Peristiwa Tiga Daerah merupakan kejadian sejarah berupa gerakan rakyat jelata anti Belanda yang terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan tahun 1945-1946.
Karesidenan Pekalongan meliputi beberapa daerah antara lain wilayah Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan Kabupaten. Tiga daerah itulah yang merupakan basis massa melakukan gerakan rakyat jelata anti Belanda.
Peristiwa ini terjadi pasca kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Rakyat pribumi di Karesidenan Pekalongan membenci Belanda karena mereka sering melakukan tindakan yang represif terhadap rakyat yang membangkang.
Begitu juga dengan pemimpin administrasi yang tradisional. Atau orang-orang yang disebut dengan ningrat (Wedana, lurah, atau kepala desa), mereka semua menjadi sasaran amuk massa yang ikut mengobarkan gerakan rakyat jelata anti Belanda.
Hal ini terjadi karena pemimpin tradisional tidak setuju dengan kemerdekaan Indonesia. Mereka justru mendukung Belanda untuk menguasai kembali negara jajahan dengan cara melarang rakyat Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes mengibarkan bendera merah putih.
Baca Juga: Lafran Pane Pendiri HMI, Anti Komunis tapi Dekat dengan Aidit
Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan, Gerakan Sosial Anti Belanda dan Pejabat Tradisional
Walaupun rakyat jelata di tiga daerah Karesidenan Pekalongan menyerang pejabat tradisional, barisan ningrat Jawa yang berpihak pada Belanda itu justru menentang balik lawannya.
Hal ini membuat rakyat jelata semakin meningkatkan emosinya. Mereka mengamuk dan menghabisi kantor-kantor pejabat tradisional.
Seluruh rakyat jelata menyerang pula saudara dan sanak keluarga lainnya, jika mereka tertangkap tak jarang rakyat yang telah membabi buta membunuhnya.
Alasan rakyat jelata membunuh siapapun orang yang berpihak pada Belanda antara lain untuk menghindari kekuatan lain yang bersifat merugikan kedaulatan republik Indonesia.
Mereka sengaja menghabisi pejabat pribumi yang memihak Belanda agar si penjajah kesulitan mencari tenaga untuk membangun kembali birokrasinya.
Oleh sebab itu rakyat jelata di tiga daerah tersebut menjadi kekuatan untuk menghabisi kekuasaan Belanda.
Baca Juga: Sejarah Hari Raya Lebaran Zaman Belanda, Dianggap Ajang Pemborosan
Perekonomian Rakyat yang Buruk
Menurut Anton E. Lucas dalam buku berjudul, “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” (1989), kendati banyak yang menerka penyebab terjadinya peristiwa tiga daerah akibat sentiment rakyat jelata pada Belanda dan pejabat tradisional, ternyata ada faktor lain yang menyebabkan kerusuhan ini berkecamuk.
Faktor lain itu adalah keadaan ekonomi rakyat yang buruk. Peristiwa ini terjadi karena rakyat diwajibkan membayar pajak tak sesuai dengan penghasilannya sehari-hari. Mereka selalu tekor dan tidak mendapat keuntungan.
Keadaan ini membuat seluruh penduduk di Karesidenan Pekalongan menderita. Mereka miskin dan mengalami kelaparan. Situasi ini menyebabkan rakyat melakukan perlawanan.
Apalagi belakangan mereka mengetahui perbuatan licik pejabat tradisional yang sering melakukan korupsi dan memanfaatkan kekuasaan.
Dengan kata lain faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab rakyat di Karesidenan Pekalongan mengadakan gerakan revolusi.
Mereka ingin terbebas dari cengkraman kolonial. Karena sudah memproklamirkan kemerdekaan rakyat jelata yang nasibnya tertindas itu melakukan perlawan tanpa memandang kemanusiaan.
Rakyat Karesidenan Pekalongan menyerang habis siapapun yang dianggap musuh seperti orang Eropa; Belanda dengan cara yang kejam.
Beberapa di antaranya melakukan tindakan pemerkosaan pada wanita-wanita Belanda, setelah itu dibunuh dan mayatnya dibuang ke aliran sungai.
Baca Juga: Sejarah Pecinan di Pekalongan: Area Dagang Tionghoa, Wilayah Kontrol Sosial Belanda
Bergejolaknya Api Komunisme dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan
Masih menurut Anton E. Lucas, terjadinya peristiwa tiga daerah di Karesidenan Pekalongan membuat bergejolaknya api komunisme di kalangan rakyat jelata.
Kekuatan komunis menjadi suluh untuk menjaga api emosi rakyat saat menghabisi Belanda. Antara lain paham komunis yang mewadahi semangat rakyat demikian dilakukan oleh kader organisasi Onderbouw PKI yaitu Front Rakjat.
Organisasi tersebut menampung seluruh aspirasi rakyat di Karesidenan Pekalongan untuk menyerang Belanda.
Para kader organisasi itu memberikan pendidikan politik radikal, mereka mendoktrin kekerasan sebagai senjata utama rakyat jelata untuk menciptakan cita-citanya; merdeka dan terbebas dari kolonial Belanda.
Front Rakjat sengaja menghimpun kekuatan rakyat untuk menyerang para pejabat tradisional yang memihak Belanda. Mereka melatih seluruh rakyat jelata untuk membunuh orang-orang licik, orang-orang feodal yang mendukung cita-cita Belanda.
Akibat doktrinasi nir-humanisme ini terus diberikan oleh kader Front Rakjat, rakyat jelata semakin yakin tindakannya menyerang siapapun yang masuk kategori musuh adalah perbuatan yang halal.
Karena ini terus terjadi dan menimbulkan banyak korban, Belanda menjalin kerjasama dengan pemerintah republik untuk melakukan gencatan senjata. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)