Sarekat Islam merupakan organisasi politik yang pernah menentang pelaku mogok buruh di Surabaya tahun 1922. Peristiwa ini menghebohkan masyarakat Jawa Timur, sebab para pelaku mogok menuntut Belanda supaya menaikkan upah buruh tapi tidak mendapatkan dukungan dari Sarekat Islam.
Menurut kepala organisasi politik yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto ini mengatakan jika para pelaku mogok buruh perlu dilawan. Sebab aksi massa mereka tidak bisa dikatakan sebagai aksi memperjuangkan rakyat, karena beberapa organisasi sosial-politik di Surabaya tidak mendukungnya melakukan hal tersebut.
Jika para pelaku mogok mengancam buruh lainnya yang tak ingin melakukan aksi ini, Sarekat Islam siap membantu melawannya.
Baca Juga: Sejarah Sarekat Islam, Embrio Komunisme Pertama di Indonesia
Jangan takut dan khawatir terancam oleh pelaku mogok, mereka hanya berkoar-koar dalam kandang, tujuannya tidak lain hanya untuk mengintimidasi supaya buruh lainnya terhasut. Ini hanya gertakan palsu.
Karena hal ini pelaku mogok yang terafiliasi dengan sayap kiri menjadi sensi pada Sarekat Islam. Mereka memusuhi seluruh kader Sarekat Islam, menjauh dari kelompok itu untuk menghindari gagalnya aksi mogok yang akan mereka lakukan dalam waktu dekat.
Namun Sarekat Islam terus mempropagandakan anti mogok massa. Aksi penentangan Sarekat Islam pada pelaku mogok di kalangan buruh tersiar dalam berbagai suratkabar. Akan tetapi paling banter propaganda itu dilakukan dalam surat kabar milik Sarekat Islam sendiri: corong poetih.
Sarekat Islam Menentang Mogok dan Propaganda Anti Mogok 1922 dalam Vergadering
Menurut surat kabar Oetoesan-Hindia yang terbit pada tanggal 25 Januari 1922 bertajuk, “Verslag: meeteng besar dari local Sarekat Islam di Soerabaja”, para petinggi Sarekat Islam kerap mempropagandakan anti mogok buruh dalam acara kumpul dengar pendapat atau dikenal zaman Belanda dengan istilah Vergadering.
Salah satu tokoh yang aktif menyuarakan anti mogok dalam vergadering Sarekat Islam di Surabaya tahun 1922 bernama Sri Sardjono.
Menurut berbagai berita, Sri Sardjono merupakan petinggi Sarekat Islam yang sering mengurus propaganda program kepartaian.
Ketika itu Sri Sardjono bergitu vokal menyerukan pada rakyat luas di Surabaya agar tidak mudah terhasut oleh para pelaku mogok. Sebab mereka nantinya akan memanfaatkan kita sendiri.
Dalam vergadering tersebut, Sarekat Islam mengecam para pelaku mogok 1922 sebagai gerakan yang tak berpendirian. Konon aksi mogok buruh mereka tak jelas.
Meskipun pada tuntutan awalnya ingin mendapatkan kenaikan upah, tapi di tengah-tengah aksi ini meletus permintaan yang lainnya mendadak membludak.
Karena hal ini Sarekat Islam menghimbau pada masyarakat Surabaya berhati-hati dengan tipu daya kaum mogok. Kendati demikian bukan berarti Sarekat Islam anti pada gerakan mogok.
Baca Juga: PKI dan Sarekat Islam, Sejarah Dua Kompetitor Politik yang Saling Sindir
Mogok boleh asal tuntutannya jelas. Sarekat Islam melihat peristiwa ini sebagai perbuatan sayap kiri untuk menarik massa, mereka ingin menunjukkan eksistensinya dengan cara menghasut dalam sebuah gerakan solidaritas.
Mengajak Sarekat Islam Berdamai dengan Pelaku Mogok 1922
Melihat gonjang-ganjing Sarekat Islam dengan kaum buruh yang melakukan mogok kerja tahun 1922 di Surabaya, membuat Sarekat Kerja di kota berlambang Hiu dan Buaya ini mengajak kadernya mendamaikan dua kekuatan yang sedang saling bermusuhan.
