Sejarah Operasi Seroja merupakan kisah tentang operasi militer Indonesia ke wilayah Timor Timur pada masa Orde Baru.
Sejarah ini menjadi salah satu sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia karena menjadi cikal bakal konflik yang menyebabkan Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Namun, hal itu berubah semenjak Partai Fretilin melakukan deklarasi untuk membentuk negara sendiri yang merdeka dari Indonesia.
Melihat adanya indikasi separatisme dari deklarasi itu, maka dimulainya Operasi Seroja tepat pada 7 Desember 1975.
Operasi ini digambarkan sebagai operasi terbesar yang pernah dilakukan Indonesia yang melibatkan hampir semua pasukan angkatan darat.
Baca Juga: Kisah Marsinah, Pahlawan Buruh yang Dibunuh pada Era Orde Baru
Sejarah dan Latar Belakang Operasi Seroja
Operasi Seroja dimulai secara resmi tepat pada 7 Desember 1975. Operasi yang dilakukan oleh Indonesia pada periode Orde Baru ini merupakan respon dari Partai Fretilin yang ingin memerdekakan diri dari Republik Indonesia.
Deklarasi yang dilakukan pada 28 November 1975 ini merupakan akibat dari Revolusi Anyelir yang terjadi di Portugal pada 25 April 1974.
Presiden Spinola yang berkuasa setelah melakukan kudeta di Portugal mencanangkan gerakan dekolonisasi terhadap daerah-daerah jajahannya, termasuk Timor Timur.
Kondisi ini menyebabkan perpolitikan di Timor Timur menjadi memanas yang melahirkan tiga partai yang memiliki perbedaan pandangan mengenai Timor Timur.
Partai Fretilin menginginkan agar Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri dan lepas dari campur tangan negara asing.
Sedangkan, Partai Apodeti menghendaki agar Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia dan menentang adanya pemisahan diri.
Khusus Partai Uni Demokrat Timur sebenarnya lebih bersifat moderat, yaitu ingin bergabung bersama dengan Portugal sebagai langkah awal menuju kemerdekaan.
Perang saudara pun tidak bisa terelakkan yang memakan korban terutama dari pihak-pihak yang mendukung penyatuan dengan Republik Indonesia.
Mengutip sebuah buku “Sejarah TNI Angkatan Udara: 1970-1979” (2007), pasukan Fretilin melakukan kekerasan terhadap warga sipil untuk menebarkan ketakutan.
Aksi pembantaian pun dilakukan oleh Fretilin bersama dengan pasukannya yang disebut dengan Falintil. Selepas memenangkan peperangan, ia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 28 November 1975.
Namun, deklarasi ini sebenarnya tidak mendapatkan dukungan dari penduduk Timor Timur lainnya. selain itu, Fretilin juga belum mendapatkan dukungan dari dunia Internasional.
Melihat deklarasi yang dilakukan Fretilin dibuatlah deklarasi tandingan yang bernama Deklarasi Balibo yang memiliki keinginan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Pihak-pihak yang tergabung dalam deklarasi ini adalah UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalhista.
Baca Juga: Jenderal LB Moerdani, Intelijen Misterius yang Hidup di Era Orde Baru
Jalannya Operasi Seroja
Dalam catatan sejarah, operasi invasi ke Timor Timur ini dinamakan dengan sandi Operasi Seroja yang dimulai pada 7 Desember 1975. Operasi ini ditandai dengan pendaratan utama di Pantai Dili sebelah Utara.
Penyerbuan Indonesia ke Timor Timur ini dianggap sebagai operasi terbesar waktu itu, yang melibatkan semua elemen dalam angkatan bersenjata Indonesia.
Rinaldo Adi Pratama dan Yusuf Perdana dalam, “Sejarah Indonesia Masa Orde Baru hingga Reformasi” (2019) menjelaskan setidaknya pasukan yang terlibat dalam operasi itu mulai dari Angkatan Udara (AU), Angkatan Darat (AD), hingga Angkatan Laut (AL) bersama dengan pihak yang pro terhadap penyatuan kepada Republik Indonesia.
