Asal-usul pengemis, istilah pengemis ternyata sudah ada sejak abad ke-19 masehi, konon pada zaman tersebut pengemis bukan pekerjaan yang memalukan.
Pengemis justru pekerjaan yang dihargai oleh para raja di Jawa. Salah satu Raja Jawa yang menghargai pengemis adalah Sunan Pakubuwono X di Surakarta.
Ia membuat pengemis punya harga diri, sebab pengemis di era Pakubuwono X memiliki fungsi sebagai pengalap berkah.
Lebih jauh dari itu sejumlah literasi sejarah menyebut pengemis berasal dari sebuah tradisi Jawa kuno di lingkungan kerajaan bernama Pisowanan.
Salah seorang Raja Jawa yang terkenal sering melakukan Pisowanan adalah Sunan Pakubuwono X di keraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga: Sejarah Spiegel and Bistro, Toserba Pertama di Semarang Berdiri Tahun 1885
Dari tradisi Pisowanan ini terbentuk komunitas pengemis pada tahun 1895. Lantas bagaimana sejarah lengkap dari asal-usul pengemis di tanah Jawa?
Pisowanan, Tradisi yang Melahirkan Asal-usul Pengemis
Menurut tayangan sejarah di kanal Youtube @BimoKA berjudul, “Asal-usul & Sejarah Pengemis –Sedekah Raja Jawa & Wong Kemisan”, Pisowanan merupakan tradisi dari zaman Mataram hingga berdirinya Nagari Surakarta, dalam rangka menyongsong hadirnya hari Jum’at yang mulia.
Dengan kata lain, Pisowanan semacam tradisi turun-temurun umat Islam untuk menyambut datangnya rajanya hari di satu minggu penuh yakni, hari Jum’at.
Adapun acara Pisowanan kerap digelar pada hari Kamis pagi, biasanya Raja Surakarta –Pakubuwono X mengadakan pertemuan dengan para pejabat lokal dan kolonial, membahas persoalan-persoalan yang menimpa rakyatnya.
Karena acara Pisowanan dihadiri oleh tamu-tamu penting kerajaan, maka para Abdi Dalem menyiapkan segala bentuk suguhan istimewa.
Hal ini dilakukan mengingat Pakubuwono X sering menjamu tamunya setelah diskusi soal kebirokrasian selesai dibicarakan.
Selain memberikan jamuan istimewa, beberapa kegiatan yang sering dilakukan oleh Pakubuwono X pasca menerima tamu Pisowanan adalah Meditasi. Konon Pakubuwono X akan melakukan meditasi kurang lebih 1 jam lamanya untuk kemudian pergi jalan-jalan menemui rakyatnya.
Para Abdi Dalem di Keraton Surakarta akan tergopoh-gopoh menemani Pakubuwono X jalan-jalan meninjau kehidupan masyarakat sekitar.
Sambil berbicara ringan dengan pejabat kerajaan, Pakubuwono X akan memberikan Udhik-udhikan (uang receh) kepada rakyat yang ditemuinya di jalan.
Baca Juga: Tragedi Mandor Berdarah di Kalimantan, Pembantaian Massal Terkejam Zaman Jepang
Maka dari itu banyak para sejarawan dan budayawan di Keraton Surakarta berkesimpulan bahwa asal-usul pengemis berawal dari peristiwa tersebut.
Upacara Kemisan, Tradisi Pakubuwono X Tinjau Keadaan Rakyat
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Pakubuwono X memiliki kebiasaan unik yaitu sering melakukan perjalanan ke tempat-tempat dekat Keraton untuk meninjau keadaan rakyatnya.
Namun karena Pakubuwono X seorang Raja yang dibekali keistimewaan oleh para leluhurnya, sebelum melakukan perjalanan tersebut jajaran Abdi Dalem akan memberikan upacara kemisan.
Baru setelah upacara kemisan itu selesai dilakukan, Pakubuwono X akan berjalan kaki keluar dari keraton dan meninjau kehidupan rakyat.
Biasanya Pakubuwono X akan berjalan kaki ke Masjid Agung sambil menaburkan uang koin ke arah kerumunan rakyat yang menunggu kedatangan Pakubuwono X sejak pagi hari.
Mereka yang menunggu mendapatkan uang koin dari Pakubuwono akan merasa senang jika koin yang ditabur sang Raja tersangkut di tangannya. Konon bagi siapapun yang bisa menerima koin tersebut maka hidupnya bisa sukses dan bahagia.
Masyarakat Surakarta saat itu percaya bahwa koin yang berasal dari tangan Raja menyimpan keberkahan yang baik untuk kehidupan sehari-hari. Mereka yakin berkah dalam koin tersebut sama seperti rejeki yang tak terputus pemberian Tuhan yang Maha Esa.
Wong Kemisan, Penunggu Kedatangan Raja yang Setia
Setelah dijelaskan di awal mengenai upacara kemisan, pada pembahasan berikut ini akan diulas mengenai Wong Kemisan. Persoalan utamanya, apa itu Wong Kemisan?
Berdasarkan kutipan dalam tampilan visual sejarah di channel Youtube @BimoKA, Wong Kemisan merupakan wujud awal dari seorang pengemis. Mereka tadinya adalah gerombolan rakyat penunggu kedatangan Raja –Pakubuwono X yang setia.
Baca Juga: Sejarah Kusir Andong di Yogyakarta, Pernah Jadi Profesi Priyayi
Wong Kemisan menunggu Pakubuwono X memberikan uang koin tatkala berjalan kaki menuju ke Masjid Agung.
Mereka sangat yakin dengan khasiat uang koin tersebut, konon selain bisa membawa keberkahan ekonomi, uang yang diterima mereka langsung dari tangan Pakubuwono X bisa merawat kesehatan si penerima dan keluarganya.
Oleh sebab itu, demi memperoleh kebaikan hidup maka mereka rela menunggu Raja melakukan perjalanan kemisan dari Keraton ke Masjid Agung Surakarta.
Namun sepeninggal Pakubuwono X pada tahun 1939, karakter Wong Kemisan semakin berubah kearah gerombolan yang hobi minta-minta.
Mereka tidak datang meminta uang pada momentum kemisan saja, tetapi di mana ada keramaian maka di sana mereka meminta-minta.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pasca wafatnya Pakubuwono X, Wong Kemisan telah berubah menjadi “pengemis” sebagaimana orang-orang dari golongan masyarakat tak berkecukupan meminta-minta di pinggir jalan di zaman ini. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)