Sejarah Tunjangan Hari Raya atau THR di Indonesia awalnya hanya untuk PNS. THR sendiri merupakan tunjangan khusus yang diberikan bagi pekerja ketika sudah mendekati hari raya Idul Fitri.
Dalam Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 6 Tahun 2016, terdapat ketentuan terkait jumlah dan kapan THR tersebut harus dibayarkan oleh pengusaha yang bersangkutan.
THR merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh para pekerja ketika akan menyambut perayaan keagamaan, terutama momentum Idul Fitri.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa pada awalnya THR hanya diperuntukkan untuk para Pamong Praja atau PNS.
Baca Juga: Sejarah Kabinet Djuanda 1957, ketika Dewan Menteri Berisi Para Ahli
Kebijakan ini pun pada akhirnya harus berubah karena banyak yang protes karena hanya PNS yang mendapatkan THR, sedangkan sektor lainnya tidak diwajibkan.
Sejarah THR di Indonesia, Usul dari Kabinet Soekiman
Usulan mengenai pemberian tunjangan terjadi pada tahun 1951, tepat ketika Soekiman menjadi Perdana Menteri Indonesia.
Soekiman Worjosandjojo merupakan politisi yang berasal dari Partai Masyumi. Ia juga salah satu pendiri sekaligus ketua umum pertama Partai Masyumi.
Menurut Miftah Thoha dalam “Birokrasi dan Dinamika Kekuasaan” (2014), Kabinet Soekiman ini dibentuk berdasarkan manda dan Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 1951 tanggal 27 April 1951.
Pada awalnya tunjangan khusus hari raya hanya diberikan kepada mereka yang berstatus sebagai Pamong Praja (PNS). Tunjangan tersebut diberikan dengan tujuan agar para PNS bisa lebih sejahtera lebih cepat.
Dalam pelaksanaannya uang tunjangan yang diberikan sebenarnya lebih mirip seperti pinjaman. Karena uang tersebut harus dikembalikan dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.
Kebijakan yang dibuat pada masa Kabinet Soekiman ini memang cukup membantu kalangan PNS waktu itu. Mengingat momentum lebaran seringkali membuat kebutuhan semakin meningkat.
Tunjangan yang diberikan kepada para PNS waktu itu berkisaran antara Rp. 125 hingga Rp. 200 per orangnya.
Kebijakan tunjangan waktu itu memang masih terbatas pada golongan PNS yang mengabdi pada pemerintahan. Sehingga di luar dari lembaga tersebut bisa dipastikan tidak akan menerima kebijakan yang sama.
Aturan kebijakan inilah yang akhirnya mendapatkan protes dari kalangan buruh dan pekerja di sektor swasta. Mereka menilai bahwa para buruh sudah turut serta bekerja keras dalam pembangunan nasional di Indonesia.
Kabinet Soekiman memang memiliki program khusus yang berkaitan dengan isu ketenagakerjaan, terutama buruh. Agaknya inilah yang membuat usulan-usulan mengenai tunjangan ini diperhatikan betul.
Protes Pekerja dan Buruh tentang Kebijakan Tunjangan PNS
Buruh yang menilai bahwa kebijakan ini tidak adil mengadakan penuntutan dan aksi protes terhadap pemerintah Indonesia.
Mereka menilai bahwa buruh turut serta dalam pembangunan nasional di Indonesia waktu itu. Mengingat pada tahun-tahun pasca revolusi fisik, Indonesia mulai gencar menyelenggarakan pembangunan.
Para buruh yang berada di sektor swasta menilai bahwa mereka juga berhak atas kebijakan tunjangan yang dicanangkan pemerintah kepada PNS.
Baca Juga: Mengenang Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Wanita Keturunan Menak Sunda Revolusioner
Alhasil tepat pada tanggal 13 Februari 1952 para buruh yang bekerja di sektor swasta melakukan aksi protes ke pemerintah. Para buruh menuntut agar mereka diberikan hak untuk menerima tunjangan ketika menjelang hari raya.
Menurut Jafar Suryomenggolo dalam, “Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an” (2015), sejak awal 1950 dan terus sepanjang tahun itu memang marak terjadinya aksi mogok dan aksi di kota-kota besar.
Pada dekade 1950 an merupakan periode yang amat penting bagi dekolonialisasi Indonesia. oleh karena itu, para buruh berharap dengan adanya perubahan politik di Indonesia, mereka dapat menikmati perubahan sosial ekonomi yang lebih baik pula.
Melihat aksi protes yang dilakukan oleh buruh, Perdana Menteri Soekiman mendesak para perusahaan swasta juga turut mengeluarkan tunjangan bagi para buruh.
Pada waktu itu tunjangan yang diberikan dalam bentuk “Hadiah Lebaran” dan masih bersifat himbauan, sehingga tidak terdapat aturan khusus yang mewajibkan perusahaan.
Pemberian hadiah lebaran ini tentu saja memberikan dampak baik, terutama bagi mereka kelas menengah ke bawah. Momentum Ramadhan dan Lebaran merupakan kondisi dimana kebutuhan pokok naik, sehingga membuat kondisi perekonomian masyarakat terjepit.
Kondisi inilah yang membuat banyak buruh menuntut adanya tunjangan menjelang hari raya. Atas dasar inilah peraturan mengenai tunjangan hari raya semakin dikukuhkan, tidak hanya sekedar himbauan melainkan juga berupa peraturan.
Baca Juga: Karesidenan Pekalongan Zaman Revolusi, Pemerintahan Darurat Dipimpin Ulama
Perubahan Kebijakan THR di Indonesia
Dalam catatan sejarah Indonesia peraturan khusus yang mengatur istilah Tunjangan Hari Raya atau THR baru lahir pada tahun 1994. Pada waktu itu tunjangan yang semula bernama hadiah lebaran berganti menjadi THR (Tunjangan Hari Raya) yang kita kenal hingga hari ini.
Peraturan THR tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI NO. 04/MEN/1994 yang menjelaskan tentang tunjangan hari raya keagamaan bagi pekerja di perusahaan.
Tunjangan tersebut sebenarnya tidak hanya mengatur tentang THR dalam perayaan Idul Fitri, melainkan juga Hari Raya Natal bagi penganut Kriten, Katolik, dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi agama Hindu, dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.
THR yang diberikan khusus bagi karyawan atau buruh yang sudah bekerja selama 3 bulan secara berturut-turut. Sedangkan untuk periodenya diberikan 1 kali selama 1 tahun.
Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa perusahaan wajib membayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
Aturan batas waktu itu bertujuan agar perusahaan tidak memberikan THR mendekati hari raya. Mengingat persiapan menyambut hari raya selalu dilakukan jauh-jauh hari sebelum perayaan keagamaan.
Peraturan ini kemudian diawasi oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan agar dapat terealisasi sebagaimana mestinya. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)