Profil KH Choer Affandi dikenal sebagai pendiri pondok pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tak banyak yang tahu, kyai kharismatik ini ternyata punya garis keturunan Raja Mataram. Sementara itu sejumlah santri di berbagai sudut Jawa Barat sering mendengar nama besarnya dalam berbagai pengajian.
Sejumlah pesantren di daerah Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran pun kerap menyebut nama KH Choer Affandi sebagai pendakwah kharismatik sekaligus pendiri pondok pesantren Miftahul Huda.
KH. Choer Affandi sering dibicarakan sebagai sosok yang berilmu tinggi, khususnya dalam ilmu agama Islam.
Kendati begitu padahal sebelum Kyai Choer jadi pemuka agama kharismatik di Tasikmalaya, dulu sejumlah pendapat mengatakan KH Choer Affandi akan dijadikan oleh ayahnya sebagai seorang Ambtenaar –Pegawai Negeri.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya
Oleh sebab itu, secara tidak langsung KH Choer Affandi diberikan fasilitas pendidikan yang baik.
Ayahnya bahkan pernah menyekolahkan KH Choer Affandi di Inlandsche School (sekolah rakyat bentukan Belanda).
Namun karena beberapa pihak tidak setuju KH. Choer Affandi jadi seorang Ambtenaar –termasuk ibu dan neneknya, maka setelah lulus dari Inlandsche School ini, KH. Choer Affandi disarankan neneknya mondok ke beberapa pesantren di Jawa Barat.
Profil KH Choer Affandi, Ternyata Punya Garis Keturunan Raja Mataram
Menurut Qiyadah Rabbaniyah, dkk dalam buku berjudul, “Model Pengelolaan Pesantren” (2023), KH Choer Affandi punya garis keturunan Raja Mataram.
Berdasarkan sejumlah fakta sejarah, KH Choer Affandi lahir pada tanggal 12 September 1923 di dusun Palumbungan, Cigugur, Pangandaran.
KH Choer Affandi lahir dari pasangan suami istri Raden Mas Abdullah dan Siti Aminah. Ayah Kyai Choer –Raden Mas Abdullah merupakan salah satu keturunan Raja Mataram, sedangkan ibunya –Siti Aminah, keturunan seorang Wali berpengaruh di daerah Godog, Garut.
Sejak kecil, Kyai Choer dipanggil oleh ayah ibunya dengan nama Onong Husen. Konon nama ini adalah istilah keluarga untuk memanggil anaknya dengan perasaan cinta dan kasih yang tinggi.
Onong kecil punya keistimewaan di lingkungan masyarakat. Hal ini terjadi selain karena ayahnya seorang Ambtenaar tetapi juga Onong belia dikenal pintar mengaji. Sudah sejak kecil ia mempelajari pelajaran agama sampai ke akar-akarnya.
Tekad Onong seperti ini kemudian dilirik oleh ayahnya. Maka tanpa sepengetahuan ibu dan neneknya, Onong disiapkan diam-diam oleh Raden Mas Abdullah supaya menjadi seorang pegawai negeri (Ambtenaar).
Adapun menurut sejumlah cerita sejarah, ayah Kyai Choer –Raden Mas Abdullah merupakan Ambtenaar dalam bidang kedaerahan. Ia rela meninggalkan lingkungan kerajaan di Surakarta saat ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk tinggal di daerah Jawa Barat.
Baca Juga: Profil Eyang Hasan Maolani, Ulama Kharismatik Asal Kuningan yang Diasingkan Belanda
Tepatnya di daerah Cijulang, Raden Mas Abdullah menjadi pegawai pemerintah di sub distrik Cijulang, Kabupaten Ciamis –sekarang masuk wilayah Kabupaten Pangandaran.
Mendirikan Pesantren Miftahul Huda Manonjaya
Ketika ayahnya menginginkan KH Choer Affandi menjadi seorang Ambtenaar, Kyai pemimpin Ponpes Miftahul Huda ini sedikit ragu untuk mengambil keputusan itu.
Apalagi setelah ibu dan neneknya tahu kalau Raden Mas Abdullah akan membuat anaknya itu jadi seorang pegawai negeri di daerah Cijulang. Penolakan itu membuat Kyai Choer berpikir dan memutuskan untuk menuruti kata ibu serta neneknya tadi.
KH Choer Affandi akhirnya memilih sekolah di beberapa pesantren yang ada di daerah Jawa Barat. Antara lain yakni pesantren Cipancur, Pesantren Pangkalan, Pesantren Cikalang, Pesantren Sukamanah, Pesantren Jembatan Lima, Pesantren Tipar, dan Pesantren Gunung Puyuh.
Terakhir di Pesantren Gunung Puyuh KH Choer Affandi belajar pada seorang pejuang Nasional bernama KH Ahmad Sanusi.
KH Ahmad Sanusi telah membuat Kyai Choer punya pikiran yang Nasionalis, hal ini terbukti ketika Kyai Choer terpapar oleh gerakan separatisme DI/TII, sebelum tertangkap dan dihukum oleh pengadilan, KH Choer Affandi memutuskan untuk berhenti dari jabatannya sebagai bagian penting dari kepengurusan DI/TII di Tasikmalaya.
KH Choer Affandi merasa sebagai seorang Nasionalis karena beberapa wejangan politis dari gurunya KH Ahmad Sanusi.
Selesai berguru pada KH Ahmad Sanusi, Kyai Choer kemudian mendirikan pondok pesantren Miftahul Huda di Tasikmalaya pada tanggal 7 Agustus 1967. Bahkan karena kegigihannya menjadi pengasuh pondok pesantren tersebut, Miftahul Huda dikenal sebagai pesantren salafiah terbaik yang ada di Indonesia.
Baca Juga: Roeslan Abdulgani, Mantan Rektor IKIP Bandung yang Kehilangan Jari Tangan
Mengapa KH Choer Affandi Tidak Diizinkan Jadi Ambtenaar?
Berdasarkan pernyataan di atas muncul pertanyaan mengapa KH. Choer Affandi tidak diizinkan ibu dan neneknya jadi Ambtenaar (pegawai negeri)?
Jawabannya yaitu karena Hj Haesusi (nenek KH Choer Affandi) tidak ingin melihat cucunya dimusuhi oleh rakyat banyak.
Pada zaman itu, Ambtenaar sering dimusuhi oleh rakyat pribumi. Selain karena kualitas kerja yang buruk, seorang Ambtenaar juga kerap melakukan korupsi yang bisa membuat rakyat banyak mengalami kerugian.
Ibu dan neneknya ingin KH Choer Affandi menjadi orang yang bisa mengayomi masyarakat banyak dengan jalan agama. Maksudnya mereka ingin anak dan cucunya itu jadi seorang pemuka agama.
Sebab sejak zaman dulu pemuka agama memiliki kasta yang tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun karena hal ini pemerintah kolonial kemudian membuat narasi seolah pemimpin agama itu berbahaya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)