Sejarah mencatat, kusir andong pada abad 19 mendapat perhatian khusus dari masyarakat bumiputera di Yogyakarta, hal ini erat kaitannya dengan posisi kusir pada saat itu yang dianggap istimewa karena kusir bagian dari profesi seorang priyayi terpandang.
Keistimewaan para kusir andong ini juga tambah terekspos oleh masyarakat umum saat itu ketika zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Ia menjadikan kusir andong bagian dari orang yang punya kepentingan di balik benteng keraton.
Selain berasal dari priyayi biasa, profesi menjadikan kuda sebagai alat transportasi kala itu di Yogyakarta juga diperankan oleh orang-orang penting di keraton. Mereka membudidayakan kuda untuk kebutuhan transportasi kerajaan.
Sebagian kuda lain yang tersisa digunakan untuk menarik penumpang. Pekerjaan sebagai kusir andong menjadi bagian dari profesi istimewa, selain karena harganya yang mahal kuda juga dianggap sebagai binatang yang disakralkan oleh kalangan bangsawan Jawa.
Baca Juga: Abdi Dalem Palawija di Keraton Yogyakarta, Pendamping Raja yang Setia
Sejarah Kusir Andong di Yogyakarta Rakyat Biasa Tidak Bisa Menaiki Andong
Andong berfungsi pada era Hamengkubuwono VII, kendaraan roda dua yang ditarik oleh kuda ini dulunya tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang bisa naik andong berasal dari kalangan ningrat daerah.
Selain karena prestise andong kala itu sangat tinggi, bayaran untuk menaiki andong juga sangat mahal. Oleh sebab itu biasanya kendaraan andong ini hanya diperuntukan pada golongan priyayi agung atau sering disebut dengan istilah Priyagung.
Hal ini menandakan jika andong bukan kendaraan biasa. Begitu pun dengan kusir andong, mereka bekerja tidak sembarangan, selain upahnya yang banyak kusir andong juga dianggap sebagai orang penting yang memiliki hubungan spesial dengan priyayi keraton.
Maka dari itu rakyat biasa tidak bisa menaik andong secara sembarangan. Alhasil andong menjadi kendaraan istimewa pada abad -19 masehi di tanah Jawa, khususnya di Yogyakarta.
Rakyat biasa hanya bisa melihat dan memimpikan suatu saat nanti bisa menikmati naik andong. Bagi mereka harapan tersebut merupakan mimpi yang mahal.
Zaman Sultan Hamengkubuwono VIII Andong jadi Transportasi Umum
Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII andong mengalami perubahan fungsi yang signifikan. Sejarah mencatat, kusir andong di Yogyakarta saat itu diizinkan mengangkut orang biasa dengan bayaran yang tak terlalu mahal.
Hal ini Hamengkubuwono VIII lakukan karena simpati pada rakyat kecil. Terutama anak-anak yang dahulu memimpikan ingin naik andong tapi belum terealisasi. Bagi HB VIII hal itu sangat bermanfaat untuk mengobati kekecewaan mereka di masa lalu.
Baca Juga: Sejarah Abdi Dalem, Pembantu Sukarela di Keraton Yogyakarta
Namun ada yang lebih penting mengapa HB VIII mengizinkan andong dinaiki oleh rakyat biasa, antara lain karena jumlah kuda di Yogyakarta sudah banyak.
Adapun lain alasan yaitu, HB VIII ingin membantu pemerintah kolonial untuk menyediakan transportasi umum untuk mengangkut aktivitas jual-beli di pasar.
Oleh sebab itu ia mengijinkan agar andong bisa dipakai oleh rakyat biasa dengan biaya yang minim. Walaupun begitu beberapa kuda masih disakralkan oleh keraton dan kuda-kuda itu dipelihara khusus oleh abdi dalem untuk kepentingan transportasi kerajaan dan utusan-utusannya.
Hamengkubuwono VIII menjadi tokoh penting yang dikenang oleh rakyat Yogyakarta pada awal abad 20, terutama tokoh yang menciptakan nuansa kota tanpa sekat kasta, salah satunya menghilangkan keistimewaan andong bagi rakyat bumiputera biasa.
Andong jadi Transportasi Daya Tarik Wisatawan
Menjelang tahun 1960-an transportasi andong semakin terlihat biasa. Siapapun bisa menjadi pengendara dan penumpangnya. Profesi kusir andong tidak lagi istimewa dan dianggap sebagai pekerjaan yang memiliki prestise tinggi di Yogyakarta.
Menurut tim penulis prodi sejarah USD dalam buku berjudul, “Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam” (2015), seiring dengan berkembangnya zaman transportasi andong mengalami perubahan fungsi. Hal ini wajar terjadi karena lahirnya kendaraan-kendaraan modern yang lebih baik.
Baca Juga: Sejarah Hotel Inna Garuda Malioboro, Charlie Chaplin Pernah Menginap di Sini
Pada tahun 1960 andong mulai kehilangan pamor sebagai simbol kendaraan golongan ningrat. Untuk mendongkrak perekonomian kusir andong pemerintah Yogyakarta saat itu menjadikan transportasi berkuda tersebut sebagai kendaraan daya tarik untuk wisatawan.
Artinya andong dipekerjakan sebagai kendaraan lampau yang penuh dengan kenangan masa lalu. Kusir andong berpakaian khas Jawa dan menarik turis yang sedang berkunjung di Kota Gudeg. Andong dianggap ampuh menarik wisatawan untuk meramaikan kota Yogyakarta saat itu.
Alhasil perekonomian kusir andong kembali stabil walaupun tidak seperti dulu tapi rezeki mereka selalu berhasil menutupi kebutuhan sehari-hari. Kusir andong semakin sadar, semua pekerjaan di masa lalu yang punya kasta tinggi akan menurun dan tergilas seiring dengan berjalannya waktu. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)