Sejarah Masjid Gedhe Mataram merupakan tempat ibadah umat Islam tertua yang ada di Yogyakarta. Konon masjid ini dibangun pada tahun 1578 dan selesai pada tahun 1587.
Masjid Gedhe Mataram saat ini dijadikan sebagai bangunan cagar budaya karena memiliki nilai historis yang kuat, terutama sejarah dinamika kerajaan Mataram sebelum adanya politik pecah Belanda Belanda abad ke-18 masehi.
Menurut catatan sejarah peradaban Mataram di Yogyakarta, pembangunan Masjid Gedhe Mataram diinisiasi oleh Panembahan Senopati. Pemimpin Mataram di masa peralihan Hindu-Budda ke Islam ini melibatkan beberapa penduduk Hindu dalam proses pembangunan masjid tersebut.
Adapun tokoh penting di balik pembangunan Masjid Gedhe Mataram selain Panembahan Senopati yaitu Sunan Kalijaga. Masyarakat Yogyakarta percaya bahwa Sunan Kalijaga lah yang menyarankan Panembahan Senopati untuk mendirikan Majid Gedhe Mataram.
Baca Juga: Sejarah Halal Bihalal di Indonesia, Cara Sukarno Damaikan Politisi
Melalui kaki tangan Mataram, Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya, Panembahan Senopati lalu menugaskannya membabad Alas Mentaok untuk dibangun pusat pemerintahan sekaligus mendirikan Masjid Gedhe Mataram. Saat ini posisi Alas Mentaok yaitu daerah Kotagede Yogyakarta.
Saat ini Masjid Gedhe Mataram masih berdiri kokoh. Masjid tersebut juga masih beroperasi layaknya rumah ibadah umat Islam lainnya di berbagai tempat. Akan tetapi ada yang membedakan Masjid Gedhe Mataram dengan masjid-masjid lain yaitu nilai sejarah.
Masjid Gedhe Mataram memiliki gaya bangunan zaman Hindu-Budha, ini berarti masjid tersebut merupakan bukti adanya akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam. Dua budaya tersebut bercampur menciptakan bentuk bangunan yang unik, indah, dan mempunyai ciri khas tersendiri.
Sejarah Masjid Gedhe Mataram Jadi Pusat Penyebaran Islam di Kota Gudeg
Kendati berarsitektur gaya Hindu-Budha, Masjid Gedhe Mataram merupakan jejak peninggalan para wali yang memiliki sumbangsih dalam penyebaran agama Islam pertama di Kota Gudeg, Yogyakarta.
Bentuk masjid yang memercikan kemeriahan ukir-ukiran kayu yang indah membuat nuansa ibadah menjadi semakin jembar. Masjid Gedhe Mataram telah membuat masyarakat di Kotagede menjadi kelompok sosial yang tinggi akan toleransi dalam beragama.
Konon karena bentuk Masjid Gedhe Mataram sarat dengan unsur Hindu-Budha, banyak masyarakat Mataram ingin belajar Islam lebih dalam lagi. Bahkan mereka datang dari berbagai kepercayaan yang bertentangan dengan Islam, antara lain yaitu datang dari masyarakat penganut ajaran animisme-dinamisme.
Sunan Kalijaga adalah wali pertama yang menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat Mataram. Ia mendapat dukungan penuh dari rakyat Mataram karena cara menyebarkan agama Islam yang Sunan Kalijaga tempuh dengan cara akulturasi budaya (Hindu-Islam), salah satunya memakai wayang.
Seiring berkembangnya waktu Sunan Kalijaga memperoleh banyak pengikut di Mataram. Masyarakat di sana menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Mereka datang untuk sembahyang di Masjid Gedhe Mataram, karena jumlahnya yang semakin bertambah, pemerintah Mataram membangun serambi (halaman masjid) yang lebih luas pada 1611.
Baca Juga: Sejarah Menara Kudus, Masjid Peninggalan Walisongo Berusia 500 Tahun
Sejarah Masjid Gedhe Mataram Simbol “Catur Gatra Tunggal”
Catur Gatra Tunggal adalah simbol yang membentuk identitas kota dengan meliputi 4 elemen antara lain, Keraton (Pusat Pemerintahan), Alun-alun (Pusat Sosial Budaya), Pasar (Pusat Kegiatan Ekonomi), dan Masjid (Pusat Kegiatan Beragama Umat Islam).
Dalam lingkup daerah kerajaan (Mataram) simbol Catur Gatra Tunggal tak bisa dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sehari-hari.
Sebab Catu Gatra Tunggal bagian dari syarat utama terbentuknya suatu negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Artinya daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah dan membuat siapapun yang tinggal di dalamnya merasa nyaman.
Selain itu Catur Gatra Tunggal dalam kebudayaan Mataram juga mengandung makna bahwa pemegang tahta dan kuasa (Raja) mementingkan agama sebagai pondasi pembangunan negerinya (Kerajaannya). Maka dari itu Catur Gatra Tunggal kerap dijadikan oleh si raja sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Dengan simbol Catur Gatra Tunggal, rakyat akan menuruti segala perintah raja. Mereka akan setia pada titah kerajaan, tidak akan ada yang berselisih paham sehingga menyebabkan konflik antar saudara. Dari situlah kemudian Raja sering menggunakan simbol tersebut sebagai alat pelanggeng kekuasaannya.
Masjid Gedhe Mataram, Menginspirasi Pembangunan Masjid Kauman Yogyakarta
Menurut Endang Setyowati dkk, dalam buku berjudul, “Mengenal Lebih Jauh Masjid Islam Jawa dalam Arsitektur Masjid Pathok Negoro” (2017), Masjid Gedhe Mataram telah menginspirasi pembangunan Masjid Kauman Yogyakarta.
Baca Juga: Sejarah Ketupat Lebaran, Sudah Ada Sejak Abad 15 Masehi
Peristiwa ini terjadi pada masa politik pecah belah Mataram oleh pemerintah kolonial Belanda. Akibat politik ini Mataram terbelah menjadi dua, ada Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dan Mataram Surakarta Hadiningrat. Pecahnya kerajaan Mataram menjadi dua ditandai dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.
Hal ini menyebabkan pusat pemerintahan Mataram tidak lagi di Alas Mentaok atau tempat berdirinya Masjid Gedhe Mataram di sekitar Kotagede. Akan tetapi berpindah ke wilayah Kraton yang saat ini berada tak jauh dari Gedung BNI lama Yogyakarta.
Adapun pembangunan Masjid Kauman Yogyakarta tak lepas dari beberapa saat setelah pernjanjian itu disepakati. Dengan kekuasaannya sebagai Raja Mataram di Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I segera membangun masjid baru itu sebagai simbol Catur Gatra Tunggal. Masjid Kauman Yogyakarta baru rampung dari pembangunannya pada tahun 1773.
Saat ini Masjid Kauman Yogyakarta masih beroperasi sebagai rumah ibadah umat Islam di Yogyakarta peninggalan Mataram zaman Hamengkubuwono I. Selain itu Masjid Kauman Yogyakarta juga masuk dalam daftar destinasi wisata religi populer di Kota Gudeg. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)