Pada tanggal 22 Juni 1949, salah satu surat kabar di Bandung memberitakan telah terjadinya pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menewaskan beberapa tokoh penting di daerah Ciamis.
Selain di Ciamis pemberontakan ini juga meletus di beberapa daerah Priangan Timur lainnya seperti, Garut, Tasik, dan Bandung Kabupaten. Mereka yang menjadi korban kekerasan DI/TII berasal dari kalangan Pamong Pradja (Pegawai Negeri) dan para Kyai/Ajengan (Ulama).
Wafatnya para ajengan di Ciamis misalnya, telah mengundang banyaknya amarah warga yang tak terima karena guru atau kerabat dekatnya menjadi korban keganasan DI/TII.
Kebanyakan para barisan sakit hari ini berasal dari golongan santri. Mereka juga berjaga-jaga di depan masjid dan pondok pesantren dengan tujuan menghindari gerombolan DI/TII.
Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuh korbannya dari kalangan Ajengan berpengaruh di Ciamis. Para aparat militer pun menjadikan daerah itu sebagai wilayah dalam pengawasan ketat Tentara Siliwangi. Satuan militer Jawa Barat ini berjaga-jaga di sekiat Ponpes dan gedung-gedung pemerintahan.
Satuan militer Siliwangi mempelopori strategi penangkapan gerombolan DI/TII dengan teknik jebakan yang dinamakan dengan istilah Pagar Betis. Jebakan ini diterapkan di berbagai wilayah yang terkontaminasi DI/TII, salah satunya di lereng gunung Galunggung, Tasikmalaya.
Baca Juga: Sejarah Perlawanan Umat Islam Ciamis terhadap Belanda, Menginspirasi Bandung Lautan Api
Pemberontakan DI/TII Tahun 1949 di Ciamis, Ulama Jadi Sasaran Pembantaian
Menurut surat kabar Sedar yang terbit pada tanggal 24 Juni 1949 bertajuk, “Kegentingan di daerah Pasoendan: Beberapa Pengawe Pamong Pradja diboenoeh”, gerombolan DI/TII telah membunuh pegawai pamong pradja di daerah Tasikmalaya dan Ciamis.
Korban dari peristiwa ini antara lain terdiri dari Wedana Manonjaya bernama, R. Iswari Subiadipradja, Asisten Wedana Cibeureum, R. Sadikin, dan Agen Polisi di perbatasan Tasik-Ciamis bernama Engkon.
Konon alasan gerombolan DI/TII membunuh Pamong Pradja di daerah Tasik-Ciamis tidak lain karena mereka identik dengan pembangkang. Bagi kelompok DI/TII seluruh pegawai negeri zaman itu adalah kolabolator pemerintah yang harus ditumbangkan.
Begitu juga dengan kelakuan mereka, DI/TII tak menyukai jajaran pamong karena sikapnya yang tak mau mematuhi perintahnya.
Adapun tempat kejadian perkara dari peristiwa pembunuhan petugas pamong ini terjadi pada saat mereka menghadiri acara selamatan desa di dusun Gobras, Cibeureum, Tasikmalaya.
Gerombolan DI/TII Membunuh Ulama di Ciamis
Tidak hanya membunuhi para pegawai negeri, gerombolan DI/TII juga ikut membunuhi para ajengan (ulama) berpengaruh di daerah Ciamis.
Mereka membunuh para Ajengan karena menurut gerombolan DI/TII para Ajengan yang tak mendukung gerakannya sama dengan golongan orang kafir yang patut dibunuh.
Para Ajengan yang menjadi korban keganasan DI/TII berasal dari para pemimpin pondok pesantren bernama, Ajengan Abdul Hamid, Ajengan Saad Uddin, Ajengan Zaenal Arifin, dan Ajengan Zenal Mutakin.
Baca Juga: Sejarah Pemberontakan PKI 1926, Pelakunya Digantung di Alun-alun Ciamis
Peristiwa pembantaian para Ajengan ini terjadi di Masjid Karanggedang Ciamis. Saat itu para Ajengan sedang berkumpul untuk mendiskusikan sikapnya terhadap lahirnya fenomena gerombolan DI/TII. Namun di tengah diskusi para gerombolan datang dengan anggota bersenjatanya mendatangi para Ajengan.
Tak lama kemudian para gerombolan menculik para Ajengan dari masjid Karanggedang. Setelah beberapa hari menghilang, jasad para Ajengan korban penculikan gerombolan DI/TII ditemukan sudah tak bernyawa dengan bekas sabetan sajam di sekujur tubuhnya. Para Ajengan malang itu tergeletak di pinggiran hutan liar daerah Cigembor.
Akibat peristiwa ini para santri di seluruh pondok pesantren yang ada di Tasik-Ciamis mengamuk. Mereka memberontak pada DI/TII dengan cara bergabung bersama satuan militer Siliwangi untuk menumbangkan si gerombolan. Para santri sakit hati atas gugurnya para Ajengan –guru dari setiap santri yang ada di Ciamis.
Pasukan DI/TII Lari dan Bersembunyi di Hutan-hutan Garut
Ketika gerombolan DI/TII dikecam banyak santri dan terkepung oleh kekuatan militer dari satuan Siliwangi membuat kelompok ekstrimis kanan ini lari ke daerah Timur Ciamis.
Organisasi pimpinan Kartosoewirjo ini bersembunyi di antara kejaran santri dan tentara Siliwangi di hutan-hutan liar daerah Garut.
Baca Juga: Sejarah Pangandaran Pasca Pendudukan Jepang, Pemerintahan Pindah dari Ciamis ke Cilacap
Tentara Siliwangi dan para santri yang mempersenjatai diri menggunakan perkakas sehari-hari sering kontak senjata dengan gerombolan DI/TII di sekitar Garut. Peristiwa ini tergambar dari pernyataan surat kabar Sedar (1949) sebagai berikut:
“Tembakan-tembakan sering terdenger sampe di sisi kota Garoet. Kini kabarnja semoea semak beloekar hoetan-hoetan di pinggir djalan besar antara Leles dan Tarogong (Leweungtiis) ditebang oleh pihak Militer kerna dari tempat semboenjinja itoe biasanja DI/TII menembak”.
Setelah pasukan Siliwangi dan para santri berhasil memukul mundur kekuatan DI/TII di daerah Garut, membuat gerombolan ekstrimis ini lari ke daerah Bandung Selatan. Pada puncaknya mereka bentrok dengan tentara Siliwangi di daerah Majalaya dan Cililin. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)