Sejarah menara Kudus menarik perhatian banyak orang terutama bagi umat Islam yang hobi melakukan ziarah ke makam-makam Walisongo. Konon menara Kudus merupakan masjid peninggalan salah seorang Wali asal Palestina yang telah berusia 500 tahun.
Menurut prasasti yang ada di menara tersebut, bangunan ini berdiri pada tahun 956 H atau sekitar tahun 1549 masehi.
Gaya arsitektur menara Kudus begitu kentara dengan budaya Hindu. Salah satunya terlihat dari bahan dasar bangunan yang merupakan batu bata merah.
Berdasarkan toponimi penamaan tempat ini dengan menara Kudus yaitu berasal dari Al-Quds, sebuah kota suci yang berada di Palestina. Sebagaimana penjelasan di awal, menara ini didirikan oleh Walisongo yang berasal dari Palestina.
Baca Juga: Sejarah Jamaah Tabligh di Indonesia, Gerakan Dakwah dari India
Adapun Walisongo yang mendirikan menara Kudus yaitu bernama Ja’far Shadiq, atau kerap kita dengar namanya dengan sebutan Sunan Kudus. Ia adalah salah satu Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal dari Palestina.
Menara Kudus merupakan bangunan suci peninggalannya yang juga menandakan bahwa ia berasal dari kota suci, Al-Quds di Palestina.
Sejarah Menara Kudus: Akulturasi Budaya Islam dan Hindu
Menara Kudus adalah bukti nyata dari akulturasi budaya Islam dan Hindu yang ada di Tanah Jawa. Pertukaran budaya yang melibatkan keseharian orang Islam dan Hindu ini merupakan cara yang khas dari Walisongo menyebarkan agama Islam sejak abad ke-13 masehi di pulau Jawa.
Salah satunya seperti yang terjadi di daerah Kudus, Sunan Kudus sengaja melakukan akulturasi budaya Islam dan Hindu di sana untuk mengajak umat Hindu menjadi pemeluk Islam.
Sebab pada saat itu masyarakat Kudus masih dipenuhi oleh orang-orang Hindu, menara Kudus kemudian dijadikan sarana Ja’far Shadiq menyebarkan agama Islam.
Para ilmuwan Islam di Indonesia menilai apa yang telah dilakukan Sunan Kudus itu bagian dari cara mereka menyebarkan Islam secara damai. Maka dari itu satu-satunya negeri yang dipengaruhi oleh agama Islam tanpa peperangan yaitu di Nusantara, khususnya di pulau Jawa Nusantara.
Oleh karena itu Kudus saat ini terkenal sebagai daerah dengan toleransi yang tinggi. Bahkan ketika lebaran Idul-Adha tiba orang Kudus jarang menyembelih sapi karena menghargai tradisi Hindu yang mendewakan hewan mamalia tersebut.
Menara Kudus Memiliki Rajah Kalacakra
Menurut kepercayan orang Kudus, menara masjid peninggalan Ja’far Shadiq memiliki Rajah Kalacakra. Apa itu Rajah Kalacakra?
Rajah Kalacakra merupakan doa-doa yang dibuat oleh Sunan Kudus untuk melindungi masjidnya dari para penguasa jahat. Rajah itu kemudian disimpan di depan menara, tepatnya di gapura awal masuk halaman masjid menara Kudus.
Apabila ada penguasa yang memiliki niat jahat masuk kawasan menara Kudus, maka ia akan kehilangan jabatan.
Dengan apapun cara itu, pasti para penguasa yang rakus, licik, dan punya niat mengintervensi umat Islam di Kudus untuk tak beribadah di menara itu tak lama akan mendapatkan kehancuran.
Maka dari itu Rajah Kalacakra ditakuti oleh para penguasa kolonial yang punya niat jahat mencampur adukan agama Islam dengan politik kolonial di Kudus. Mereka mempercayai Rajah Kalacakra buatan Sunan Kudus bisa mencelakai birokrasinya.
Konon karena mitos Rajah Kalacakra demikian, banyak pula para pejabat hari ini yang enggan memasuki gapura Menara Kudus. Mereka takut masuk di lingkungan menara Kudus karena percaya pesimis dengan dirinya. Mereka takut kehilangan jabatan apabila mitos yang ramai diperbincangkan itu nyata adanya.
Rajah Kalacakra telah melatih kepercayaan tradisi orang Jawa pada pakem-pakem yang melarang adanya kekuasaan kotor. Dengan demikian secara tidak langsung Rajah Kalacakra telah meninggalkan model pendidikan politik yang relevan hingga detik ini.
Peninggalan Walisongo yang Punya Mata Air
Menurut Zulham Farobi dalam buku berjudul, “Sejarah Walisongo” (2013), konon menara Kudus memiliki sumber mata air di dalam masjidnya.
Peninggalan mata air yang berada di menara Kudus itu dipercaya sebagai mata air yang bisa bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Nama sumber mata air itu dipercaya bernama Asta Sanghika Marga, atau dalam bahasa Hindu berarti 8 jalan utama yang bisa membawa manusia pada kejernihan hati. Penamaan sumber mata air ini bagian dari peninggalan Hindu yang disematkan Sunan Kudus dalam ajaran Islam.
Selain memiliki mata air yang jernih, menara Kudus juga dilengkapi dengan sepasang gapura besar yang dinamakan lawing kembar. Gapura ini dipercaya sebagai peninggalan kerajaan Majapahit yang saat itu masih dikuasai oleh agama Hindu.
Ada juga kepala menara (makara) yang berarsitektur khas budaya tradisional Jawa sejak zaman animisme-dinamisme. Semua itu dikolaborasikan oleh Sunan Kudus dalam pembangunan menara guna membuat perpaduan Islam-Hindu yang menyejukan hati.
Artinya Islam mempengaruhi masyarakat Kudus tidak dilakukan dengan cara peperangan, tetapi melalui jalan akulturasi. Melambangkan toleransi beragama di Jawa dengan cara yang komprehensif. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)