Tradisi mudik menjelang lebaran tak lepas dari kebudayaan masyarakat Melayu (Sumatera Selatan) yang saat itu bermukim di Hulu dan berkegiatan di Hilir sungai Musi.
Dengan menggunakan perahu biduk mereka beraktivitas setiap hari dari pukul 6 pagi sampai dengan 4 sore. Ketika jam telah menunjukkan waktu pulang, mereka berduyun-duyun pulang kembali ke Hulu yang disebut dengan Udik.
Istilah di atas kemudian diadopsi oleh masyarakat urban di kota-kota besar, terutama Jakarta menjadi mudik. Masyarakat urban adalah orang desa yang berkegiatan (kerja) di kota.
Mereka adalah orang sibuk dengan segudang pekerjaan. Saking sibuknya masyarakat urban hanya bisa menyempatkan pulang 1 tahun sekali, yaitu ketika menjelang lebaran tiba.
Pendapat lain mengatakan istilah mudik di kalangan masyarakat urban baru populer pada tahun 1970-an. Tepatnya ketika pemerintah Orde Baru menggiatkan pembangunan kota-kota besar di berbagai daerah, antara lain di Medan, Surabaya, Jakarta, dan Bandung.
Banyak orang desa yang jadi masyarakat urban, mereka bekerja di kota karena Orde Baru telah menyediakan lapangan kerja yang luas dan menjanjikan. Sejak saat itu tradisi mudik (pulang kampung) menjadi populer di Indonesia. Mudik berarti merayakan hari raya Idul Fitri.
Baca Juga: Sejarah Mudik Lebaran dari Zaman Hindia Belanda hingga Kemerdekaan
Konon mudik membuat masyarakat urban jadi lebih bersemangat saat kembali ke meja kerja. Kegiatan pulang kampung saat lebaran menjadi energi positif bagi para pekerja kota untuk menjadi pegawai yang profesional. Tak heran pemerintah memberikan izin cuti mudik lebaran lumayan lama, sekarang saja cuti mudik lebaran sampai 1 minggu.
Tradisi Mudik Jelang Lebaran, Memaknai Arti Silaturahmi di Kampung Halaman
Menurut Kuntowijoyo dalam buku berjudul, “Budaya dan Masyarakat” (2006), mudik dapat dimaknai sebagai cara masyarakat urban menjaga silaturahmi di kampung halaman. Mudik menjadi alternatif mereka melepas penat setelah lelah bekerja di kota.
Maka dari itu ada yang mengatakan juga jika mudik adalah cara masyarakat urban mengembalikan diri pada keheningan pikiran, kedamaian hati, dan menjaga perasaan peduli terhadap sesama. Saat berada di kampung halaman jiwa sosial kita akan tergugah kembali setelah lama tinggal di kota terbiasa dengan jiwa apatis (acuh tak acuh).
Kendati begitu mudik juga memiliki beragam cerita lain yang lebih menarik lagi, salah satunya konon fenomena mudik berasal dari tumbuhnya kapitalisme secara massif di dalam pergaulan masyarakat urban. Artinya mudik kadang menjadi ajang pamer pencapaian hidup.
Banyak orang yang memamerkan kekayaan kepada orang desa setelah mereka bekerja di kota. Hal ini terlihat dari dua gambar yang berbeda.
Satu menginspirasi masyarakat desa supaya maju, kedua membuat kota menjadi padat sebab banyak orang desa yang ingin bekerja di sana. Akibatnya lapangan kerja semakin sulit dan keadaan desa tak tertanggulangi.
Terlepas dari itu tradisi mudik menyadarkan kita tentang menjaga silaturahmi setahun sekali. Lebaran jadi momentum kumpulnya keluarga besar di seluruh pelosok Jawa, banyak masyarakat yang berbahagia karena sanak saudaranya di kota pulang ke kampung halaman.
Mudik Mencerminkan Perilaku Asali Manusia
Mudik ke kampung halaman adalah upaya manusia kembali pada sifat asali setelah sekian lama menjadi pengabdi dunia. Mereka para pegawai yang bekerja di kota harus kembali sadar pada sifat asali manusia; harus introspeksi diri bahwa selama hidup di dunia bukan melulu soal kekayaan benda yang harus dicari, tetapi juga kekayaan amal ibadah.
Tradisi mudik menjelang lebaran juga mencerminkan keaslian diri secara kolektif. Banyak masyarakat kota secara bersamaan sadar akan kepentingan agama di atas kepentingan duniawi.
Mereka menjadi manusia yang menjunjung tinggi kepedulian dengan sesama untuk menyambut hari raya Idul Fitri.
Baca Juga: Sejarah Menara Kudus, Masjid Peninggalan Walisongo Berusia 500 Tahun
Tak heran saat dalam perjalanan mudik banyak orang yang saling menghormati satu sama lainnya. Mereka kadang bergotong royong untuk membantu orang yang sedang mendapatkan kesusahan di tengah perjalanan. Semua ini mereka lakukan untuk menjaga silaturahmi menyambut lebaran.
Menurut Socrates kesadaran manusia secara kolektif terhadap agungnya ajaran agama merupakan bagian dari koreksi hidup. Tujuannya agar si manusia itu tidak terlarut dalam ambisi duniawi.
Socrates juga mengatakan beruntunglah pada mereka manusia yang mendapatkan koreksi agama. Sebab kehidupan manusia yang tak dapat koreksi tiada bedanya dengan kehidupan hewan-hewan di hutan pedalaman.
Mudik Berasal dari Tradisi Ziarah Kubur Petani Jawa
Berbeda dengan pendapat Kuntowijoyo yang mengatakan tradisi mudik mulai populer pada masa pembangunan Orde Baru tahun 1970, Umar Kayam dalam buku berjudul, “Satrio Piningit Ing Kampung Pingit: Mangan ora Mangan Kumpul 4” (2002), mengatakan tradisi mudik sudah ada sejak lama karena bagian tradisi ziarah kubur petani Jawa menjelang lebaran.
Entah sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan oleh para petani Jawa. Yang jelas ziarah kubur sudah menjadi budaya yang mendarah daging di kalangan petani Jawa sebelum tahun 1970.
Baca Juga: Sejarah THR di Indonesia, Awalnya Hanya untuk PNS
Tujuan mereka ziarah kubur ke makam leluhur tidak lain untuk memberikan doa dan mengeratkan kembali silaturahmi keluarga supaya keturunan nanti selalu tahu dari mana asal mereka hidup.
Selain itu kegiatan mudik dengan menziarahi kuburan para leluhur juga berfungsi untuk mengingatkan manusia pada kematian. Supaya mereka tidak berlaku sombong saat hidup di dunia. Hal ini telah menjadi kebudayaan turun temurun yang diwariskan oleh para petani di pulau Jawa.
Dari fenomena ini kita bisa mengetahui jika mudik yang dilakukan petani Jawa ini memiliki muatan psikologi sosial; mengingatkan bahwa hidup di dunia itu hanya sementara. Selebihnya kita akan fana di alam akhirat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)