa-masa perlawanan masjid seringkali dijadikan basis bagi masyarakat waktu itu untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa-bangsa penjajah.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Karang Resik, Perlawanan Rakyat Tasikmalaya yang Membuat Belanda Geram
Renovasi Berulang-Ulang
Sejak berdiri pada tahun 1888 masjid Agung Tasikmalaya sudah direnovasi berulang-ulang. Renovasi atau pemugaran yang dilakukan ini demi menjaga Masjid Agung Tasikmalaya dapat berdiri kokoh. Mengingat masjid ini sudah menjadi salah satu bangunan cagar budaya, sehingga perlu penangan serius.
Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1923 yaitu tepat pada masa kepemimpinan Bupati Raden Adipati Wiratanuningrat.
Zaki Mubarak dalam “Masjid Agung Tasikmalaya: Sejarah, Arsitektur, Tokoh dan Gerakan Islam di Kota Santri” (2021) mengungkapkan, Bupati Raden Adipati Wiratanuningrat memiliki ulama kharismatik di zamannya yaitu K.H Muhammad Sudja’i atau yang dikenal dengan Mama Kudang.
Mama Kudang dan bupati waktu itu bersepakat untuk tidak melakukan perubahan yang signifikan pada Masjid Agung Tasikmalaya.
Perubahan yang dilakukan hanya pada kubah dan menara masjidnya. Kubah yang awalnya meninggi diubah menjadi lebih lebar.
Pemugaran kedua terjadi tepat pada tahun 1939, yaitu pada masa pemerintahan Bupati RTA Wiradiputra.
Selepas masa pemerintahan Bupati RTA Wiradiputra masjid ini baru mendapatkan renovasi kembali pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1970. Ketika itu pengawasan dilakukan oleh Bupati Husein Wangsaatmadja.
Renovasi baru dilakukan kembali pada tahun 1982, yaitu pada masa kepemimpinan Bupati Hudli. Pada masa inilah masjid yang awalnya mengikuti gaya Masjid Demak diubah menjadi gaya Masjid Nabawi di Madinah.
Pada awalnya masjid ini memang meniru konsep Masjid Demak. Konsep ini diambil karena Bupati Sumedang, Raden Tumenggung Aria Surya Atmadja mengambil referensi Kerajaan Islam Demak.
Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2002, yaitu pada masa pemerintahan Bupati Suljana WH dan diresmikan langsung oleh Wapres Hamzah Haz.
Masjid yang Penuh Filosofi
Achmad Fanani dalam “Arsitektur Masjid” (2009) menyebut, perkembangan Islam pada masa Rasulullah tidak pernah menekankan hal-hal yang bersifat simbolis. Sehingga perkembangan masjid yang sampai ke Nusantara sebenarnya merupakan hasil dari pengaruh penyebaran Islam ke berbagai negara di dunia.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya
Nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam Masjid Agung Tasikmalaya sendiri memang mengambil banyak referensi pada Masjid Agung Demak.
Jika kita perhatikan pada bagian atas masjid terdapat lima buah bangunan kerucut yang mencerminkan lima rukun Islam, selain itu makna yang lainnya adalah kewajiban menjalankan sholat lima waktu di dalam Islam.
Pada sisi luar Masjid Agung Tasikmalaya terdapat empat buah menara yang dibangun setinggi 17 meter yang merupakan simbolisasi dari penegakan rakaat sholat wajib dalam sehari. Sedangkan jika diukur dari tanah maka tingginya adalah 33 meter yang memiliki makna jumlah dzikir dalam sholat.
Empat menara yang dibangun di Masjid Agung Tasikmalaya ini sendiri merupakan perwujudan dari empat ilmu yaitu, bahasa arab, syariat, filsafat, dan sejarah.
Sedangkan khusus tiga bagian penting pada menara masjid menggambarkan mengenai tingkat kesempurnaan seorang muslim yang terdiri dari Iman, Islam, dan Ihsan.
Di salah satu taman dari masjid ini diletakkan sebuah bedug yang biasanya digunakan untuk menandakan masuknya waktu sholat.
Kini Masjid Agung Tasikmalaya ini menjadi salah satu landmark Kota Tasikmalaya yang wajib kamu kunjungi ketika berkunjung Tasikmalaya.
Masjid ini menjadi salah satu pusat kegiatan keagamaan, terutama ketika momen-momen besar Islam. Selain itu, pengurus masjid ini juga rutin menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial bagi masyarakatnya. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)