Dalam catatan sejarah, Laskar Kere merupakan nama lain untuk menyebut pejuang kemerdekaan dari kalangan orang-orang melarat yang ada di kota Solo, Jawa Tengah.
Prajurit Laskar Kere kerap melakukan aksi penyerangan ke markas-markas Belanda mulai dari tahun 1945-1948, tepatnya ketika revolusi fisik berkecamuk. Solo menjadi basis Laskar Kere yang sering dikhawatirkan oleh tentara Belanda karena kekejamannya.
Walaupun namanya tidak sesangar nama-nama Batalyon musuh, Laskar Kere merupakan pasukan republik yang sadis. Sebagaimana Batalyon Andjing NICA yang terkenal kejam, Laskar Kere juga tak segan-segan menghabisi nyawa musuhnya.
Adapun orang penting di balik Laskar Kere yakni Mayor Achmadi. Kendati ia berperawakan kurus, tekad dan keberaniannya melawan tentara Belanda sangat tinggi. Mayor Achmadi adalah King Maker prajurit Laskar Kere yang sadis.
Kejadian menarik lain dari Laskar Kere terlihat dari dominasi keprajuritannya yang berasal dari Tentara Pelajar. Rata-rata usia mereka yaitu 14-20 tahun, bahkan Mayor Achmadi mengaku, sebagian besar prajurit TP yang bergabung dengan Laskar Kere adalah pemuda sepantar siswa SMP.
Baca Juga: Asal-usul Jalan Margonda Depok dan Pahlawan yang Mati Muda
Sejarah Laskar Kere, Prajurit Wajib Tuntaskan Jam Sekolah Sebelum Perang
Menurut Sri Bulan Rahmawati, dkk dalam Journal of Indonesian History, Vol. 5, No. (1) (2016) berjudul, “Pertempuran Empat Hari di Kota Surakarta Tahun 1949”, Mayor Achmadi –selaku pemimpin Laskar Kere, mewajibkan prajuritnya selesaikan jam sekolah sebelum terjun ke medan perang.
Perintah ini berlaku bagi para anggota Laskar Kere yang masih berstatus pelajar. Mayor Achmadi merupakan tentara yang peduli dengan pendidikan, ia mengimbau anak buahnya supaya mendapatkan pendidikan minimal 5 tahun.
Sebab bagi pria kelahiran Ngawi, 5 Juni 1927 ini pendidikan merupakan modal utama perjuangan. Tanpa pendidikan bangsa ini tidak akan merdeka, yang ada hanya akan diombang-ambing oleh arus kekuasaan imperialis yang licik.
Melalui pendidikan kebebasan akan segera ditemukan, jadi kalaupun kita harus berjuang menggunakan senjata, dasar utama menggunakan benda perusak itu juga harus menggunakan bekal pendidikan. Supaya apa? Agar kita paham batas-batas kemanusiaan.
Mayor Achmadi biasanya menempatkan para prajurit Laskar Kere yang tidak sekolah sebagai pembantu. Mereka tidak mendapatkan senjata dan perlengkapan perang yang berguna jadi alat beladiri.
Hal ini dilakukan supaya mereka terdorong untuk sekolah, dengan kata lain pemakaian senjata api saat perang menjadi daya tarik para gelandangan kembali ke bangku sekolah. Sebab penggunaan senjata saat perang harus didasarkan pada ilmu dan pengetahuan yang luas.
Menjaga Solo dari Rongrongan Komunis
Tidak hanya menjadi benteng pertahanan militer kaum republik di Solo, sejarah mencatat Laskar Kere juga kerap mendapat tugas dari Tentara Nasional untuk menjadi pasukan penjaga stabilitas politik.
Kebetulan saat itu daerah Solo menjadi basis Partai Komunis Indonesia. Selain itu ada juga beberapa kelompok radikalisme lain yang tidak terarah kemana tujuan perjuangan mereka. Biasanya mereka hanya membuat onar dan merugikan sesama rakyat.
Banyaknya kejadian bentrok massa dengan kelompok komunis membuat Laskar Kere setiap malam berjaga di sudut-sudut kota Solo.
Baca Juga: Angkatan Moeda Tionghoa, Organisasi Timur Asing Revolusioner di Indonesia
Sembari bermain “petak umpet” dengan tentara NICA, Laskar Kere sungguh-sungguh menjaga ketertiban kota tersebut dari ancaman revolusi komunis.
Tujuan utama dari tindakan tersebut tidak lain yaitu, menghadang agar komunisme tidak berkembang luas di daerah Solo. Laskar Kere menjadi benteng pertama kelompok Nasionalis menolak perjuangan komunis yang berisiko tinggi hancur oleh NICA.
Selain itu menjaga kondisional politik yang dilakukan oleh Laskar Kere juga bagian dari perintah tentara Nasional. Konon tentara kita akan menciptakan Solo sebagai basis militer kedua setelah Ibu Kota yang kala itu berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Jadi Pasukan Khusus yang Bertugas Menggempur Markas Belanda
Ketika Laskar Kere berhasil menjaga Solo jadi daerah militer, tentara Nasional menjadikan satuan tersebut sebagai pasukan khusus yang bertugas menggempur markas-markas Belanda yang ada di beberapa daerah Jawa Tengah.
Baca Juga: Asal-usul Pengemis di Tanah Jawa, Pengalap Berkah Para Raja
Laskar Kere mendapat amunisi dan persenjataan lengkap dari tentara Nasional, mereka memiliki misi yang sangat berisiko.
Jika misi ini gagal maka seluruh pasukan Laskar Kere akan terkena dampaknya, namun karena jiwa korsa mereka kuat hampir seluruh misi selesai dengan akurat.
Laskar Kere terkenal sebagai prajurit perang republik yang bertugas mencuri pasokan amunisi di gudang-gudang peluru tentara Belanda. Selain itu, Laskar Kere juga sering membawa kebutuhan logistik untuk para gerilyawan yang sedang berjuang di tengah hutan.
Adapun salah satu markas Belanda yang jadi korban keganasan Laskar Kere antara lain terletak di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Operasi khusus yang dilakukan Laskar Kere membuat pasukan Belanda khawatir. Konon kekhawatiran ini berbuah manis untuk pihak republik karena Belanda bersedia mengirimkan delegasinya untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar membicarakan soal gencatan senjata. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)