Profil Eyang Hasan Maolani merupakan salah satu ulama kharismatik asal kuningan, Jawa Barat yang menentang kolonialisme Belanda.
Beliau juga merupakan salah satu ulama besar yang berpengaruh terhadap penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat.
Belanda yang melihat pengaruh dari Eyang Hasan Maolani ini menganggap bahwa suatu hari nanti ulama kelahiran Desa Lengkong ini bakal jadi ancaman serius.
Oleh karena itu pada akhirnya Eyang Hasan Maolani diasingkan ke Sulawesi untuk menekan pengaruh dakwahnya.
Baca Juga: Sejarah Bambu Runcing, Senjata Kiai yang Beracun dan Mematikan
Profil Eyang Hasan Maolani, Keturunan Sunan Gunung Djati?
Eyang Hasan Maolani lahir tepat pada 22 Mei 1782 di Desa Lengkong, Kuningan, Jawa Barat. Ia merupakan anak dari Kiai Bagus Lukman bin Syatar dan Nyai Lukman.
Menurut nasabnya, ayahnya berasal dari garis keturunan Sunan Gunung Djati, sedangkan ibunya merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi.
Penyebutan Eyang di dalam nama beliau sendiri merujuk pada tata bahasa Sunda yang memiliki arti dituakan atau sesepuh dari kampung tersebut.
Eyang Hasan Maolani sendiri menghabiskan masa kecilnya di pondok pesantren mulai dari Pondok Pesantren Pangkalan, Pondok Pesantren Kadugede, Pondok Pesantren Pasawahan Cirebon, hingga Pondok Pesantren Kadugede.
Memang latar belakang pendidikan ini didukung oleh lingkungannya yang cenderung islami. Selain itu sejak kecil Eyang Hasan Maolani memang sudah gemar menuntut ilmu. Inilah yang membuat jalannya sebagai ulama yang berpengaruh.
Idik Saeful Bahri dalam buku “Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong” (2020), menyebut sanad keilmuan Eyang Hasan Maolani mulai tercatat ketika beliau mulai menuntut ilmu keluar desanya.
Tercatat terdapat beberapa ulama yang pernah beliau jadikan guru, mulai dari Kiai Alimudin dari Pangkalan, Kiai Sholehudin dari Kadugede, Kiai Kosasih, dari Kadugede hingga Kiai Bagus Arjaen dari Rajagaluh.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Pondok Salafiyah Terbesar di Tasikmalaya
Selepas menempuh masa-masa pendidikannya di berbagai pondok pesantren dan berguru pada beberapa kiai Eyang Hasan Maolani memutuskan untuk menikah dengan Murtasim binti Kiai Arifah.
Dari hasil pernikahan ini beliau dikaruniai 11 orang anak yang nantinya tersebar di seluruh pelosok nusantara. Hingga kini keturunan dari Eyang Hasan Maolani sudah berjumlah ribuan dan memegang peran-peran penting mulai dari mengelola pondok pesantren, budayawan, pegiat sosial, hingga birokrat.
Ulama Kharismatik Kuningan
Selepas menuntut ilmu dari berbagai guru dan pondok pesantren, Eyang Hasan Maolani menetap di Desa Lengkong. Disinilah bermula banyak santri yang mulai menuntut ilmu kepada beliau.
Hari ke hari jumlah santri yang menuntut ilmu kepada beliau semakin bertambah dan pengaruh yang dirasakan semakin meluas.
Ading Kusdiana dalam buku “Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan 1800-1945” (2014) menyebutkan, di kawasan Priangan sendiri pondok pesantren di kawasan Lengkong merupakan salah satu pondok pesantren yang berkembang selama masa penjajahan Belanda.
Perkembangan inilah yang menjadi kekhawatiran bagi pemerintahan kolonial Belanda. Mereka menganggap pondok pesantren dan kiai-kiainya sebagai dalang dari banyak pemberontakan yang terjadi.
Di dalam pengajian-pengajian Eyang Hasan Maolani sendiri disisipkan tentang perlawanan jihad terhadap bangsa kolonial yaitu Belanda. Eyang Hasan Maolani menilai bahwa perlawanan terhadap kolonial Belanda termasuk ke dalam jihad.
Ide-ide jihad yang diajarkan oleh Eyang Hasan Maolani ternyata tertanam kuat di santri-santrinya. Dari sinilah mulai dilakukan penahanan terhadap Eyang Hasan Maolani untuk menekan pengaruhnya.
Secara resmi pemerintah Belanda menahan Eyang Hasan Maolani pada 9 April 1841. Alibi dari penahanan ini adalah Eyang Hasan Maolani dianggap menyebarkan ajaran sesat yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Tentu saja alibi ini hanyalah akal-akalan Belanda untuk menahan Eyang Hasan Maolani. Sebenarnya alasan ini tidak hanya digunakan kepada Eyang Hasan Maolani, melainkan juga banyak ulama yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan kolonial.
Baca Juga: Nu Bisa Basa Walanda Sok Hese Sakarat, Doktrin Kiai Cicalengka Usir Kolonial
Alhasil mereka yang bersuara lantang akan ditangkap bahkan diasingkan oleh pemerintahan kolonial. Sudah menjadi tabiatnya pemerintahan kolonial selalu melakukan cara-cara licik untuk menghilangkan pengaruh ulama di Hindia Belanda waktu itu.
Diasingkan Belanda ke Sulwaesi
Menurut Idik Saeful Bahri dalam buku “Lebih Dekat dengan Eyang Hasan Maolani Lengkong” (2020), selepas ditangkap oleh pemerintah Belanda, beliau kemudian diasingkan ke wilayah Manado, Sulawesi Utara.
Beliau diasingkan bersama dengan para tahanan dari Perang Jawa yang tersisa yaitu pasukan gerilyawan yang dipimpin Kiai Mojo.
Eyang Hasan Maolani kemudian meninggal di pengasingannya di Manado ini. Karena pengasingan ke Manado inilah ia juga dikenal sebagai Eyang Menado (penyebutan orang Sunda untuk Manado).
Beliau kemudian meninggal tepat pada 29 April 1874. Sebelum meninggal, beliau mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikuburkan di tanah kelahirannya yatu di Lengkong.
Tujuannya agar para keluarganya yang ada di Tanah Sunda tidak perlu jauh-jauh jika ingin menziarahi makamnya yang ada di Sulawesi.
Makan tempat rambut beliau dikuburkan ini dikenal dengan sebutan “Makam Rambut” karena hanya menguburkan bagian rambut dari Eyang Hasan Maolani.
Kini usaha-usaha pengajuan gelar pahlawan bagi Eyang Hasan Maolani terus dilakukan. Padahal beberapa tokoh yang diasingkan bersama dengan beliau sudah mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.
Hingga hari ini, profil Eyang Hasan Maolani masih menjadi salah satu ulama kharismatik asal Kuningan yang namanya banyak dikenal terutama masyarakat Kuningan. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)