Peperangan yang dilakukan terjadi secara sengit. Pasukan Falintil yang sudah terlatih melakukan perlawan secara sengit.
Pasukan Indonesia pun mendapatkan bantuan militer berupa rudal, kapal selam, hingga pesawat dari negara-negara seperti Jerman dan AS.
Dukungan dari negara-negara ini sebenarnya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Salah satu tujuannya adalah untuk membendung pengaruh Komunis di kawasan Asia Tenggara.
Bantuan yang diberikan oleh negara lain ini ternyata berdampak positif bagi Indonesia. wilayah perkotaan yang awalnya dikuasai oleh pasukan Fretilin berhasil dikuasai oleh pasukan Indonesia.
Alhasil peperangan resmi berakhir pada 1978 yang berakhir dengan kemenangan Indonesia. Konflik ini menimbulkan korban yang tidak sedikit. Bahkan korban diperkirakan mencapai 100.000-200.000 orang, kebanyakan dari warga sipil.
Sementara itu 3000 pasukan Falintil menyerahkan diri kepada pasukan Indonesia setelah dilakukan pengepungan selama berhari-hari.
Pelanggaran HAM Selama Konflik dan Pasca Operasi Seroja
Konflik yang terjadi antara Pasukan Falintil dengan Indonesia ini bisa dikatakan memakan korban yang tidak sedikit terutama dari pihak sipil.
Kasus pelanggaran yang cukup terkenal pasca peperangan ini salah satunya adalah peristiwa Pembantaian Santa Cruz.
Pembantaian ini berawal dari para pemuda yang pro terhadap Fretilin membentangkan bendera Fretilin dan meneriakkan kemerdekaan.
Pemuda yang membentangkan benderanya tadi kemudian diberondong dengan peluru tajam yang menyebabkan 250 pemuda tewas dalam peristiwa itu.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1991 itu sampai dijadikan sebuah film yang berjudul Beatriz’s War. Film ini rilis pada tahun 2013 yang menggambarkan kekejaman tentara Indonesia terhadap mereka yang pro Fretilin.
Baca Juga: Sejarah Intelijen di Indonesia, dari Orde Baru hingga Era Reformasi
Selain itu, Prabowo Subianto dan Wiranto waktu itu juga diduga terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran HAM selama Operasi Seroja di Timor Timur.
Meskipun, ketika dilihat dari perspektif yang lainnya, Pasukan Falintil juga turut serta dalam kasus yang melanggar HAM di Timor Timur.
Salah satu kasus yang disoroti adalah pembantaian terhadap para pendukung dari partai yang menginginkan agar Timor Timur integrasi dengan Indonesia.
Selain itu pasukan Falintil pun sering menjadikan penduduk sipil sebagai tameng hidup ketika menghadapi pasukan Indonesia. kondisi inilah yang menyebabkan pasukan Indonesia mengalami kesulitan.
Menurut Helene van Klinken, dalam “Anak-Anak Timtim di Indonesia” (2014), bahkan korban kekerasan oleh Pasukan Falintil ini banyak yang masih dalam kategori anak-anak.
Mereka harus menjadi yatim piatu ketika orang tuanya dibunuh oleh Pasukan Falintil. Selain itu, terdapat banyak kasus anak-anak yang menjadi trauma secara psikologis.
Konflik Indonesia di Timor Timur ini menjadi salah satu gambaran betapa rumitnya gambaran konflik di daerah perbatasan.
Dominasi yang berlebih terhadap suatu wilayah membuat kawasan tersebut rawan terjadinya konflik kepentingan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa memenuhi kebutuhan ekonomi dan fasilitas pembangunan yang memadai menjadi salah satu faktor menguatnya rasa cinta kepada tanah air. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)