Belanda wajibkan siswa belajar sejarah Jawa pada tahun 1921. Hal itu rupanya merupakan bagian dari politik etis atau politik balas budi.
Pada tanggal 17 sampai dengan 18 Juni 1921, Java Instituut (Lembaga kebudayaan Jawa zaman Kolonial) mengadakan kongres pengajaran terkait penentuan kurikulum mata pelajaran sejarah dalam sistem pendidikan di Hindia Belanda.
Menurut hasil kongres tersebut mata pelajaran sejarah harus menjadi mata pelajaran wajib untuk seluruh sekolah yang ada di Hindia Belanda (khususnya sekolah yang ada di Jawa).
Kongres ini menekankan agar para guru senantiasa memberikan pelajaran sejarah Jawa yang terbebas dari pengaruh gaya tulisan Belanda.
Baca Juga: Mogok Buruh Pegadaian 1921: Pegadaian Ditutup, Rakyat Menderita
Seluruh siswa terutama dari golongan bumiputra wajib menguasai sejarah Jawa. Sebab dari penguasaan materi demikian nantinya mereka bisa berkembang menjadi bangsa yang besar.
Bangsa yang melek literasi dan berwawasan luas. Tentu ini merupakan modal utama untuk rakyat bumiputera menjadi bangsa yang maju.
Adapun dalam persetujuan kongres yang digelar oleh Java Instituut, pemberian mata pelajaran sejarah baru aktif diberikan pada siswa kelas dua. Setara dengan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ini.
Sejarah Belanda Wajibkan Siswa Belajar Sejarah Jawa Tahun 1921, Menciptakan Bangsa Berbudi Luhur
Menurut surat kabar Otoesan-Hindia yang terbit pada hari Kamis, 12 Januari 1922 bertajuk, “Java Instituut: Motie Congres Tentang Pengadjaran Sedjarah”, kurikulum pelajaran sejarah tahun 1921 secara tidak langsung telah mendukung lahirnya penciptaan bangsa yang berbudi luhur.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip rumusan dari hasil kongres Java Instituut (1921) yang dimuat oleh suratkabar Oetoesan-Hindia (1922) sebagai berikut: “dalam pengadjaran sedjarah itoe hendaklah diperhatikan djoega sedjarah cultuur (kehaloesan adat dan kepandaian bangsa Djawa agar poenja sikap dan boedi jang loehoer”.
Dari pernyataan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa sejak zaman kolonial pelajaran sejarah dianggap sebagai muatan ajar yang berkualitas.
Baca Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Gencatan Senjata saat Bulan Ramadhan
Pelajaran yang menentukan arah kemajuan suatu bangsa. Sebab bangsa Barat (Belanda) percaya jika sejarah bisa membantu siswa (berbagai golongan) melek literasi dan luas pengetahuan.
Maka dari itu sejarah menjadi penting untuk pembangunan rakyat jajahan. Paling tidak pemerintah kolonial bisa mengamalkan sumpah politik etis: pemberian edukasi kepada rakyat bumiputera.
Dengan begitu penderitaan rakyat bumiputera akan sedikit terobati karena diberikan jalan mendapat pengetahuan yang memajukan.
Kebijakan Kurikulum Sejarah Tahun 1921: Meneliti Kembali Sejarah Jawa
Kongres Java Instituut yang membicarakan kurikulum pelajaran sejarah tahun 1921 juga menyinggung soal sikap skeptisisme (keragu-raguan) akan sejarah Jawa saat itu.
Menurut kongres tersebut karya sejarah maha besar tentang Jawa karangan Raffles patut ditelusuri lebih jauh kembali. Maka dari itu mereka mengusulkan meneliti ulang sejarah Jawa.
Artinya semangat untuk menggempur tulisan-tulisan sejarah bersifat Nerlandosentrisme itu sudah ada sejak tahun 1921.
Sebab usulan meneliti ulang sejarah Jawa merupakan bagian dari dekonstruksi sejarah yang telah ada sebelumnya. Dan sejarah itu ditulis oleh para pujangga Belanda.
Adapun semangat untuk meneliti ulang sejarah Jawa tertera dalam kutipan suratkabar Oetoesan-Hindia (1921) sebagai berikut: “Bersama-sama dengan itoe sedjarah Tanah Djawa itoe perloe sekali diselidiki benar-benar. Serta pemerintah dalam hal itoe hendaknja menoendjang dengan segala daja oepaja”.
Baca Juga: Kisah Tjipto Mangoenkoesoemo Berantas Wabah Pes di Malang Tahun 1910
Hasil penelitian ulang sejarah Jawa nantinya akan menjadi pondasi utama pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) bagi orang Jawa. Maka dari itu sejarah Jawa harus ditulis ulang dengan spirit bumiputera yang menginginkan kemajuan.
Berdasarkan informasi dari surat kabar Otoesan-Hindia (1922) pelopor diadakannya penelitian ulang tentang sejarah Jawa adalah pejabat Java Instituut bernama, P.A.A.P. Prangwedono.
Untuk menjalankan usulan itu ia bahkan mengadakan sayembara penulisan sejarah Jawa. Siapapun boleh ikut terlebih mereka yang sudah berkecimpung dalam dunia kepenulisan sejarah sebelumnya.
Perlombaan Tulisan Sejarah Jawa Tahun 1921
Untuk menentukan dasar-dasar pengajaran sejarah Jawa, pemerintah kolonial menyetujui usulan staf Java Instituut P.A.A.P. Prangwedono untuk menulis ulang sejarah Jawa melalui sayembara: perlombaan tulisan sejarah Jawa tahun 1921 di Yogyakarta.
Tempat sayembara penulisan sejarah tidak lain adalah Java Instituut atau sekarang Museum Negeri Sonobudoyo, DIY.
Harapannya hasil perlombaan penulisan sejarah yang diadakan oleh Java Instituut bisa memproduksi satu buku tentang sejarah Jawa yang baru.
Buku itu nantinya akan menjadi buku pegangan anak-anak di sekolah dalam mempelajari sejarah Jawa. Pernyataan tersebut sebagaimana mengutip suratkabar Otoesan Hindia (1922) berikut:
“Java Instituut mengatakan soeatoe perlombaan karangan (Sejarah Jawa) boeat memperoleh boekoe-boekoe pemimpin dan boekoe pengadjaran ilmoe sedjarah tanah Djawa, oentoek sekollah-sekolah anak negeri di Tanah Djawa”.
Dalam peraturan sayembara, lomba penulisan sejarah tersebut meliputi berbagai kalangan dari berbagai daerah, antara lain diperbolehkan dari: Orang Belanda, Djawa, Soenda, dan Madoera. Atau siapapun yang lahir di Hindia Belanda dengan tidak memandang perbedaan kebangsaan.
Nantinya seluruh karangan yang terkumpul akan diseleksi ketat oleh juri dari Java Instituut. Bagi mereka yang lolos seleksi akan menjadi tulisan yang termuat dalam sebuah buku besar bertema sejarah Jawa.
Buku tersebut akan menjadi buku sejarah wajib untuk murid-murid kelas 2 di beberapa sekolah seperti, HIS, OSVIA, dan Kweekschool. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)