Salah satu tokoh Sarekat Kerja yang memberikan pandangan pada Sarekat Islam supaya berdamai dengan Pelaku Mogok bernama Atmowijono. Konon pria yang sering mendapat julukan nama Yono ini terkenal sebagai tokoh yang netral.
Pandangan politiknya mengacu pada politik nasionalisme. Persatuan baginya adalah hal yang paling penting dalam mencapai cita-cita bersama.
Menurut Atmowijono permusuhan antara Sarekat Islam dengan Pelaku Mogok 1922 di Surabaya membuat pemerintah kolonial senang.
Mereka semakin optimis menguasai Jawa sebagai daerah jajahannya sepanjang hayat. Sebab di daerah tersebut penduduknya sangat senang berkonflik, persoalan inilah yang membuat Belanda langgeng menguasai birokrasi di Indonesia. Mereka suka menerapkan politik adu-domba.
Pernyataan ini sebagaimana kutipan dalam Oetoesan-Hindia (1922) berikut: “Saudara-saudara saja moefakat sekali kepada haloeannja Sarekat Islam. Jaitoe soepaja hal mogok ini lekas djadi damai, karena memboeat kaloetnja rakjat. Mereka djadi teroembang-ambing diadoe domba oleh politik Belanda”.
Menurut tokoh Serikat Kerja berpengaruh di Surabaya tersebut, kemerdekaan Indonesia akan tercapai jika rakyatnya bersatu. Fokus pada tujuan awal cita-cita mereka bersama, jangan terganggu oleh hal-hal yang dapat memicu pecah belah sosial.
Jika rakyat seluruh Indonesia bersatu maka Belanda akan lari terbirit-birit kembali ke negeri asalnya.
Berikut kutipan langsung yang menyinggung pernyataan di atas berasal dari pidato Atmowijono dalam Oetoesan-Hindia (1922): “Adapoen merdikannja kehormatan (adji itoe asalnja dari lati (moeloet) jang djoega dirangkapi dengan keroekoenan). Maka bersatoelah sekalian rakjat demi kemardikaan kita tertjapai bersama-sama”.
Baca Juga: Sejarah Islam Abangan di Surakarta, Ajaran Mistik Syekh Siti Djenar
Bekerjasama dengan Sarekat Islam dalam Menentang Belanda
Selain Atmowijono, ada beberapa tokoh lain dari Sarekat Kerja yang mendukung kerjasama Sarekat Islam dengan Pelaku Mogok 1922 untuk bersama-sama menentang Belanda. Ia adalah seorang ahli kejawen asal Surabaya bernama, Marto Pangalasan.
Marto Pangalasan mengajak Sarekat Islam dengan Pelaku Mogok 1922 bersatu melawan Belanda. Kuncinya dua kekuatan itu perlu mendapatkan persatuan, harus kompak dan serentak dalam hati “bisa meruntuhkan kekuasaan kolonial” .
Menurut Marto Sarekat Islam tidak perlu menentang pelaku mogok. H.O.S. Tjokroaminito seharusnya tidak ikut campur dengan melontarkan isu-isu kontra mogok buruh 1922 di Surabaya.
Sebab betapa banyaknya orang yang menderita karena sulit mendapatkan upah yang seimbang dengan kebutuhan sehari-hari yang mahal.
Sarekat Islam jangan melakukan pembelaan seolah-olah pelaku mogok adalah kelompok yang memiliki citra buruk.
Mereka kerap direpresentasikan sebagai kelompok yang memberontak, tidak peduli pada nasib rakyat, mementingkan kaumnya sendiri, dan jauh dari perkumpulan politik yang memiliki pemikiran berkemajuan.
Namun Marto juga mengkritik pelaku mogok dengan mengatakan jangan melakukan mogok apabila tidak memiliki tuntutan yang plin-plan. Jika para kelompok revolusioner akan melakukan mogok, lakukanlah dengan fokus. Jangan melihat kanan kiri, tuntutan mereka harus satu komando.
Pada puncaknya Marto Pengalasan menyarankan agar Sarekat Islam dan Pelaku Mogok 1922 harus berdamai. Intinya dua kelompok yang berseberangan ini harus berdamai dan menghimpun kekuatan bersama untuk memerangi kekuatan penjajah. Tinggalkan sikap egois dan idealis dominan.
Apabila sikap itu masih kentara dalam karakter bangsa, maka tujuan masa depan (kemerdekaan) tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)