Pada hari Jum’at, 19 Desember 1930 pemerintah kolonial membebaskan para tahanan politik di Boven Digoel, Papua. Mereka dibebaskan secara bersyarat berdasarkan kesadaran pemerintah kolonial akan norma-norma keadilan yang berlaku saat itu.
Keputusan ini disambut positif oleh masyarakat. Banyak rakyat bumiputera yang memuji tindakan pemerintah kolonial membebaskan Digoelis untuk menjalankan keadilan. Pemerintah kolonial ingin membuat hukum Belanda jadi rujukan kaidah-kaidah normative masyarakat.
Kendati begitu pemerintah kolonial masih memberikan syarat untuk pembebasannya jadi tahanan politik. Para Digoelis harus memberikan laporan kepada kantor politie setempat dan menandatangani pernyataan bersedia untuk berkelakuan baik.
Pengawasan yang terus dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap para Digoelis tidak lain untuk memberikan kontrol. Mereka tidak ingin salah langkah, oleh sebab itu sikap keragu-raguan membebaskan Digoelis masih diikuti oleh sistem pengawasan yang ketat.
Baca Juga: Kisah Belanda Wajibkan Siswa Belajar Sejarah Jawa Tahun 1921
Salah Satu Tahanan Politik di Boven Digoel yang Bebas Pemimpin Komunis Ternate
Menurut surat kabar Swara Publiek yang terbit pada tanggal 19 Desember 1930 bertajuk, “Pulang dari Boven Digoel: Satoe Tindakan jang Patoet Dipoedji”, salah satu Digoelis yang dipulang bebaskan oleh pemerintah kolonial adalah pemimpin komunis di Ternate (Maluku Utara) bernama, R. M. Gondojoewono.
R. M. Gondojoewono berasal dari Jawa Selatan, sebelum mempengaruhi rakyat Maluku dengan ajaran komunis ia terlebih dahulu berprofesi menjadi Hoofdredactur (Pemimpin Redaksi) surat kabar revolusioner di Batavia bernama Njala.
Kedatangan R. M. Gondojoewono ke Ternate bukanlah keinginannya sendiri, tapi karena ia dihukum buang oleh pemerintah kolonial akibat perusahaan surat kabar miliknya terkena persdelict (pembreidelan).
Ketika di Ternate R. M. Gondojoewono menyebarkan ajaran komunis. Banyak pengikutnya, bahkan hampir sebagian masyarakat di sana setuju dengan gagasan perjuangan pria berdarah Mataram tersebut.
Konon kharismatik R. M. Gondojoewono yang membuat banyak rakyat Ternate membantu perjuangannya berasal dari ajaran leluhurnya.
Menurut silsilah kerajaan Mataram, R. M. Gondojoewono masih merupakan keturunan bangsawan Jawa keturunan dekat Pangeran Diponegoro. Oleh sebab itu semangat Diponegoro mewarisi sebagian hidupnya.
Pemulangan R. M. Gondojoewono kembali ke tanah Jawa tidak lain karena pemerintah kolonial ingin menerapkan hukum yang adil.
Baca Juga: Mogok Buruh Pegadaian 1921: Pegadaian Ditutup, Rakyat Menderita
Mereka sadar hukum buang ke Boven Digoel merupakan tindakan yang tidak adil sama sekali. Merugikan banyak pihak dan semakin menyulut gerakan-gerakan revolusi dari kaum bumiputera.
Rakyat Memuji Pemerintah Kolonial Belanda
Rakyat pribumi di tanah Jawa memuji kebijakan pemerintah kolonial memulangkan Digoelis pada tahun 1930. Pujian itu tergambar dalam berbagai lembaran dan surat kabar milik pribumi.
Sepanjang tahun itu rakyat memihak pemerintah karena mereka telah merasakan sistem hukum kolonial yang semakin maju dari sebelumnya.
Adapun pernyataan ini sebagaimana kutipan yang dimuat dalam surat kabar Swara Publiek (1930) sebagai berikut:
“Tindakan jang sekarang soeda diambil oleh pamerentah terhadap pada orang-orang jang diboeang itoe patoet dipoedji. Kerna pamerentah Indonesia sekarang mengoendjoek keadilannja pada pemboeangan atas dirinja: orang-orang jang sasoenggoehnja tidak bersalah”.
Masyarakat bumiputera menekan pemerintah untuk meminta maaf pada salah seorang tahanan politik Boven Digoel yang baru bebas: R. M. Gondojoewono.
Permintaan maaf itu ditujukan karena pemerintah kolonial telah memberikan hukuman yang tak adil pada pria keturunan Diponegoro tersebut.
Sebab pengadilan negeri hanya memvonis ia satu setengah tahun penjara, tapi pemerintah kolonial menafsirkan lain: menjadikannya tahanan politik buangan di Boven Digoel. Padahal kasus yang membuatnya terseret hukum adalah kasus persdelict bukan provokator komunis.
Desakan itu membuat pemerintah kolonial meminta maaf pada R. M. Gondojoewono. Meskipun harus izin lapor setiap seminggu sekali, R. M. Gondjoewono bebas bertemu masyarakat dan membicarakan soal kemajuan bangsa. Atas hal ini rakyat bumiputera semakin memuji-muji pemerintah kolonial.
Baca Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Gencatan Senjata saat Bulan Ramadhan
Pembebas Kaum Digoelis Ahli Hukum Belanda, Edeller Hillen
Pembebas kaum Digoelis tahun 1930 bernama Edeller Hillen. Ia merupakan orang Belanda lulusan sarjana hukum. Pemerintah kolonial mendatangkan Edeller Hillen untuk mengevaluasi penegakan hukum di negeri jajahan.
Menurut Edeller hukum-hukum yang dijalankan oleh pemerintah kolonial tidak sesuai dengan standarisasi norma orang Barat.
Edeller Hillen adalah salah seorang tokoh Belanda yang menolak hukum buang. Menurutnya hukum buang seperti yang dilakukan pada R. M. Gondojoewono merupakan tindakan yang menyalahi hukum normatif. Kesalahan ini akan berakibat fatal apabila didiamkan terus menerus.
Adapun dampak dari pembiaran hukum buang di negeri jajahan antara lain yaitu bisa menimbulkan pembangkangan penduduk. Rakyat bumiputera bisa memberontak akibat tokoh yang dianggapnya sebagai Ratu Adil (Juru Selamat) ditangkap dan diasingkan ke luar pulau Jawa.
Pendapat Hillen demikian kemudian didengar oleh pemerintah kolonial. Mereka akhirnya memulangkan beberapa penghuni Digoel ke tempat asalnya.
Atas keputusan ini rakyat bumiputera bersyukur seakan membela pemerintah kolonial. Rakyat bumiputera juga mengucapkan rasa terima kasih pada Edeller Hillen.
Mungkin tanpa kehadiran Edeller Hillen hukum pembuangan ke Boven Digoel terus berlanjut. Adapun ucapan terima kasih rakyat bumiputera tersebut sebagaimana kutipan yang dimuat dalam surat kabar Swara Publiek (1930) sebagai berikut:
“Kaloe sadja toean Hillen tida dioetoes oleh pemerintah boeat melakoekan papreksaan, boleh djadi jang tida ada satoe Digoelis jang dipoelangkan ke tempat asal. Boleh djadi ditjatet bahoea dipoelangkannja beberapa orang dari Digoel itoe atas djasa dan boedi loehoer jang baik dari Toean Hillen”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)