Njoto merupakan gembong Partai Komunis Indonesia (PKI) yang unik dan cocok jadi pemusik. Pasalnya pria berkacamata tebal yang klimis ini diam-diam terampil memainkan alat musik tiup bernama Saksofon.
Hal ini terjadi karena Njoto sejak remaja sudah tertarik dengan musik, khususnya musik-musik beraliran simponi. Melalui aliran musik tersebut Njoto belajar memainkan alat-alat musik simfoni, salah satunya alat musik Saksofon.
Tidak hanya bermain musik dan mendengarkan lagu-lagu simponi, kegemaran Njoto remaja terdiri dari beberapa kegiatan seni lain yaitu, menonton teater, menulis puisi, dan mendiskusikan film-film di bioskop.
Kecintaan Njoto pada kegiatan di atas terbawa hingga ia dewasa. Bahkan sampai Njoto sudah menjadi petugas partai kiri terbesar di Indonesia (PKI).
Walaupun saat itu bermain musik, menonton sandiwara dan film bioskop bagian dari propaganda kapitalis ia tetap melakukan itu atas nama hobi.
Baca Juga: Profil Njoto, Wakil Ketua PKI yang Dipecat Akibat Perselingkuhan
Bahkan ketika Njoto memberikan materi diskusi film propagandis Barat yang sangat kapitalis karya Ernest Hemingway berjudul, “The Old Man and The Sea”, bagi Njoto kapitalisme dalam film tersebut tidak berarti musuh dalam prinsip politiknya.
Menurut Njoto cara menghayati Marxisme dan Leninisme itu mudah, semudah tidak menganggap yang kapitalis selalu haram dan patut dimusuhi. Karena dalam hobi embel-embel ideologi hancur lebur tak bersisa. Propaganda kapitalisme dalam film dianggap seni yang tidak beresiko mempengaruhi penontonnya.
Njoto si Gembong PKI Hobi Main Sepatu Roda dan Bersepeda
Menurut Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia berjudul, “Njoto Peniup Saksofon Ditengah Prahara” (2011), selain piawai bermain saksofon dan menyanyikan lagu jazz, Njoto juga hobi bermain sepatu roda dan sepeda.
Bagi Njoto dua permainan berjalan ini bagian dari olahraga, maka dari itu penting jadi konsumsi dirinya yang paling tidak seminggu sekali digunakan.
Khususnya sepatu Roda, sering Njoto gunakan sore hari untuk berolahraga di halaman alun-alun. Sedangkan sepeda kerap digunakan Njoto menjemput kepentingan harian. Semisal –waktu kecil dulu Njoto menggunakannya untuk pergi ke sekolah di HIS (Hollands Inlandsche School).
Permainan sepatu roda ternyata sudah dikuasai Njoto sejak usia belasan tahun. Sampai ia dewasa dan jadi pengurus partai, sepatu roda merupakan permainan yang paling favorit dalam hidupnya.
Njoto sangat mencintai permainan sepatu roda, karena sepatu roda Njoto merasa sehat. Sepatu roda membuat siapapun pemakainya berolahraga berat.
Namun akibat kesibukan politik Njoto yang semakin banyak, permainan sepatu roda dan sepeda perlahan-lahan dilupakannya. Sampai tahun 1965 –saat Njoto si gembong PKI itu hilang diculik gerombolan tak dikenal, sepatu roda dan sepedanya menggantung di rumah dinas kepartaiannya.
Baca Juga: Lafran Pane Pendiri HMI, Anti Komunis tapi Dekat dengan Aidit
Njoto Ingin Jadi Jurnalis
Musik memang membutuhkan keterampilan dasar menulis. Khususnya membuat lagi, si pemusik dituntut harus punya kelihaian menyusun kata dan itu semua Njoto lakukan sampai berhasil.
Saat keberhasilan itu lah Njoto berbalik arah –dari pemusik mendadak ingin jadi penulis. Terutama menjadi penulis berita, kolom pendapat (esai), dan sastra dalam suratkabar. Alhasil Njoto ingin bercita-cita jadi seorang jurnalis (wartawan).
Untuk menambah keahliannya menjadi seorang jurnalis, Njoto mempertajam kepiawaian berbahasa. Kebetulan Njoto adalah salah seorang anak ningrat Solo yang menguasai beberapa bahasa asing antara lain, bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Rusia.
Keahlian itu sempat tak dipakai Njoto dalam kerja-kerja jurnalistik, kemampuan bahasa asingnya justru berguna untuk lobi-lobi politik dengan negara komunis di Barat.
Njoto sibuk mengurus PKI, namun karena keahlian menulisnya masih baik, Njoto akhirnya memegang peran penting dalam penerbitan surat kabar PKI bernama Harian Rakjat.
Njoto ditunjuk jadi pemimpin redaksi terutama tulisan-tulisan yang berkaitan dengan isu-isu kebudayaan. Posisi Njoto hampir sejajar dengan pemimpin PKI DN. Aidit dalam urusan surat kabar.
Dari sinilah Njoto mulai merasa cita-citanya sudah tercapai. Ia kerja dalam bidang jurnalistik –harapan yang paling dinanti-nantinya sejak remaja.
Baca Juga: Kaderisasi PKI Tahun 1964, Tolak Kabir dan Anti Mohlimo
Saksofon Jadi Pelipur Hati Njoto
Masih menurut Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia berjudul, “Njoto Peniup Saksofon di Tengah Prahara” (2011), saksofon sering dijadikan pelipur hatinya tatkala Njoto gembong PKI ini sedang galau berat.
Kadang karena pekerjaan partai yang menumpuk, prinsip politik yang terdistraksi, dan masalah pribadi rumah tangga, semua persoalan itu ia curhatkan pada Saksofon. Njoto menghibur diri dengan memainkan Saksofon di tengah-tengah malam.
Suara saksofon Njoto nyaring dan enak didengar, hal ini tak jarang membuat tetangga rumahnya geger.
Siapakah yang memainkan alunan saksofon semerdu ini, seiring dengan intensitas bermain saksofon yang Njoto lakukan semakin sering, tetangga pun tak heran karena sudah tahu si pemain saksofon adalah bagian dari orang penting dalam PKI.
Selain menjadi pelipur hati, meniup saksofon tengah malam bagi Njoto adalah stimulus jiwa agar tidak mudah stress.
Alunan khas saksofon membuat hati menjadi santai dan melepaskan seluruh beban negatif yang bisa merusak jaringan otak sehingga menimbulkan penyakit.
Hal ini terbukti dengan keadaan fisik Njoto yang tak pernah sakit parah. Walaupun badan Njoto kurus dan matanya berhalang kaca tebal, sesungguhnya fisik sang gembong PKI itu baik.
Keadaan ini berasal dari bawaan pemikiran Njoto yang selalu santai menghadapi apapun. Termasuk menghadapi masalah-masalah personal seperti masalah rumah tangga. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)