Kabinet Djuanda merupakan program kerja pemerintah Orde Lama yang dibentuk oleh Presiden Sukarno pada tanggal 9 April 1957. Struktur kabinet Djuanda menarik kita ulas karena ternyata Presiden Sukarno memposisikan para menteri dari jajaran ahli.
Artinya dalam kabinet ini Presiden Sukarno tidak mengutamakan pengisian posisi menteri dari unsur kepartaian (politik). Akan tetapi dari latar belakang keilmuan yang dikuasai oleh masing-masing menteri.
Menurut Sukarno ini merupakan tahap efisien untuk menuntaskan persoalan-persoalan negara yang semakin buruk.
Selain itu pemilihan kursi menteri berdasarkan bidang keilmuan yang Sukarno terapkan konon cara orang nomor satu di Indonesia itu menanamkan jiwa anti KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Jadi pemilihan kursi menteri bisa netral, tidak memandang kedekatan tokoh melainkan memandangnya berdasarkan keahlian dalam bidang tertentu.
Baca Juga: Sejarah Perumusan Naskah Proklamasi, Diketik ketika Sahur dan Dibacakan saat Puasa
Sebagian generasi tua menyebut kabinet Djuanda dengan istilah bahasa Belanda yaitu, Kabinet Zaken.
Ini berarti struktur kabinet kerja negara yang diisi oleh para ahli untuk menuntaskan persoalan-persoalan berat. Biasanya Kabinet Zaken diterapkan suatu negara apabila negara tersebut sedang mengalami ancaman kedaulatan.
Kabinet Djuanda 1957 Memiliki 5 Program Kerja Kenegaraan
Menurut Habib Mustopo, dkk dalam buku berjudul, “Sejarah” (2015), kabinet Djuanda merupakan rangkaian kerja pemerintah Sukarno dengan tugas yang lumayan berat dan penuh resiko.
Untuk menuntaskan tugas-tugas berat penuh resiko demikian, kabinet Djuanda melahirkan 5 program kerja kenegaraan. Program ini berjalan secara masif dan terstruktur. Antara lain 5 program kerja kabinet Djuanda sebagai terdiri dari:
Membentuk Dewan Nasional, Menormalisasi Keadaan Republik, Melancarkan Pelaksanaan Pembatalan Konferensi Meja Bunda (KMB), Memperjuangkan Pembebasan Irian Barat, dan Mempergiatan Pembangunan (Nasional dan Regional).
Lima program kerja kabinet Djuanda terkenal dengan istilah Pancakarya. Adapun sebagai ketua dari program kerja pemerintah RI tahun 1957 ini terdiri dari, Ir. Djuanda (Ketua) dan Mr. Hardi, Idham Chalid, serta dr. Leimena (Wakil Ketua).
Menurut undang-undang yang diterbitkan pada tahun 1957, kabinet Djuanda memiliki tugas utama, menuntaskan pergolakan internal di daerah-daerah konflik, merebut kembali Irian Barat ke pangkuan republik, dan memperbaiki keadaan ekonomi negara yang semakin hari semakin menurun.
Baca Juga: Kisah di Balik Pembebasan Irian Barat 1963, Ada Kekecewaan RPKAD
Kabinet Djuanda Mengadakan MUNAS di Gedung Proklamasi
Dalam perjalanannya kabinet Djuanda tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Kabinet Djuanda mengalami kegagalan, kerja-kerja para ahli tak sesuai dengan apa yang Presiden dan rakyat inginkan.
Kabinet Djuanda menemukan kesulitan dalam meredam konflik internal yang terjadi di daerah-daerah provinsi.
Konflik internal yang terjadi di daerah-daerah tersebut menyebabkan kesulitan ekonomi. Dengan kata lain karena peristiwa itulah ekonomi negara semakin menyusut, dampaknya luas tidak saja pada struktur birokrasi tetapi mulai massif pada kehidupan rakyat di berbagai wilayah terutama Jawa.
Maka dari itu kabinet Djuanda berinisiatif mengadakan pertemuan dalam acara Musyawarah Nasional (MUNAS) di Gedung Proklamasi pada tanggal 14 September 1957.
Kabinet Djuanda mengumpulkan seluruh pemimpin dari berbagai daerah untuk rapat dengar pendapat guna menyelesaikan konflik-konflik di daerah.
Sesudah MUNAS berlangsung para pemimpin di daerah melakukan pekerjaan sesuai arahan kabinet Djuanda. Namun selama dua tahun berlalu perubahan tak kunjung ada, hal ini membuat Sukarno jengkel dan membubarkan kabinet Djuanda melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Kejengkelan Presiden Sukarno pada kabinet Djuanda konon ditengarai oleh berjamurnya kekuatan anti pemerintah hingga ke Jakarta.
Sukarno hampir jadi korban teror pembunuhan kelompok tak dikenal. Besar kemungkinan mereka adalah dalang di balik kerusuhan daerah yang merasa tak diperhatikan oleh pemerintah RI.
Baca Juga: Sejarah Penolakan Indonesia terhadap Israel, dari Kualifikasi Piala Dunia sampai Asian Games
Keahlian Tak Cukup Memperbaiki Keadaan Indonesia
Dari peristiwa pembentukan hingga pembubaran kabinet Djuanda tahun 1957-1959, membuat kita semakin paham jika pembangunan negara bermodal keahlian sesuai bidang saja tak cukup untuk memperbaiki keadaan politik di berbagai wilayah konflik. Seperti halnya yang terjadi pada kabinet Djuanda.
Meskipun berisi jajaran para ahli birokrasi tetap saja konflik-konflik antar daerah masih berkecamuk. Nampaknya Djuanda Cs tak bisa menuntaskan persoalan ini sampai ke akar-akarnya.
Seharusnya kabinet Djuanda bisa merangkul dua kekuatan yang sedang berkonflik. Tangan-tangan negara perlu turun langsung menuntun kerusuhan menjadi perdamaian.
Semua itu butuh pendekatan yang humanis, duduk bersama berbicara apa yang mereka inginkan dan pada akhirnya kita sepakati.
Kepiawaian menggunakan pendekatan humanis semacam itu perlu ditekankan karena kebanyakan daerah konflik didalangi oleh para pasukan sakit hati. Mereka adalah kelompok revolusi yang tersingkirkan, pemerintah seolah lupa pada perjuangan mereka dalam kemerdekaan RI.
Tak hanya itu, kabinet Djuanda juga jangan terlalu memberikan kesan mencolok terhadap proyek pembangunan terpusat. Seharusnya mereka bisa menyeimbangkan pembangunan daerah dan pusat secara merata. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)