Sejarah pasar baru Bandung tak luput kaitannya dengan himpunan masyarakat Tionghoa yang hidup di zaman kolonial Hindia Belanda. Etnis Tionghoa sudah menjajaki daerah Pasar Baru sejak awal abad ke -19 masehi.
Masyarakat Tionghoa datang ke Bandung bukanlah yang pertama kali, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Pasar Baru merupakan generasi ke-4 atau 5 di tahun 19800-an. Sudah sangat lama orang Tionghoa menetap di daerah tersebut.
Lantas apa yang membuat mereka menjadi betah tinggal di sana? Sedikit banyak pertanyaan di atas bisa terjawab dengan melihat semangat dagang etnis Tionghoa sejak awal datang ke daerah Bandung.
Mereka merasa daerah pasar baru saat ini, cocok dijadikan pusat perdagangan. Maka dari itu banyak orang Tionghoa menetap di sana.
Mereka membangun rumah-rumah sederhana dan terkadang rumah tersebut berfungsi ganda –selain jadi tempat tinggal tapi juga jadi gudang barang dagangan.
Baca Juga: Saudagar Bandoeng dari Pasar Baru, Komunitas Pedagang Sukses Tahun 1906
Asal-usul dan Sejarah Pasar Baru Bandung
Pasar baru Bandung sudah ada sejak awal abad ke-19. Menurut informasi yang beredar pasar tersebut mulai ramai dipadati pengunjung pada tahun 1906.
Pasar Baru didirikan oleh etnis Tionghoa, mereka bahu membahu mendirikan pusat dagang di Bandung mengingat kota ini tidak punya pasar sebelumnya.
Golongan Tionghoa memahami peluang untuk berdagang di Kota Kembang. Karena Bandung tidak punya pusat perdagangan, mereka –orang-orang Tionghoa berinisiatif mendirikan pasar induk, dulu nama pasar ini bukan Pasar Baru melainkan Pasar Ciguriang.
Perubahan nama dari Pasar Ciguriang menjadi Pasar Baru tak lekang dari peristiwa konflik antara orang Tionghoa dengan pemerintah kolonial Belanda.
Konon etnis Tionghoa membenci pemerintah kolonial dan menyerang kantor Asisten Residen Belanda di Bandung bernama C. Wilhelm August Nagel.
Ketika Nagel menguasai pasar Ciguriang para pedagang Tionghoa memusuhinya. Akibatnya mereka menyusun rencana membakar pasar tersebut. Tanpa pikir panjang mereka menghabisi pasar Ciguriang menggunakan minyak tanah dan api obor yang dilemparkan ke arah lapak-lapak pasar tersebut.
Baca Juga: Sejarah Kekerasan Etnis Tionghoa di Malang 1945-1947
Sedang pada tahun 1926 pasar Ciguriang mendapat perbaikan sembari dilakukan perluasan. Seiring dengan revitalisasi pasar Ciguriang kemudian berganti nama menjadi Pasar Baroeweg (dibaca: Pasar Baru).
Nama ini berubah karena proyek pembangunan setelah konflik usai berfungsi jadi “pasar pengganti” dari pasar Ciguriang yang terbakar.
Sejarah Pasar Baru Bandung, Eks Tempat Tinggal Saudagar Terpandang
Menurut Sugiri Kustedja dalam Jurnal Sosioteknologi, edisi 26 tahun 11 Agustus 2012 berjudul, “Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung”, Pasar Baru Bandung tempo dulu merupakan eks- tempat tinggal saudagar terpandang.
Mereka lahir dari kalangan pedagang Tionghoa yang datang dan tinggal di Bandung jauh sebelum abad ke-19. Kebanyakan dari mereka menjadi pengusaha kain batik.
Kendati begitu fakta lain mengungkapkan golongan saudagar itu dulunya keturunan prajurit Senapati pendukung perang Jawa 1825-1830. Saudagar itu kerap dipanggil dengan sebutan urang pasar dan mandoran.
Terlepas mana yang benar dan salah fenomena ini telah menunjukan betapa terpandangnya saat itu para pedagang yang tinggal di daerah Pasar Baru. Kaum saudagar terpandang membuat tempat itu terkenal jadi pemukiman para pedagang yang kaya raya.
Pasar Baru menjadi pusat peradaban pedagang di kota Bandung. Mereka berkumpul di pasar tersebut untuk bertukar bisnis, tak heran banyak para pedagang yang terlanjur betah dan tinggal di tempat tersebut sampai tua bahkan hingga akhir hayatnya tiba.
Baca Juga: Nyonya Ong Thay Hoo, Tionghoa Kaya Asal Bandung Jadi Korban Perampokan 1926
Memperoleh Anugerah Pasar Terbersih Zaman Kolonial
Pasar baru Bandung yang terletak di kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, pada tahun 1935 memperoleh gelar “pasar terbersih” di daerah Priangan.
Pemerintah kolonial Belanda memberikan penganugerahan piala kebersihan pada Pasar Baru karena keadaan tempat tersebut memang benar-benar bersih. Para pedagang di Pasar Baru yang terbiasa melakukan disiplin kebersihan.
Mereka sudah membiasakan ini sejak awal kedatangannya di tempat tersebut. Para pedagang Tionghoa tak akan menutup lapaknya sebelum semuanya bersih. Sisa-sisa dagang yang tercecer akan dibersihkan oleh mereka sendiri tanpa bantuan tenaga kebersihan.
Berbeda dengan pedagang saat ini, para pedagang dari Saudagar terpandang di Pasar Baru Bandung peduli dengan kebersihan. Menurut kepercayaan mereka kebersihan adalah bagian dari hoki. Artinya jika kita bisa menjaga kebersihan maka nanti bisnis kita bisa laris ketimbang pedagang lain yang tak memperhatikan kebersihan.
Selain menilai dari keadaan yang bersih pemerintah kolonial juga menghargai budaya disiplin orang Tionghoa dalam menjaga lingkungan. Harapannya dari budaya tersebut mereka bisa menularkannya hingga ke rakyat bumiputera. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)