Pada tahun 1934 masyarakat Garut, Jawa Barat berterima kasih sekali atas hadirnya seorang Vroedvrouw (bidan) perempuan yang baik bernama Sadjaah. Menurut catatan kolonial Vroedvrouw Sadjaah merupakan bidan pertama dari kalangan pribumi yang bertugas di daerah Garut.
Bidan Sadjaah adalah penolong wanita-wanita hamil saat melahirkan bayi. Bidan Sadjaah menolong mereka dengan ikhlas, tidak dibayar apalagi meminta bayaran. Semua itu ia lakukan untuk kesehatan bangsa pribumi.
Selama mengabdikan diri sebagai Bidan di Garut, Sadjaah diberikan kewenangan bertugas oleh pemerintah kolonial.
Artinya meskipun Sadjaah tidak diberikan bayaran oleh pasien-pasiennya yang tak mampu, uang atau pendapatan sehari-hari untuk hidup ia dan keluarganya ditanggung oleh pemerintah kolonial.
Baca Juga: Kisah Maling Kebal di Bantul 1930, Korbannya Dipukul dan Terhipnotis
Maka dari itu Bidan Sadjaah tidak khawatir apabila ia menolong melahirkan tanpa dibayar. Apalagi kepada orang-orang miskin yang tak cukup biaya untuk melahirkan di rumah sakit.
Bidan Sadjaah juga menggratiskan pasiennya untuk memberikan edukasi jika melahirkan itu butuh pengawasan medis bukan dukun (supranatural).
Bidan Pertama dari Kalangan Pribumi, Merangkap Jadi Dokter Rakyat di Garut
Kebaikan-kebaikan Bidan Sadjaah nampaknya dirasakan oleh rakyat Garut dalam berbagai hal. Tidak saja membantu wanita hamil untuk melahirkan, Bidan Sadjaah juga kerap membantu pasien-pasien umum untuk sembuh dari sakitnya.
Dengan kata lain Bidan Sadjaah telah merangkap menjadi dokter rakyat. Menurut suratkabar Sinar Pasoendan yang terbit pada Selasa 27 November 1934 berjudul, “Garoet: Sadjaah Gedipl Vroedvrouw”, sama seperti menangani wanita melahirkan, Bidan Sadjaah juga kerap menggratiskan biaya pengobatan pasien-pasiennya yang sakit.
Pernyataan di atas disampaikan melalui bahasa Sunda sebagaimana kutipan daru surat kabar Sinar Pasoendan (1934) berikut ini:
“Henteu tina perkara noe reuneuh –ngadjoeroe bae, tapi oempama aja kaoem boemipoetra anoe oedoer, oempama Vroedvrouw Sadjaah oeninga sok toeloej diboeroe sarta dipaparin oebar gratis, sangkan eta noe gering supados sehat deui sabihara-bihari”.
Kemuliaan Bidan Sadjaah seperti ini membuat rakyat Garut terharu. Mereka semua mempertahankan agar Bidan Sadjaah terus tinggal dan berdinas di kota pusat kerajinan kulit Jawa Barat ini.
Bidan Sadjaah adalah salah seorang tokoh berpengaruh di Garut yang mendapatkan rasa hormat berlebih dari kalangan bumiputera.
Baca Juga: Wabah Cacar di Bandung 1962, Ratusan Korban Meninggal Dunia
Bidan yang Tak Pandang Kasta
Masih menurut redaksi surat kabar Sinar Pasoendan (1934), masyarakat Garut kerap menyebut Vroedvrouw Sadjaah sebagai bidan yang tak pandang kasta. Siapa pun yang menjadi pasiennya akan mendapatkan pelayanan yang sama.
Adapun pasien Bidan Sadjaah mulai dari jajaran Menak Garut (orang kaya) hingga golongan tak mampu mendapatkan obat dan perawatan medis yang sama. Bahkan sesekali Bidan Sadjaah pun menggratiskan ongkos periksa pada para menak.
Hal ini ia lakukan semata-mata untuk membantu nasib bumiputera yang kesulitan dan kerap dibeda-bedakan oleh pemerintah kolonial saat membutuhkan perawatan medis. Kehadiran Bidan Sadjaah menjadi penolong kesehatan masyarakat pribumi.
Tak heran dalam beberapa catatan sejarah Indonesia menyebut Bidan Sadjaah sama seperti pahlawan lainnya yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Walaupun Sadjaah masih bekerja untuk Belanda, paling tidak ia lebih banyak menolong pribumi daripada orang-orang Eropa.
Bahkan hampir selama hidupnya Sadjaah tidak pernah mau memeriksa orang-orang Belanda yang sedang sakit atau akan melahirkan.
Tekad itulah yang membuat para sejarawan melihat Sadjaah tak ubahnya seperti seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Rakyat Garut Berharap Ada Lagi Orang Seperti Sadjaah
Ketika Bidan Sadjaah diketahui sering membantu pasien pribumi secara gratis, pemerintah kolonial kemudian memindah tugaskannya ke Batavia. Bidan Sadjaah ditugaskan untuk jadi tenaga medis merawat orang-orang sakit dari golongan Eropa.
Peristiwa ini membuat rakyat Garut bersedih. Mereka tak ingin kehilangan Bidan Sadjaah, sebab hanya ialah yang bisa membantu kepentingan rakyat pribumi, terutama dalam bidang kesehatan.
Akan tetapi karena rakyat Garut tidak memiliki kekuatan untuk mencegah kebijakan pemerintah kolonial, Bidan Sadjaah pun segera berkemas untuk berpindah ke tempat tugas yang baru di Batavia.
Selepas kepergian Bidan Sadjaah, rakyat Garut berharap akan datang orang-orang baik seperti Bidan Sadjaah yang baru.
Baca Juga: Julie Sulianti Saroso, Dokter Anak dan Pejuang Kemerdekaan 1946-1949
Pernyataan ini sebagaimana tergambar dalam kutipan Sinar Pasoendan (1934) berikut: “Moega-moega soepaja tetep –toemetep kersa kawaloeratan lantaran koe dina kawaloeratan, lantaran koe kersana kera Allah, engke goesti Allah ngagentosan ku bidan-bidan sanes nu leuwih sae tinimbang Vroedvrouw Sadjaah”.
Harapan ini menjadi tamu istimewa yang tak kunjung datang bagi masyarakat Garut. Sebab Bidan dari golongan pribumi pertama yang dulu tugas di Garut kini digantikan oleh dokter kandungan laki-laki dari orang Belanda.
Akibatnya banyak masyarakat tak mampu mengandalkan keahlian dukun untuk pengobatan dan melahirkan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)