Sinyo merupakan istilah untuk menyebut anak silang Indo-Belanda. Perkawinan tersebut biasanya melahirkan bayi-bayi yang berbeda fisik dengan pribumi pada umumnya. Kulitnya cenderung putih bersih seperti bule.
Konon menurut kisah zaman dulu bayi-bayi Indo-Belanda itu lahir dari hasil hubungan gelap antara pria Belanda dan wanita pribumi. Si wanita itu memiliki julukan Nyai, sebagian pendapat menyebut proses perkawinan haram ini dengan istilah pergundikan.
Pergundikan kerap terjadi pada awal abad ke-19, orang-orang Belanda berdatangan ke Indonesia tanpa membawa istri.
Kebanyakan dari mereka berstatus lajang, baginya wanita pribumi menawan hati. Karena merasa superior di tanah jajahan si pria Belanda itu dengan leluasa memilih wanita pribumi untuk dijadikan gundik.
Baca Juga: Kisah Perawat Emmy Saelan, Ledakkan Diri di Tengah Pasukan Sekutu
Kendati jadi gundik si perempuan pribumi tetap mendapat jatah harta. Seperti halnya dalam buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer, si pria Belanda tetap memberikan sebagian harta untuk menghidupi gundiknya.
Apalagi ketika si gundik tadi melahirkan seorang bayi. Ketika mereka besar dan bergelar sinyo maka harta itu akan turun pada anaknya. Sedangkan sang ibu tidak diberikan sedikit pun dari harta tersebut.
Maka dari itu para Sinyo si anak silang Indo-Belanda sering tampil menjadi manusia yang jumawa. Mereka sombong tidak ingin bersatu dengan pribumi, sebab Sinyo berbeda, mereka bukan anak pribumi.
Walaupun orang Belanda sendiri tidak mengakui mereka sama dengan bangsanya, para Sinyo tetap percaya diri memakai bahasa Belanda di kehidupan sehari-hari.
Sinyo Indo-Belanda yang Malang: Londo Campuran Tak Punya Status Kewarganegaraan
Meskipun percaya diri bahwa para Sinyo-Sinyo muda itu keturunan Belanda, akan tetapi sebetulnya mereka bernasib malang. Betapa tidak malang nasibnya, para Sinyo itu tidak punya status kewarganegaraan yang jelas.
Sinyo tak dianggap oleh pemerintah Belanda jika dirinya adalah keturunan Belanda tulen. Orang Belanda asli tak ingin keturunannya disamakan dengan hasil hubungan terlarang lelaki Belanda dengan wanita pribumi.
Begitupun sebaliknya di kalangan orang pribumi. Mereka tidak menganggap Sinyo Indo-Belanda sebagai bagian dari orang pribumi.
Baca Juga: Sejarah Masa Bersiap, Belanda Sebut Indonesia Lakukan Genosida
Selain karena bentuk wajah dan warna kulit yang berbeda, bagi masyarakat pribumi kala itu pergundikan adalah sesuatu hal yang dilarang oleh agama. Perkawinan haram (tanpa pernikahan) membuat para Sinyo terdiskriminasi.
Hal ini terjadi ketika Sinyo tak masuk dalam daftar stratifikasi sosial yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing, dan Inlanders (pribumi). Sinyo (anak hasil perkawinan antara Belanda dan pribumi) tak mendapat status yang jelas akibat ini.
Warna Kulit Sinyo Jadi Pemicu Sifat Jumawa
Menurut L. Ayu Saraswati dalam buku berjudul, “Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” (2013), warna kulit putih yang dimiliki Sinyo membuat mereka jadi jumawa alias sombong.
Mereka merasa jadi superior daripada orang Belanda sungguhan. Para Sinyo Indo-Belanda ini menyombongkan diri juga pada pribumi.
Padahal pada kenyataannya berbeda jauh sekali. Sinyo tidak mendapat kedudukan yang pasti di kedua golongan (Eropa/Belanda dan Inlanders/Pribumi).
Namun tetap saja rasa superior itu selalu muncul dalam hati para Sinyo. Hal ini terlihat saat Sinyo serig membatasi pertemanannya dengan bangsa pribumi. Hidup mereka seperti orang Belanda sungguhan.
Menurut Ramadhan KH dalam buku berjudul, “Perjalanan Panjang Anak Bumi” (2007), Sinyo sering memberikan umpatan dan ejekan kasar pada pribumi. Antara lain mengejek pribumi dengan umpatan bodoh, kotor, dan jorok.
Sinyo terlalu percaya diri, meski kadang mereka juga memiliki kulit sedikit kecoklatan, namun para Sinyo itu tetap merasa seorang Belanda. Bahkan sikap mereka terhadap anak pribumi sering kali mencerminkan kebrutalan. Para Sinyo kerap melakukan pemukulan pada pemuda-pemuda pribumi.
Baca Juga: Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan, Ada Campur Tangan PKI
Sinyo Kena Gebuk Pribumi di Zaman Jepang
Ketika Belanda mundur dan Jepang masuk ke Indonesia, Sinyo-Sinyo terdiskriminasi total oleh orang pribumi.
Para Sinyo yang sombong mendadak layu seperti tanaman yang tak pernah disiram. Bagi warga pribumi saatnya menggebuk Sinyo untuk membalas dendam karena dulu ia sering membully pribumi.
Hal ini didukung oleh pendudukan Jepang, penjajah yang berasal dari Negeri Matahari Terbit ini berpihak pada pribumi.
Mereka memihak pribumi untuk kepentingan perang. Jadi apapun yang pribumi inginkan Jepang sering merealisasikannya, termasuk memusuhi dan mendiskriminasi para Sinyo-Sinyo yang jumawa.
Rakyat pribumi menyerukan supaya para Sinyo angkat kaki dari negerinya. Entah harus pulang kemana yang jelas Sinyo tidak lagi tinggal di Indonesia.
Akibatnya para Sinyo Indo-Belanda ini bingung. Jika mereka pulang ke Belanda warga negara Belanda asli akan menolaknya. Hingga abad ke-20 di Belanda masih ada sentimen anti Sinyo.
Adapun pernyataan ini sebagaimana mengutip pendapat Benedict Anderson dalam buku berjudul, “Hidup di luar Tempurung” (2016). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)