Sejarah Kebun Teh Malabar berkaitan dengan perkembangan perkebunan the di tanah Priangan. Kebun Teh Malabar merupakan kebun teh tertua yang ada di Pangalengan, Jawa Barat.
Selain menjadi salah satu kebun teh tertua di Pangalengan, Kebun Teh Malabar juga menyimpan kisah sejarah yang tidak sedikit.
Pemiliknya, Bosscha dianggap tidak seperti orang-orang Belanda lainnya. Ia terkenal dengan sikap ramahnya termasuk kepada para pribumi.
Selain itu, Bosscha juga dikenal sebagai pribadi yang mencintai ilmu pengetahuan. Terbukti uang hasil perkebunannya pernah disumbangkan untuk pembangunan Technise Hogeschool Bandoeng (sekarang ITB) dan Gedung Societeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka).
Baca Juga: Sejarah ITB, Sekolah Tinggi Teknik Pertama Zaman Belanda
Sejarah Kebun Teh Malabar, Perkebunan Tertua di Pangalengan
Perkebunan Teh Malabar terletak di wilayah Malabar, Pangalengan, Jawa Barat. Kebun teh dengan luas 2022 meter persegi ini merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda di Indonesia.
Perkebunan teh ini mulai dibangun oleh seorang Belanda yang bernama Karel Albert Rudolf Bosscha. Keberadaan perkebunan Teh Malabar sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kolonialisme orang-orang Belanda ke Indonesia.
Kedatangan orang-orang Belanda semakin marak ketika terjadi pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Pembukaan Terusan Suez berdampak terhadap peningkatan jumlah orang Belanda dan Eropa yang datang ke Hindia Belanda waktu itu.
Salah satu alasannya adalah semakin singkatnya perjalanan yang harus ditempuh oleh orang-orang Belanda dari tanah kelahirannya ke Hindia Belanda.
Di sisi yang lainnya, pada tahun 1870 Pemerintahan Hindia Belanda mulai mengesahkan Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Noer Fauzi Rachman dalam “Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia” (1999) menjelaskan, dampak dari penerapan peraturan ini adalah orang-orang Belanda dan Eropa lainnya dibebaskan untuk membuka lahan di Hindia Belanda.
Kebijakan ini pula yang membuka munculnya berbagai perkebunan termasuk Perkebunan Teh Malabar.
Kini perkebunan teh Malabar sudah diambil oleh salah satu BUMN Indonesia yaitu PT. Perkebunan Nusantara VIII (Persero).
Baca Juga: Mari Bersuka Ria, Lagu Karya Soekarno yang Fenomenal
Hingga kini terdapat sekitar 1.860 karyawan yang bekerja di perkebunan teh Malabar. Setiap orang yang berkunjung di tempat ini dapat menikmati hamparan daun teh yang membentang seperti lautan.
Tidak hanya itu, sebagai salah satu perkebunan teh tertua di Pangalengan wisatawan yang berkunjung juga dapat mempelajari sejarah berdirinya perkebunan Teh Malabar.
Terdapat berbagai tempat yang bisa menjadi pembelajar sejarah bagi para wisatawan, seperti museum yang digunakan untuk mendokumentasikan perkembangan kebun teh Malabar.
Didirikan oleh Raja Teh Priangan
Karel Albert Rudolf Bosscha sendiri sebenarnya memiliki julukan khusus, yaitu Raja Teh Priangan. Kesuksesannya dalam mengolah teh bahkan membuat bisnisnya berkebang pesar.
Mengutip buku, “Jejak Bosscha di Papandayan” (2019), Bosscha lahir di Delft, Belanda dan hijrah ke Hindia Belanda pada tahun 1878. Ia kemudian bekerja di Sukabumi bersama dengan pamannya yang bernama Edward Julius Kerkhoven.
Perkebunan Teh Malabar sendiri baru mulai dirintis pada tahun 1896 dengan membabat hutan di daerah Pangalengan dan menggantinya dengan bibit-bibit teh.
Meskipun pada awalnya pembangunan perkebunan ini sempat diragukan, namun dengan tangan dingin Bosscha perkebunan teh malabar berkembang pesat.
Keraguan ini sebenarnya karena wilayah Pangalengan waktu itu dianggap sebagai daerah yang terlalu dingin dan tidak ideal untuk perkebunan teh.
Namun, menurut pandangan Bosscha sendiri justru wilayah itu adalah wilayah yang ideal. Pendapat ini didasarkan pada wilayah tersebut yang mirip dengan kawasan Himalaya, perkebunan teh sudah berkembang.
Bosscha sengaja membudidayakan jenis teh hitam atau yang bernama Assam Tea dari India. Bosscha menilai bahwa jenis teh ini lebih unggul dari sisi kualitas daripada teh Jawa.
Untuk menunjang kualitas produk tehnya, Bosscha mendirikan pabrik pengolahannya di tengah perkebunan.
Alhasil produk teh yang diberi merek Malabar Tea ini menjadi salah satu produk yang digandrungi oleh orang-orang Eropa.
Selang beberapa tahun Bosscha mulai menaikkan kapasitas produksinya. Lahan-lahan perkebunan yang berada di dekat perkebunannya dibeli dan dijadikan sebagai lahan perkebunan Bosscha.
Baca Juga: Sejarah Spiegel and Bistro, Toserba Pertama di Semarang Berdiri Tahun 1885
Sosok yang Mencintai Ilmu Pengetahuan
Terdapat kisah unik dari sosok Boscha dalam kisah hidupnya. Meskipun ia merupakan orang Belanda, namun pribadinya amat berbeda jika dibandingkan orang Belanda pada umumnya.
Bosscha dikenal sebagai sosok yang ramah bahkan terhadap pribumi. Ia menilai bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Sifat inilah yang membuat Bosscha disegani dan dihormati di kalangan masyarakat setempat.
Tidak hanya memiliki sifat yang rendah hati, Her Suganda dalam, “Wisata Parijs Van Java: Sejarah, Peradaban, Seni, Kuliner, Dan Belanja” (2011), meskipun Bosscha terkenal dengan tangan dinginnya, ia merupakan seorang filantropis yang sering menyisihkan keuntungannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Terbukti dari beberapa hasil perkebunannya ia sumbangkan untuk pembangunan sekolah-sekolah. Bahkan bangunan Technise Hohen School Bandoeng (sekarang ITB) dan Gedung Societeit Concordia (Sekarang Gedung Merdeka) merupakan contoh bangunan yang mendapatkan bantuan dari Bosscha.
Tidak hanya itu Bosscha juga turut serta dalam pembangunan observatorium di Lembang. Ia melakukan pembangunan itu karena terinspirasi dari sang kakek.
Bahkan ketika terjadi wabah kolera pada tahun 1902, Bosscha dengan sigap mengatasi gempuran penyakit itu terutama bagi mereka yang menjadi buruh perkebunan Bosscha.
Kejayaan Bosscha memang memberikan manfaat bagi banyak orang waktu itu. Walaupun pada akhirnya tepat pada 26 November 1928 Bosscha harus menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan tetanus.
Semenjak kepergian Bosscha tidak bisa dipungkiri bahwa perkebunannya mulai mengalami penurunan. Kondisi ini juga sejalan dengan keadaan perekonomian waktu itu yang semakin memburuk.
Kini sisa-sisa peninggalan Bosscha masih dapat ditemukan di Perkebunan Malabar yang berada di Pangalengan. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)