Pada zaman revolusi kemerdekaan etnis Tionghoa jadi sasaran amuk kaum pribumi di kota Malang. Kekerasan etnis Tionghoa di Malang ini terjadi pada rentang waktu tahun 1945-1947. Konon etnis Tionghoa dibantai oleh para pribumi akibat taktik adu domba Belanda menghancurkan pertahanan republik.
Tragedi pembantaian etnis Tionghoa di Malang ini membuat siapapun yang melihatnya ngeri. Sebab kaum pribumi waktu itu tidak mengenal muda tua, laki-laki dan perempuan, asalkan mereka dari etnis Tionghoa maka akan dibantai habis.
Permusuhan yang berakhir dengan pembantaian ini juga didukung oleh karena salah seorang pejuang berpengaruh –Bung Tomo, menganggap etnis Tionghoa sebagai kolaborator Belanda.
Baca Juga: Chung Hwa Hui, Organisasi Tionghoa Tertua di Indonesia
Karena pernyataan Bung Tomo itu maka banyak para pejuang di Malang melakukan perlawanan pada etnis Tionghoa.
Hampir seluruh rumah-rumah mewah milik orang Tionghoa dirusak dengan cara dibakar. Begitu pun dengan penghuninya –disiksa, diperkosa, dan dibakar hidup-hidup.
Sejarah Kekerasan Etnis Tionghoa di Malang, Meredam Sentimen dengan Organisasi AMT
Menurut Geza Surya Pratiwi dalam Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 18, No. (1) 2022 berjudul, “Kekerasan Terhadap Golongan Tionghoa pada Masa Revolusi di Malang, 1945-1949”, terdapat tokoh Tionghoa berpengaruh di Malang bernama Siaw Giok Bie dan Go Gien Tjwan. Mereka berdua meredam sentimen anti Tionghoa dengan mendirikan Angkatan Moeda Tionghoa (AMT).
Tugas AMT tidak lain adalah membantu perjuangan kaum republik mendapatkan kemerdekaan. Saking seriusnya dengan perjuangan ini beberapa anggota AMT bergabung dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Mereka rela mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Etnis Tionghoa dalam AMT memiliki keyakinan yang sama dengan bangsa pribumi –Negara Kesatuan Republik Indonesia milik kita bersama.
Baca Juga: Angkatan Moeda Tionghoa, Organisasi Timur Asing Revolusioner di Indonesia
Selain meleburkan diri ke dalam BPRI, para anggota AMT juga ada yang jadi pembantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
AMT bersama TKR bahkan menegaskan bahwa musuh bangsa Indonesia bukanlah orang Tionghoa melainkan tentara Belanda. Pernyataan ini disampaikan setiap apel pagi atau sebelum para tentara melaksanakan tugas gerilya.
Etnis Tionghoa Kembali Dipandang Negatif Oleh Pribumi
Meskipun AMT menyumbangkan kegiatan yang bersifat mendamaikan antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Malang, namun bentuk persaudaraan yang didasarkan atas perasaan yang sama –terjajah tak mampu bertahan hingga lama.
Permusuhan antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Malang kembali terjadi pada tahun 1946. Tepatnya ketika ada oknum Tionghoa bernama Kwee Djoen Siang yang telah mencederai hubungan baik golongan Tionghoa dengan pribumi.
Rupanya setelah ditelusuri lebih dalam apa motif Kwee Djoen Siang mengadu domba lagi etnis Tionghoa dengan pribumi, jawabannya karena ia ditugaskan oleh Belanda yang hendak menciptakan kekacauan pada pertahanan militer di Malang.
Sebagai imbalannya Kwee Djoen Siang dibantu Belanda melancarkan usaha buruknya –mencetak uang palsu lalu disebarkannya ke beberapa pribumi dan golongannya sendiri.
Selain itu Kwee juga sering menggelar propaganda (melalui seni sandiwara) di kalangan Tionghoa supaya benci pada pribumi.
Pernyataan di atas ini sebagaimana Geza (2022) sampaikan dalam kutipan berikut: “walaupun gerakan Kwee Djoen Siang ini tidak terlalu massif namun adanya peristiwa ini telah berkontribusi terhadap menguatnya anggapan di kalangan masyarakat Malang bahwa orang-orang Tionghoa tidak mendukung perjuangan revolusi Indonesia”.
Artinya Kwee Djoen Siang sukses menjalankan tugasnya menghancurkan hubungan baik etnis Tionghoa dengan pribumi di Malang. Akibatnya ketika revolusi Indonesia berkecamuk pribumi melakukan pembantaian massal pada orang-orang Tionghoa tanpa pengampunan.
Baca Juga: Nyonya Ong Thay Hoo, Tionghoa Kaya Asal Bandung Jadi Korban Perampokan 1926
Konflik Etnis Tionghoa dengan Laskar Kemerdekaan
Pada puncaknya, permusuhan antara etnis Tionghoa dengan pribumi terjadi pada tanggal 21 Juli 1947, telah terjadi konflik antara etnis Tionghoa dengan laskar kemerdekaan.
Mereka saling memerangi satu sama lainnya menggunakan senjata. Pertumpahan darah pun mengucur membasahi tanah di jalan Jagalan, Malang, Jawa Timur.
Laskar revolusi kemerdekaan membantai habis etnis Tionghoa. Mereka dibakar, diperkosa, dan disiksa parah di depan anak-anak. Kejadian ini tidak hanya terjadi di satu tempat –jalan Jagalan, kota Malang, tetapi juga terjadi di daerah Kajoetangan.
Kekerasan yang terjadi di Malang ini melanggar moral manusia, maka konflik berdarah antara etnis Tionghoa dengan laskar kemerdekaan pun dilerai oleh dua tokoh yang saling dituakan kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
Mereka tidak lain terdiri dari Residen Malang, Soenarko dan tokoh Tionghoa dari perkumpulan Chung Hua Tsung Hui. Dua tokoh berpengaruh di Malang ini setuju menciptakan perdamaian. Mereka berdua melerai rakyatnya supaya tahan emosi dan jangan tertipu oleh taktik licik adu domba Belanda.
Dua tokoh yang mencerminkan perdamaian ini juga menjelaskan bahwa konflik yang telah terjadi ini secara tidak disadari berasal dari kekuatan Belanda. Mereka sengaja mengadu domba etnis Tionghoa dengan pribumi karena ingin menghancurkan benteng pertahanan kaum republik.
Oleh sebab itu jika rakyat pribumi dan etnis Tionghoa benar-benar ingin merdeka, terbebas dari genggaman Belanda, dan mendapatkan hak kedaulatan sebagai bangsa di negara yang maju, maka konflik ini harus dihentikan.
Lebih baik lagi dua kekuatan saling menyatu untuk mendorong lebih cepat dimenangkannya kemerdekaan Indonesia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)