Sejak zaman kolonial Hindia Belanda golongan Santri memiliki sentimen yang kuat terhadap orang-orang Abangan dan Priyayi. Para Santri selalu menganggap Abangan dan Priyayi sebagai musuh bebuyutan. Mereka tidak akur dan selalu berselisih pandangan.
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada dalam jurnal dan artikel ilmiah kebudayaan, sentimen tersebut terjadi karena para santri menganggap Abangan dan Priyayi selalu menyimpang dari Syariat meskipun mengaku beragama Islam.
Golongan Abangan misalnya, secara kolektif mereka mengaku jika agamanya adalah Islam namun secara praktik mereka cenderung menyimpang jauh dari ajaran Islam.
Baca Juga: Soeharto dan Hartinah, Kisah Cinta Orang Biasa dan Keturunan Ningrat
Sedangkan orang-orang dari golongan Priyayi terlalu liberal sehingga sering melalaikan kewajibannya sebagai orang Islam. Mereka akan Islam hanya di waktu tertentu saja.
Menariknya walaupun sentimen ini terjadi sejak zaman Hindia Belanda, permusuhan antar golongan Santri, Abangan, dan Priyayi juga terbawa hingga era Orde Baru.
Konon para Santri tidak terlalu respect dan suka beratensi tinggi pada Presiden Soeharto karena ia disinyalir termasuk tipikal orang Jawa Abangan.
Awal Mula Sentimen Santri Zaman Orba, Kesal Golongan Abangan dan Priyayi Jadi PNS
Menurut surat kabar Belanda “De Warheid” yang terbit pada 2 Desember 1989 bertajuk, “De Islam in Indonesie”, hampir seluruh golongan Santri di Indonesia terutama yang ada di Jawa merasa kesal dan tidak respect pada Presiden Soeharto karena kebanyakan lowongan kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diisi oleh orang-orang Abangan dan Priyayi.
Struktur ini terjadi sejak zaman Belanda dulu, bahkan Belanda sering membawa anak keturunan orang-orang Abangan dan Priyayi untuk jadi penerus pekerjaan ayah, kakek, atau kakaknya yang lebih dahulu menjadi Ambtenaren (Pegawai Negeri). Bahkan dalam sejarah kolonial, tidak pernah ada golongan santri yang menjadi pegawai negeri.
Tradisi kolonial di atas terbawa hingga era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kebanyakan pegawai negeri diangkat sesuai dengan jaringan keluarga yang berasal dari kalangan Priyayi dan Abangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam suratkabar De Warheid (1989) berikut:
“Data ini masih faktor yang paling dominan (Golongan Priyayi dan Abangan banyak jadi PNS) dalam kehidupan sosial Indonesia. Mereka biasanya bekerja di bidang pemerintahan/kebirokrasian dan abdi negara. Mereka yang bekerja tadi sebagian besar terdiri dari kaum Priyayi dan Abangan. Sedangkan Santri dikalangan terkecil saja”.
Presiden Soeharto Tipikal Orang Jawa Abangan
Masih menurut surat kabar De Warheid (1989), Presiden Soeharto masuk ke dalam tipikal orang Jawa Abangan. Wartawan Belanda tersebut membuat pernyataan ini karena ia pernah melihat kegiatan spiritualis Presiden Soeharto selain berdasar pada ajaran Islam secara umum.
Baca Juga: Pemuda Zaman Orba, Hidup Manja dan Gemar Menghisap Ganja?
Presiden Soeharto sering berdiskusi dengan guru spiritualnya yang berasal dari tokoh Kejawen. Entah apa yang menjadi topik bahasan dua tokoh di atas, yang jelas meskipun sudah pergi berangkat Haji ke Mekkah, Soeharto masih mempercayai ajaran agama tradisional (Kejawen).
Pernyataan di atas sebagaimana dikutip oleh penulis dalam surat kabar De Waarheid (1989) berikut ini, “De huidhe president Soeharto is een typsche “Abangan Javaan” ofschoon hij reeds zijn bedevaart heft gemaakt naar Mekka, is hij dagelijks meer bezig met zijn “Dukun’s” (Javaanse Waarzeggers, Traditionele helers)”.
Artinya: “Presiden Jenderal Soeharto adalah tipikal orang Jawa Abangan. Padahal ia sudah menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Namun ia lebih sibuk setiap hari dengan guru spiritual yang kerap dipanggil Dukun. Dukun atau Javaanse Waarzeggers Traditionele helers –dukun atau peramal Jawa”.
Identik dengan Abangan, Presiden Soeharto Sukses Berantas Terorisme
Kendati banyak dikabarkan miring tentang kepercayaan Presiden Soeharto yang identik dengan Abangan, pemimpin Republik Indonesia kedua ini sukses berantas terorisme dan gerakan separatis berbasis agama di Jawa dan Sulawesi Selatan.
Dua peristiwa yang terjadi di pulau Jawa dan Sulawesi Selatan yaitu kejadian pemberontakan DI/TII tahun 1950-an.
Saat itu Presiden Soeharto masih menjadi tentara di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam tugasnya di bidang militer, Jenderal Soeharto terkenal kejam di kalangan musuh.
Baca Juga: Sejarah Kelompok Pathuk dan Kisah Persahabatan Soeharto dengan Agen Spionase PKI
Jenderal Soeharto memberantas para teroris dan separatis yang subversif pada Pancasila bersama dengan anak buahnya di barak militer. Soeharto dan anak buahnya tak segan-segan menghabisi gerakan teroris dan separatis secara keji dan sadis.
Konon sifat tega yang kerap ditunjukkan oleh Soeharto berasal dari dalam hatinya sebagai orang Abangan.
Walaupun terkenal sadis dan keji, bagi Sebagian rakyat Indonesia Jenderal Soeharto tetap menjadi figur pejuang bangsa yang hebat.
Sebab kiprahnya saat membersihkan Indonesia dari ancaman teroris dan gerakan separatis membuatnya ditakuti oleh banyak para pelaku selanjutnya. Oleh sebab itu saat Soeharto menjadi Presiden kedua, Indonesia aman dari serangan teroris. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)