Chung Hwa Hui merupakan organisasi Tionghoa tertua di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1928. Pada zaman Belanda organisasi Chung Hwa Hui berfungsi untuk urusan wakil penduduk Timur Asing dengan pemerintah.
Sejak berdiri dan tampil menjadi organisasi pro Belanda, Chung Hwa Hui terkenal sebagai organisasi penampung warga Timur Asing yang sangat berpolitik. Namun pada era kemerdekaan Indonesia Chung Hwa Hui hanya sekedar jadi media penyambung tali silaturahmi orang-orang Tionghoa.
Kisah menarik dari Chung Hwa Hui zaman kemerdekaan Indonesia adalah ketika organisasi ini berubah haluan, dari organisasi yang pro pada Belanda menjadi organisasi pro republik dan mendukung pemerintahan Sukarno-Hatta.
Tidak seperti kebanyakan organisasi Tionghoa yang mendukung gerakan kiri, Chung Hwa Hui justru menjadi organisasi Tionghoa yang apatis dengan kelompok komunis. Mereka berpihak pada pemerintah republik yang nasionalis.
Baca Juga: Ada Tiongkok Kecil di Lasem tapi Dijuluki Kota Santri
Besar kemungkinan mereka takut dengan tekanan dari kalangan pribumi nasionalis. Chung Hwa Hui sadar jika mereka adalah minoritas di Indonesia. Jadi jika mereka ikut berpolitik dan berpihak pada komunis bisa jadi sasaran amuk pribumi nasionalis.
Hal ini ditunjukan oleh organisasi cabang Yogyakarta. Pada tahun 1949 organisasi Chung Hwa Hui di Yogyakarta menyita perhatian masyarakat pribumi karena tindakan pengurus pusatnya yang menentukan sikap mendukung kaum republik dan anti pada komunis.
Chung Hwa Hui, Organisasi Tionghoa Anti Politik
Menurut suratkabar Soeloeh Rakjat yang terbit pada 27 Oktober 1949 bertajuk, “Hoakiao Bersikap: Wait and See –Takut Politik, Takut Resiko”, Chung Hwa Hui adalah organisasi Tionghoa yang anti dengan persoalan politik praktis.
Hal ini terbukti ketika pengurus besar cabang Yogyakarta, The Hong Oe dimintai pendapat tentang perang saudara di negerinya (Tiongkok).
Saat itu di Tiongkok kalangan Nasionalis bertengkar dengan Komunis, dan konflik itu dimenangkan pihak komunis.
Saat wartawan memintai pendapat ini pada The Hong Oe, pengurus cabang Yogyakarta ini bungkam. Ia tidak ingin memberikan pendapat karena takut akan membawa dampak buruk bagi komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia.
Sebagaimana mengutip surat kabar Soeloeh Rakjat (1949), pengurus Chung Hwa Hui cabang Yogyakarta memberi pernyataan berikut ini:
“Sesuai pemerintah yang tidak dapat lagi syimpathie dari rakjatnja, mustahil dapat dipertahankan hidupnja. Demikianlah keadaan pemerintah Chiang Kai Shek (kubu Nasionalis di Tiongkok)”.
Intinya The Hong Oe tidak memberi keterangan politis yang begitu dalam ketika menyikapi peristiwa tersebut. Ia cenderung moderat dan kelihatan sekali ingin lepas dari isu-isu orang Tionghoa itu komunis.
The Hong Oe ingin memberikan gambaran jika orang Tionghoa di Indonesia itu apatis terhadap politik negeri induk.
Pernyataan di atas diakui oleh The Ong Hoe penuh dengan tekanan. Sebab ketika ia memberikan tanggapan yang memihak golongan komunis di Tiongkok maka akan jadi sasaran amuk pribumi yang anti pada komunis.
Apalagi pada tahun 1948 Indonesia baru saja dikhianati oleh partai kiri berlogo palu dan arit di wilayah Madiun, Jawa Timur.
Baca Juga: Kwee Tjing Kiet, Jagoan Tionghoa Depok yang Punya Ilmu Kebal
Chung Hwa Hui, Takut Didakwa Pro-Komunis
Kemungkinan besar ketika Chung Hwa Hui memberikan tanggapan yang mengarah pada dukungan kaum komunis di Tiongkok, maka pemerintah republik akan memberikan jalan pada rakyatnya untuk melakukan pembatasan sosial dengan golongan Tionghoa di seluruh daerah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya The Hong Oe selaku pemimpin Chung Hwa Hui cabang Yogyakarta tidak ingin memberikan lebih jauh lagi pendapatnya soal peristiwa politik yang sedang pecah di Tiongkok.
Sebab jika ia memberikan pendapat terlalu jauh maka The Hong Oe akan dianggap pro pada komunisme. Berikut cuplikannya yang diambil dari Soloeh Rakjat (1949):
“The Hong Oe: Takut didakwa pro-komunis oleh pemerintah republik. Dan takut risiko kalau perang dunia ketiga meletus”.
Maka dari itu selaku wakil Tionghoa di Indonesia, khususnya yang ada di Yogyakarta, The Hong Oe mewakili aspirasi rakyat Tionghoa supaya tidak memberikan tanggapan politik lebih jauh tentang negaranya kala itu. Rakyat Tionghoa di Indonesia ingin hidup lebih tenang, aman, dan nyaman.
Organisasi Tionghoa yang Berpihak pada Indonesia
Untuk merealisasikan hidup aman, nyaman, dan tenang, The Hong Oe mendeklarasikan organisasi tersebut dan menjadi tempat perkumpulan orang Tionghoa yang berpihak pada pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Sistem Penjualan Pacht, Cara Kolonial Belanda Membendung Pengusaha Asing
Mereka mendukung penuh arah kemerdekaan Indonesia, bahkan sesekali ikut memberikan pendapat soal peristiwa Irian Barat pada tahun 1960 –an.
Orang-orang yang ada dalam Chung Hwa Hui bersedia menjadi warga negara yang baik dan menaati segala kebijakan politik pemerintah demi kenyamanan hidup bersama.
Pernyataan ini sebagaimana disampaikan oleh The Hong Oe berikut: “Saja (dibaca: saya) tetap warganegara Indonesia dan memandang Tionghoa sebagai negeri leluhur. Hal ini sudah berurat berakar di sanubari penduduk Tionghoa jang dasarnja di dapat dari soal keboedajaan. Kami berpihak pada Republik Indonesia”.
Sikap ini kemudian diterima oleh pemerintah republik. Maka dari itu beberapa menteri zaman Sukarno pernah ada yang berasal dari intelektual Tionghoa. Begitu juga dengan kebudayaan bangsa.
Orang-orang Tionghoa secara tidak sengaja telah melakukan kolaborasi budaya dengan orang Indonesia. Mereka beradaptasi dan optimis dengan pandangan orang pribumi terhadap orang Tionghoa di masa mendatang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)