Pecinan merupakan tempat bermukim dan beraktifitas orang-orang Tionghoa. Setiap kota di Indonesia pasti memiliki Pecinan seperti halnya di Pekalongan, Jawa Tengah. Hal ini terjadi karena pada masa awal kedatangan orang Tionghoa di Nusantara, mereka suka berkumpul dengan masyarakat sesuai etnisnya masing-masing.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki Pecinan adalah Pekalongan. Konon kampung yang dihuni khusus oleh orang-orang China ini dahulunya jadi tempat dagang.
Bukan tempat bermukim tetapi tempat persinggahan, atau wilayah transito orang-orang Tionghoa yang untuk menjajakan barang dagangannya yang berasal dari pelabuhan.
Menariknya selain menjadi tempat transit perdagangan, wilayah Pecinan di Pekalongan menjadi tempat untuk memudahkan pemerintah kolonial mengontrol populasi dan angka kriminal dari etnis asing.
Belanda sengaja mengkotak-kotakan wilayah untuk membuat pengawasan ketat bagi aktivitas golongan Timur Asing.
Baca Juga: Kwee Tjing Kiet, Jagoan Tionghoa Depok yang Punya Ilmu Kebal
Hingga saat Pecinan di Pekalongan menjadi pemandangan budaya yang unik. Tidak semua daerah Pecinan di Indonesia memiliki kisah yang sama dengan sejarah Pecinan di Pekalongan.
Sebab Pecinan di Kota Santri ini selain menjadi tempat bermukim orang-orang Tionghoa tetapi juga menjadi pusat perdagangan yang ramai pembeli.
Pedagang Tionghoa Bermukim di Pecinan Pekalongan
Menurut catatan sejarah agamawan Tionghoa, Fa Hien, datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara terjadi sejak abad ke- 4 masehi. Kedatangan mereka lebih dulu dari pada kedatangan bangsa Barat.
Adapun latar belakang orang Tionghoa datang ke Nusantara tidak lain untuk berdagang. Oleh sebab itu orang Tionghoa yang saat ini berada di Indonesia rata-rata keturunan orang Hoakkian, mereka terkenal berprofesi jadi pedagang.
Kedatangan Pedagang Tionghoa yang kemudian bermukim di Pecinan Pekalongan datang dari arah pelabuhan.
Mereka pergi dari pelabuhan menuju ke pusat kota Pekalongan dengan menggunakan perahu-perahu kecil menyusuri sungai Kupang. Atau saat ini aliran sungai tersebut terkenal dengan sebutan kali Lodji.
Para pedagang Tionghoa itu mengangkut barang-barangnya dari pelabuhan ke jantung kota Pekalongan untuk dijajakan pada rakyat pribumi. Tempat biasa para pedagang Tionghoa mangkal di Pekalongan bernama Sampangan, atau sekarang kita kenal dengan sebutan jalan Blimbing.
Awalnya para pedagang Tionghoa tidak langsung bermukim di tempat tersebut. Mereka hanya menjadikan daerah Sampangan sebagai wilayah transit untuk menyimpan dan menjajakan barang dagangannya.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, para pedagang Tionghoa mulai kerasan memilih tinggal dan menetap di sana.
Baca Juga: Kasus Korupsi Serikat Kretek Semarang 1949, Pemicu Bentrok Tionghoa Vs Pribumi
Pada puncaknya banyak warga Tionghoa yang berasal dari Hokkian tinggal di daerah Sampangan pada awal abad ke-18 masehi. Bahkan mereka membangun klenteng (tempat ibadah Konghucu) dan melakukan pemugaran pada tahun 1885.
Baru pada tahun 1917 orang-orang pribumi menyebut daerah Sampangan sebagai pusat berkumpulnya orang Tionghoa di Pekalongan dengan sebutan Pecinan.
Menjadi Pusat Kegiatan Masyarakat Tionghoa di Pekalongan
Menurut salah seorang tokoh Tionghoa sekaligus pengurus tempat ibadah Tridharma Klenteng Konghucu di Pekalongan bernama, Heru Wijayanto, wilayah Pecinan yang saat ini berada di jalan Blimbing Pekalongan, sejak tahun 1900-an sudah terkenal menjadi pusat kegiatan masyarakat Tionghoa.
Salah satunya yaitu menjadi tempat untuk mengadakan ritus-ritus peribadatan orang-orang Tionghoa dari berbagai ajaran.
Para penduduk Pecinan kerap berkumpul di sebuah klenteng tua bernama Pon An Thian untuk bersembahyang berdasarkan pada kepercayaan ajaran Tao, Budha, dan Konghucu.
Dari klenteng Tionghoa yang telah mengalami renovasi awal pada tahun 1885, masyarakat menjadikan tempat Pecinan sebagai pusat kegiatan etnis Tionghoa yang ada di seluruh penjuru kota Pekalongan.
Antara lain umat Konghucu sering meramaikan Pecinan saat hari raya Tionghoa seperti, Imlek, Cap Go Meh, dan Pehcun.
Selain itu pada intinya daerah Sampangan yang saat ini bernama jalan Blimbing di Kota Pekalongan juga digunakan sebagai tempat pemukiman leluhur orang Tionghoa yang pertama datang ke kota tersebut. Mereka tinggal dan menjadi pedagang kebutuhan pokok orang Tionghoa dan juga para pribumi di Pekalongan.
Pecinan Jadi Tempat Kontrol Sosial Pemerintah Kolonial
Menurut M. Dirhamsyah dalam buku berjudul, “Pekalongan yang (tak) Terlupakan” (2015), zaman kolonial wilayah Pecinan di Pekalongan terkenal dengan sebutan kawasan Pintu Dalam.
Hal ini terjadi karena pemerintah kolonial ingin membuat simbol pembatas guna mengkotak-kotakan daerah pribumi, Eropa, dan Timur Asing.
Pemerintah kolonial berhasil membagi kawasan sesuai dengan etnis, misalnya kawasan Tionghoa dan Arab, untuk mengontrol keadaan sosial golongan Timur Asing di Pekalongan. Terutama untuk mengontrol populasi penduduk dan angka kriminalitas yang melibatkan orang Tionghoa.
Agar masyarakat Tionghoa tak merasa curiga akan hal ini, maka pemerintah kolonial seolah-olah mendukung eksistensi Timur Asing melalui perizinan pembangunan gapura raksasa Pecinan yang disebut dengan “Pintu Dalam”.
Baca Juga: Angkatan Moeda Tionghoa, Organisasi Timur Asing Revolusioner di Indonesia
Posisi gapura ini berfungsi untuk menjadi pintu masuk ke daerah Pecinan, letaknya ada di persimpangan sebelum Gereja Santo Petrus di sekitar kali Lodji.
Untuk mempermudah kerja kolonial mengontrol etnis Tionghoa di Pecinan Pekalongan, pemerintah Belanda menunjuk perwakilan Tionghoa menjadi Kapiten.
Tugas dari Kapiten Tionghoa adalah mengurus segala persoalan administratif etnis dari bangsanya pada pemerintah kolonial.
Sampai saat ini jejak Kapiten Tionghoa di Pecinan Pekalongan masih bisa kita jumpai. Petilasan sang pemimpin etnis Tionghoa di Pekalongan berbentuk rumah berarsitektur Tiongkok-Eropa yang megah. Letak persisnya rumah sang Kapiten berada tak jauh dari klenteng Po An Thian. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)