Jakarta, 21 Mei 1970, Menteri Penerangan Republik Indonesia memberikan penganugerahan perintis pers pada 3 tokoh yang terlupakan. Sejarah Indonesia tidak mencatat baik peran mereka dalam dunia persuratkabaran pada masa Hindia Belanda.
Hanya satu tokoh saja dalam penganugerahan perintis pers Indonesia 1970 yang sudah terkenal. Sementara dua di antaranya sama sekali tidak ada yang mengenalnya. Padahal mereka telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, rela mempertaruhkan jiwa dan raganya.
Oleh sebab itu untuk mengangkat kembali nama mereka, pemerintah Orde Baru kala itu menganugerahkan tokoh perintis pers.
Dasar penganugerahan karena kiprah tiga tokoh tersebut, khususnya telah mendidik masyarakat berpikir dengan kritis melalui tulisan-tulisannya yang terbit dalam surat kabar.
Menpen mengatakan tiga tokoh di atas telah membuat bangsa Indonesia menjadi maju. Mereka telah membekali rakyat dengan pemikiran dan tindakan yang membawa perubahan. Maka dari itu pers merupakan alat yang tak kalah penting dengan senjata.
Baca Juga: Sejarah Hari Pers Nasional dan Koran Pertama di Hindia Belanda
Tiga Tokoh Perintis Pers yang Terlupakan dari Sejarah Indonesia
Menurut surat kabar Kompas yang terbit pada tanggal 21 Mei 1970 bertajuk, “Menpen Serahkan Gelar Perintis”, tiga tokoh pers yang terlupakan dalam sejarah Indonesia antara lain yaitu, Ki Hadjar Dewantara, Haji Mohammad Djamil Gelar Mangaradja Ibutan, dan Mohammad Koerdie.
Tiga tokoh pers di atas dulu merupakan jurnalis hebat dan pemberani. Tulisan-tulisan mereka sering menentang pemerintah kolonial Belanda.
Bagi mereka surat kabar merupakan senjata paling ampuh untuk menghajar Belanda. Sebab dengan surat kabar, para penulis revolusioner bisa mengajak massa banyak untuk menyerang Belanda.
Ki Hadjar Dewantara merupakan wartawan pemberani. Tapi narasi sejarah ini kurang ditonjolkan, yang ada Ki Hadjar terkenal luas sebagai bapak pendidikan Nasional.
Padahal sebelum terjun ke dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara memperjuangkan kemajuan bangsanya dengan pers.
Mengutip Kompas (1970), Ki Hadjar Dewantara terkenal sebagai jurnalis yang mengalami tiga zaman sekaligus. Antara lain zaman kolonial Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan Republik Indonesia.
Baca Juga: Upaya Pembunuhan Ki Hadjar Dewantara 1946, Rumahnya Dibom PKI?
Dari tiga zaman itu Ki Hadjar masih aktif menulis, di sela kesibukannya di Taman Siswa, Ki Hadjar masih sempat membuat artikel-artikel bernada revolusioner.
Haji Mohammad Djamil, Jurnalis Perintis Pers di Sumatera Utara
Haji Mohammad Djamil merupakan seorang jurnalis senior yang ikut memperjuangkan kemerdekaan. Namun karena tidak ada yang menelusuri data-data kehidupannya, pria kelahiran Tapanuli Selatan tahun 1895 ini hilang dalam catatan sejarah Indonesia.
Walaupun berasal dari kalangan ningrat Gelar Mangaradja Ibutan, Haji Mohammad Djamil tetap memperhatikan kehidupan rakyat kecil yang miskin akibat tekanan kolonialisme.
Berangkat dari situasi serba sulit ini Haji Mohammad Djamil mulai tergerak untuk memperjuangkan nasib rakyat tadi melalui media paling tepat.
Karena ia terampil membuat tulisan maka media yang dianggap tepat untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil adalah pers.
Singkat cerita tulisan-tulisannya tersebar ke berbagai daerah di Sumatera Utara. Ia menerbitkan artikel-artikel propaganda anti kolonial dalam dua surat kabar besar di Medan bernama Pewarta Deli dan Sinar Deli.
Seiring dengan berkembangnya waktu Haji Mohammad Djamil ditunjuk menjadi Pemimpin Redaksi dua surat kabar di atas. Adapun menjadi pemred Pewarta Deli terhitung dari tahun 1923-1929, sedangkan Sinar Deli 1929-1942.
Tulisan-tulisan Haji Mohammad Djamil dianggap sukses menyadarkan rakyat untuk melawan penjajah. Artikel-artikel yang terbit di dua perusahaan surat kabar tersohor Medan berhasil membawa namanya terkenal ke berbagai daerah di Sumatera dan Jawa.
Selain aktif dalam dunia pers, Haji Mohammad Djamil juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Karena terlanjur kesal dengan Belanda yang represif, Haji Mohammad Djamil pernah ikut mengangkat senjata.
Baca Juga: Sejarah Pers di Sumatera, Kisah Perempuan yang Melawan Adat
Maka dari itu tidak hanya mendapatkan penganugerahan perintis pers Indonesia pada tahun 1970, Haji Mohammad Djamil juga pernah mendapat gelar perintis kemerdekaan dan veteran pejuang kemerdekaan (Gol. A) tahun 1965.
Gelar yang diperoleh Haji Mohammad Djamil menandakan jika ia tidak hanya aktif sebagai jurnalis saja, akan tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata. Haji Mohammad Djamil mantan kombatan perang yang terampil menulis.
Mohammad Koerdie, Jurnalis Kemerdekaan Asal Ciamis, Jawa Barat
Mohammad Koerdie merupakan seorang jurnalis kemerdekaan yang lahir di Ciamis tahun 1907. Namanya kurang terkenal dalam sejarah Indonesia karena tidak banyak orang yang tahu kalau ternyata Koerdie adalah tokoh penting perintis pers di Jawa Barat.
Berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara dan Haji Mohammad Djamil yang secara frontal menentang kolonialisme lewat surat kabar, Mohammad Koerdie cenderung memperjuangkan pers untuk kemerdekaan bangsa dengan cara yang diplomatis.
Ia memanfaatkan oposisi dari pemilik perusahaan suratkabar Belanda. Tujuannya, jika oposisi itu berhasil dikumpulkan maka pemerintah kolonial akan mengizinkan penerbitan surat kabar miliknya tersebar tanpa takut kena persdelicht.
Ketika izin itu Koerdie kantongi dari pemerintah Belanda, ia menyimpan tulisan-tulisan di kolom kecil yang isinya revolusioner. Tulisan tersebut berisi semangat kemerdekaan dan menuntut pemerintah kolonial hengkang dari tanah Sunda.
Oleh sebab itu, walaupun Koerdi merupakan oposisi dengan pers Belanda, tapi surat kabar yang belum diketahui secara pasti namanya apa, terus mengajarkan nilai-nilai yang bersifat kritis. Mohammad Koerdi menjadi guru pergerakan rakyat Jawa Barat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)