Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945. Sejarah mencatat, baru pada 14 Juni 2023 lalu, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 1945. Sebelumnya Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.
Mereka meyakini pemerintahan kolonial Hindia Belanda masih resmi berdiri pasca Jepang kalah dalam Perang Dunia II oleh Sekutu.
Namun ketika orang-orang dari Negeri Kincir Angin ini kembali ke Hindia Belanda (Indonesia), mereka menemukan banyak perubahan termasuk bangsa pribumi yang bersikap liar.
Orang-orang Belanda dimusuhi oleh pribumi, mereka kadang melakukan kekerasan pula kepada orang kulit putih. Tak jarang akibat kekerasan itu beberapa orang Belanda ditemukan tewas dibunuh oleh rakyat pribumi.
Baca Juga: Kisah Heroik Tentara Pelajar di Ciamis Menghalau Belanda
Adapun peristiwa yang demikian ini biasa disebut oleh orang Belanda dengan istilah “Masa Bersiap”.
Karena keadaan yang terus menerus mendesak agar Belanda meninggalkan tanah pribumi, maka akhirnya mereka berunding dengan para tokoh Nasional dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dalam perundingan itulah baru Belanda memutuskan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Tragisnya, Belanda menuntut ganti rugi pada tokoh Nasional atas kekerasan yang terjadi di Masa Bersiap. Mereka bahkan menuntut ganti rugi perang sebesar 4,3 miliar gulden, atau setara 1,13 miliar dollar AS.
Namun peristiwa ini masih menjadi teka-teki yang belum diketahui kebenarannya. Lantas apakah benar demi memperoleh kedaulatan NKRI dari Belanda, bangsa kita rela membayar hutang sebanyak itu pada pemerintah kolonial dulu?
Sejarah Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 1945, Kok Bisa Indonesia Bayar Ganti Rugi Perang?
Mengapa tokoh Nasional rela membayar uang ganti rugi perang kepada Belanda? Padahal secara fakta bangsa Indonesia lah yang jadi korban perang, sementara Belanda adalah negara penjajah yang menyerangnya. Lalu mengapa ganti rugi perang malah jatuh kepada pihak republik Indonesia?
Persoalan ini pernah ditentang oleh seorang Nasionalis kiri bernama Tan Malaka. Ia tegas menolak bangsa kita ganti rugi perang kepada Belanda.
Menurut Tan Malaka jelas-jelas Belanda yang jadi masalah. Bahkan ia memberikan statement yang mempengaruhi sebagian rakyat supaya tidak mengikuti kemauan Belanda.
“Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”, tegas Tan Malaka menolak berunding dan membayar denda perang yang jumlahnya triliunan gulden itu.
Namun Tan Malaka malah menjadi korban bangsa sendiri. Tokoh Nasional menuduhnya sebagai kelompok separatis.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Karang Resik, Perlawanan Rakyat Tasikmalaya yang Membuat Belanda Geram
Daerah Madiun adalah ranah perjuangannya, Tan Malaka dengan Muso berinisiatif untuk mendirikan negara Soviet Madiun.
Namun inisiatif itu berhasil digagalkan oleh militer republik, mereka ditangkap dan dieksekusi mati. Adapun alasan pemerintah saat itu melakukan ini karena tidak ingin rakyat Indonesia menjadi pengikut ekstrimis.
Pemerintah republik yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta ingin menyelesaikan kemerdekaan dengan jalan diplomasi.
Maka dari itu ketika keputusan KMB mengharuskan Republik Indonesia membayar ganti rugi perang kepada Belanda sebanyak 4,3 miliar gulden, Soekarno-Hatta dan atas nama bangsa Indonesia menyetujuinya.
Karena KMB Indonesia Harus Menebus Kemerdekaan pada Belanda
Belanda merupakan salah satu negara penjajah yang keras kepala. Mereka kekeuh tidak ingin mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Bagi Belanda tahun 1945 seluruh wilayah di Indonesia masih menjadi bagian dari Hindia Belanda. Oleh sebab itu mereka mencoba mengamankan wilayahnya dari gerakan separatisme yaitu berbagai gerakan massa yang menginginkan Belanda hengkang dari Indonesia.
Karena peristiwa kekerasan pribumi pada Belanda terus terjadi, dan sebaliknya pula kekerasan Belanda pada pribumi semakin banyak, maka atas kesadaran bersama Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Adapun diplomasi itu diberi nama Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menurut sejumlah literasi menyebut ada peran Amerika Serikat dalam proses perundingannya.
Konon jika Amerika tidak menekan Belanda untuk menyelesaikan permasalahannya dengan pihak Indonesia, maka KMB tidak akan pernah terjadi, dan Indonesia tak akan pernah diakui sebagai negara yang merdeka oleh Belanda.
Saat itu itu Amerika mengancam Belanda tidak akan mendapat bantuan ekonomi untuk negara Sekutu yang mengalami kehancuran akibat perang apabila tidak mengakui kedaulatan Indonesia.
Bantuan itu dikenal dengan istilah Marshall Plan, karena ini Belanda kemudian berinisiatif bertemu untuk berdiplomasi dengan pihak republik.
Akhirnya setelah lama berunding Belanda mengatakan akan mengakui Indonesia jadi negara merdeka asal membayar uang ganti rugi 4,3 miliar gulden sebagai tebusannya.
Atas persetujuan tokoh Nasional maka KMB yang diwakili oleh Moh. Hatta setuju dengan kesepakatan tersebut. Pihak republik pun membayar 4,3 milyar gulden pada Belanda pada 24 Oktober 1949 dan Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia sebulan berikutnya yakni 27 Desember 1949.
Baca Juga: Agresi Militer Belanda di Pangandaran, Pantai Timur Jadi Pelabuhan Kapal Perang Sekutu
Moh. Hatta Menandatangani Perjanjian Kemerdekaan Indonesia dengan Ratu Juliana di Belanda
Melansir tayangan sejarah di channel youtube @IndoInfoSejarah pada 24, November 2020 lalu, setelah pihak republik membayar 4,3 milyar gulden pada Belanda, Moh. Hatta lalu menandatangani perjanjian kemerdekaan Indonesia dengan Ratu Juliana.
Menurut beberapa pengamat sejarah di Indonesia, peristiwa pembayaran uang ganti rugi perang republik pada Belanda dianggap berat dan merugikan kesejahteraan rakyat.
Pasalnya Belanda meminta ganti ruginya dengan uang bermata uang gulden yang tentu nilainya jauh berbeda dengan mata uang rupiah.
Kerugian selanjutnya yang ditanggung oleh pihak republik kala itu yakni, sesudah perjanjian ini dilakukan pada tahun 1949, pemerintah republik harus menanggung upah karyawan sebanyak 17.000 orang yang bekerja di perusahaan Belanda selama 2 tahun.
Kurang lebih sampai tahun 1951 pemerintah republik harus membayar upah pegawai perusahaan Belanda yang masih beroperasi di Indonesia.
Liciknya dalam perjanjian itu Belanda tidak ingin kehilangan perusahaannya. Mereka tetap menginginkan perusahaan milik Belanda terus beroperasi –seperti saham non investasi, yang tidak perlu bayar pajak kepada pemerintah republik. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)