Agraris Wet 1870 merupakan undang-undang zaman kolonial Belanda yang mengatur soal kepemilikan tanah.
Petani pribumi banyak rugi akibat undang-undang tersebut, sebab dalam Agraris Wet 1870 Belanda memiliki kewenangan mengambil alih sebagian tanah milik pribumi.
Dengan kata lain pemerintah kolonial mencaplok sebagian tanah milik pribumi untuk mendapatkan keuntungan guna membangun birokrasi. Hal ini menjadi kontroversi mengingat Belanda adalah orang Asing di Nusantara.
Tanah yang seharusnya jadi sumber utama kehidupan petani pribumi justru diperdaya oleh pemerintah kolonial. Dan ini tentu sangat merugikan kehidupan pribumi zaman itu, mereka tertindas dan tertekan akibat Agraris Wet 1870.
Konon kebijakan ini mendapatkan pertentangan dari masyarakat pribumi. Akibat kebijakan ini lahirlah beberapa pemberontakan-pemberontakan rakyat yang merugikan pemerintah kolonial.
Baca Juga: Sejarah Stasiun Radio Malabar, Terbesar dan Tercanggih di Zaman Belanda
Mereka dianggap sebagai bandit-bandit desa yang meresahkan penduduk Eropa. Pemerintah kolonial memburu para pemberontak namun di beberapa daerah terus bermunculan pemberontakan rakyat yang sama.
Salah satu pemberontakan terkenal yang diakibatkan oleh Agraris Wet 1870 antara lain yaitu peristiwa pemberontakan petani di Banten tahun 1888.
Sejarah Agraris Wet 1870 yang Melahirkan Perbanditan
Menurut Enggar Istiyana dalam Jurnal Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah UNY Vol. 13, No. (2) 2022 berjudul, “Perbanditan di Batavia Masa Politik Liberal Hindia Belanda 1870-1930”, akibat hilangnya fungsi tanah karena lahirnya Agraris Wet 1870, para petani di pedesaan Jawa beralih profesi menjadi pemberontak.
Mereka sadar kebijakan pemerintah kolonial Belanda tidak adil. Agraris Wet 1870 produk gagal yang menyebabkan rakyat pribumi menderita. Karena sudah tak kuat dengan kemiskinan yang akibat kebijakan tersebut, para petani pun memberontak.
Para petani di pedesaan menghabiskan setiap waktunya untuk melawan penindasan. Mereka menghimpun seluruh petani yang ada di desanya untuk memberontak pada pemerintah kolonial. Ajakan itu bersifat kolektif dan bergerak secara masif.
Akibatnya meletuslah beberapa peristiwa yang merusak tatanan kolonial. Peperangan terjadi di mana-mana, tentara kolonial mengamankan para pemberontak dengan cara represif.
Banyak yang jadi korban dari golongan petani, sementara korban selamat dicap oleh surat kabar kolonial sebagai bandit (penjahat) yang sadis.
Baca Juga: Kisah Penjara Nusakambangan Jadi Sarang Wabah Influenza Mematikan 1918
Agraris Wet 1870, Kebijakan Kolonial yang Berpihak pada Investor Asing
Selain melahirkan perbanditan dan peristiwa pemberontakan di beberapa daerah, Agraris Wet 1870 telah menciptakan keberpihakan pada golongan investor asing. Agraris Wet 1870 mendapatkan keuntungan paling besar dari lahirnya kebijakan tersebut.
Agraris Wet 1870 telah mempermudah izin pembangunan usaha partikelir di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial membuat izin ini untuk memberikan tempat pada pengusaha Eropa yang ingin membuka bisnis di tanah jajahannya.
Kebijakan yang lahir karena kepentingan ekonomi ini menjadi regulasi kolonial yang memfasilitasi kapitalis-kapitalis kulit putih dengan baik, sedangkan rakyat pribumi tertindas.
Akibat kesenjangan ini kebencian para pribumi tidak hanya pada orang Belanda saja, tetapi juga pada golongan Eropa secara umum. Selain itu para pribumi juga mulai mengintai orang-orang kaya dari kelompok Asing. Entah itu dari kelompok Tionghoa ataupun golongan Timur Jauh.
Kebijakan ini secara jelas telah memberikan gambar mengenai kehidupan rakyat pribumi yang radikal. Selain itu peristiwa ini juga memperlihatkan jika golongan pribumi tidak semuanya bodoh.
Mereka pintar dan paham dengan strategi licik pemerintah kolonial. Rakyat pribumi terus mengalami perkembangan yang maju setiap zamannya.
Bandit Menurut Petani Bumiputera: Pahlawan
Berbeda dengan pendapat pemerintah kolonial Hindia Belanda –para pemberontak dari golongan petani pribumi sama seperti bandit (penjahat), para petani bumiputera justru menganggapnya sebagai pahlawan.
Mereka bangga terhadap apa yang dilakukan oleh para pemberontak, para petani di desa-desa pulau Jawa juga kerap membantu kelancaran pemberontakan.
Baca Juga: Smokkel, Bajak Laut Penyelundup Senjata Api di Hindia Belanda 1922
Tak jarang para petani bumiputera juga memberikan kebutuhan logistik dan perkakas untuk mempersenjatainya.
Anggapan pahlawan untuk para pemberontak ini tergambarkan oleh pendapat Enggar Istiyana (2022) sebagai berikut:
“Akhirnya seseorang yang menjadi bandit oleh daerahnya tidak dianggap sebagai tindak kejahatan melainkan para tuan tanahlah (antek Belanda) yang menyebutnya sebagai pengganggu tatanan kolonial”.
Anggapan para petani yang memberontak akibat Agraris Wet 1870 layaknya perspektif yang saling bertolak belakang. Pemerintah kolonial selalu pintar menggiring opini publik untuk menyebut petani yang menentangnya sebagai pemberontak. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)