Pada Sabtu, 21 Januari 1921 surat kabar Otoesan-Hindia bertajuk, “Mogok” mewartakan peristiwa mogok buruh pegadaian di Yogyakarta yang menggemparkan massa di Hindia Belanda.
Mogok buruh tersebut telah berdampak pada penderitaan rakyat. Hal ini karena sebagian besar masyarakat di Yogyakarta telah terdaftar menjadi nasabah pegadaian.Sedangkan ketika mogok itu telah terjadi pemerintah kolonial memberhentikan operasional pegadaian.
Penderitaan para nasabah setia pegadaian zaman kolonial tak berhenti sampai situ saja. Mereka bahkan telah kehilangan harta benda yang digadaikan, sebab ternyata oknum buruh pegadaian telah melelang harta benda milik nasabah untuk menjadi modal aksi mogok.
Baca Juga: Sejarah Pengangguran Zaman Hindia Belanda dan Praktik Kolusi Anak Pejabat
Hal ini mengundang banyak keritikan, terutama dari kelompok anti mogok. Antara lain kritikan itu berasal dari redaksi suratkabar Belanda seperti, Nieuws van den Dag, Javabode, dan Bat. Handelsblad.
Para redaksi surat kabar terkemuka milik Belanda mengkritik aksi mogok buruh pegadaian dengan umpatan-umpatan bernada sinis sebagaimana pernyataan yang dimuat dalam Otoesan-Hindia (1921) berikut ini:
“Makin kita pikirkan perboeatannja itoe orang-orang mogok, makin maoe kita seroekan pada pemerentah: djatoehkanlah angkau poenja tangan jang berkoeasa, begitoe berat sebisanja itoe sekalian bedebah”.
Buruh Menjual Barang Pegadaian untuk Melakukan Mogok
Para pemimpin mogok (Volkslieder) buruh pegadaian di Yogyakarta tahun 1921, diketahui telah menjual barang-barang pegadaian milik nasabah untuk menjadi modal aksi mereka menekan pemerintah supaya memperbaiki nasib dengan kenaikan upah.
Fenomena menjual barang pegadaian milik nasabah ini termuat jelas dalam penyataan surat kabar Otoesan-Hindia (1921) sebagai berikut:
“Ia memang mesti kedjakan itoe, jaitoe bawa barang-barang gadaian jang maoe dilelang ketempat lelang, dan ini penjangkalan dienst setjara tidak patoet oleh Inl. Pandhuis Bond dan boeat kebanjakan lindnja diambil sebab tjoekoep boeat mogok!“
Atas kejadian yang keterlaluan ini para redaksi surat kabar Belanda menekan agar pemerintah kolonial memberikan hukuman berat pada volksleider (pemimpin) mogok.
Mereka telah merugikan nasabah: kehilangan barang berharga. Perbuatan ini tidak berbeda seperti tindakan maling dan perampokan.
Namun sampai mogok buruh gadai 1921 di Yogyakarta selesai, para nasabah tidak diberikan kejelasan ganti rugi.
Pemerintah kolonial angkat tangan tidak mau bertanggung jawab mengganti barang nasabah pegadaian yang hilang. Sebab hilangnya harta nasabah dilakukan oleh bangsa mereka sendiri, bangsa pribumi: Inlanders.
Mogok Buruh Pegadaian Tahun 1921 Memperburuk Kemiskinan
Peristiwa mogok buruh pegadaian tahun 1921 telah memperburuk kemiskinan di kalangan masyarakat Yogyakarta.
Hal ini terjadi karena masyarakat kesulitan mencari dana pinjaman untuk modal usaha: beli benih padi, dagang, dan seterusnya. Pemerintah kolonial telah menutup pegadaian pasca kerusuhan itu terjadi.
Baca Juga: Kisah Tjipto Mangoenkoesoemo Berantas Wabah Pes di Malang Tahun 1910
Kesulitan mendapatkan dana pinjaman modal membuat sebagian masyarakat di Yogyakarta jatuh miskin. Mereka sulit mendapatkan penghidupan karena tidak memiliki modal untuk memulai usaha pasca musim panen tiba.
Biasanya orang-orang akan menggadaikan barang berharga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Setelah panen atau punya rejeki lebih harta benda mereka akan ditebus sesuai dengan nilai yang ditentukan oleh pegadaian.
Sebelum adanya peristiwa mogok, pegadaian mereka gunakan sebagai media tambal sulam kehidupan.
Pernyataan berikut sebagaimana mengutip pendapat redaktur surat kabar Oetoesan-Hindia (1921) di bawah ini:
“Keadaan roemah tangganja kita poenja orang ketjil ada sebegitoe roepa hingga saban kali bisa gadaikan barangnja dan diteboesnja kembali. Kalau tidak begitoe dia orang ditimpah sengsara. Pegadaian jadi alat mereka menambal sulam kehidupan rumah tangga”.
Mogok yang Salah Sasaran
Menurut hoofdredactie Otoesan-Hindia (H.O.S. Tjokroaminito), mogok buruh pegadaian yang meletus di Yogyakarta tahun 1921 merupakan pemberontakan buruh yang gagal dan salah sasaran.
Niat mereka untuk menekan pemerintah kolonial: menuntut kesejahteraan rakyat justru berbalik menjadi faktor yang menimbulkan kemiskinan rakyat.
Sebab mogok buruh tersebut telah merugikan rakyat banyak, sedangkan dampaknya pada pemerintah kolonial tak begitu berarti sama sekali.
Baca Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Gencatan Senjata saat Bulan Ramadhan
Pendapat ini dinyatakan langsung oleh H.O.S. Tjokroaminoto dalam surat kabar Otoesan-Hindia (1921) sebagai berikut:
“Siapa jang paling banjak mendapat soesah kalau pegadaian ditotoep? Tjoema orang ketjil, boekan gouverment (pemerintah). Ini perkara jang begitoe gampang diliat, soedah tentoe kembali soedah tidak dapat dilihat oleh itoe segala Volksleider (pemimpin mogok) jang mentah mateng”.
Walaupun begitu H.O.S. Tjokroaminoto mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak terpengaruh dengan hasutan Volksleider. Mereka sengaja membuat rakyat menderita supaya terlibat dalam aksi mogok.
Sekali lagi H.O.S. Tjokroaminoto telah berpendapat bahwa mogok buruh pegadaian di Yogyakarta tahun 1921 itu gagal. Tidak jelas arahnya dan kurang mendapat dukungan massa. Akibatnya fatal dan bisa menambah kesengsaraan rakyat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)