Karesidenan Pekalongan pada zaman revolusi pernah dipimpin seorang ulama berpengaruh. Karesidenan Pekalongan sendiri adalah wilayah administratif daerah Jawa bagian utara yang terbentuk pada zaman revolusi sekitar tahun 1906.
Wilayah Karesidenan Pekalongan meliputi 5 daerah kabupaten dan 2 kota yang terdiri dari (1) Kota Pekalongan, (2) Kota Tegal, (3) Kabupaten Pekalongan, (4) Kabupaten Tegal, (5) Kabupaten Brebes, (6) Kabupaten Pemalang, dan (7) Kabupaten Batang.
Pada zaman revolusi kemerdekaan tahun 1945-1949, Karesidenan Pekalongan mengalami kemunduran birokrasi. Belanda berhasil memecah struktur pemerintahan Karesidenan dengan cara melumpuhkan daerah-daerah milik Karesidenan Pekalongan dengan aksi sabotase.
Peristiwa ini membuat Karesidenan Pekalongan kemudian membentuk pemerintahan darurat. Tujuannya agar wilayah milik Karesidenan Pekalongan tidak tercerai berai, pemerintahan darurat berfungsi mempersatukan kekuatan rakyat di Pekalongan supaya bisa menguasai kembali pusat pemerintah Karesidenan.
Menariknya, para petinggi Karesidenan Pekalongan membuat suntikan stamina pada para pejuang republik di Pekalongan dengan mengangkat Ulama sebagai Residen (Pemimpin Kota Pekalongan).
Baca Juga: Sejarah Kabinet Djuanda 1957, ketika Dewan Menteri Berisi Para Ahli
Konon bagi masyarakat Pekalongan Ulama merupakan sosok yang identik dengan juru selamat (Ratu Adil). Kepercayaan tersebut sangat berpengaruh terhadap perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Karesidenan Pekalongan Zaman Revolusi Membentuk Pemerintahan Darurat
Pada Tahun 1947 para pejuang republik di Pekalongan bersusah payah melawan Belanda di daerah Lolong, Kabupaten Pekalongan.
Mereka kontak senjata dengan Belanda namun karena persediaan amunisi yang terbatas Belanda berhasil memukul mundur para pejuang republik.
Adapun yang menjadi pemimpin dari serangan pejuang republik terhadap Belanda di hutan Lolong bernama Slamet Sukadio. Ia gagal menahan Belanda agar tidak masuk ke jantung kota Pekalongan. Akibatnya militer Belanda berhasil menduduki Karesidenan Pekalongan.
Namun sebelum tentara Belanda memasuki wilayah Karesidenan, seluruh pejabat Republik di Karesidenan Pekalongan berhasil mengamankan beberapa dokumen penting kenegaraan. Mereka membubarkan diri dan mengosongkan Karesidenan serta menyuruh penduduk Pekalongan mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya korban jiwa akibat kontak senjata antara republieken dan tentara Belanda. Seluruh masyarakat di Pekalongan mengungsi ke daerah Lebak Barang.
Tempat ini dipilih jadi area pengungsian karena sebagian besar wilayah dikelilingi hutan dan perbukitan, sehingga aman untuk menghindari kejaran musuh.
Sebagai ganti dari pemerintahan pusat Pekalongan yang telah membubarkan diri, untuk melanjutkan pemerintahan Karesidenan maka para pejabat Republik di Pekalongan menginisiasi pembentukan pemerintahan darurat. Seluruh masyarakat harus mendukung pembentukan pemerintahan tersebut secara serentak.
Pembentukan pemerintahan darurat ini dilakukan di tempat pengungsian, di hutan daerah Lebak Barang. Harapan pembentukan badan tersebut tidak lain agar bisa menjadi pusat birokrasi sementara daerah Pekalongan.
Baca Juga: Peristiwa Linggasirna Tasikmalaya 1963, Lurah Singaparna Terlibat Pemerasan dan Pembunuhan
Tugasnya memberikan arahan kepada para pejuang untuk membantu pemerintah pusat dalam memperoleh kedaulatan.
Karesidenan Pekalongan Dipimpin Ulama Berpengaruh
Menurut Abdurrachman Suryomihardjo dalam tulisannya yang terbit di Majalah Prisma, No. 8 tahun 1961 berjudul, “Peristiwa Tiga Daerah Suatu Interpretasi Sedjarah: Revolusi Sosial Menyambut Proklamasi Kemerdekaan”, Karesidenan Pekalongan dalam bentuk pemerintahan pusat dipimpin oleh seorang Ulama berpengaruh bernama, Wali Al-Fatah.
Penunjukan Wali Al-Fatah sebagai residen Pekalongan dalam struktur pemerintahan darurat tak lepas dari sosok ulama yang sering direpresentasikan sebagai juru selamat, atau orang Jawa menyebutnya dengan istilah Ratu Adil.
Seluruh perkataan sang Ratu Adil biasanya akan dituruti oleh rakyat, hal ini terjadi pada Wali Al-Fatah.
Seorang Residen dari golongan Ulama ini merupakan salah satu pemimpin di Pekalongan yang paling dicintai oleh rakyatnya.
Kecintaan rakyat pada pemimpinnya tercermin dari ketaatan rakyat Pekalongan terhadap himbauan Wali Al-Fatah yang menyerukan dukungan pada pemerintah republik yang dipimpin oleh Sukarno-Hatta.
Rakyat Pekalongan bahkan rela berkorban nyawa untuk menjaga kedaulatan pemerintah darurat Wali Al-Fatah. Seluruh rakyat dibawah pimpinan Wali Al-Fatah menjadi pejuang republik yang loyal, mereka saling membantu dan bergotong royong dengan tentara Indonesia untuk memukul mundur kekuatan Belanda di Kota Pekalongan.
Karena memiliki dampak yang baik bagi pemerintahan, pola penunjukan pemimpin dari kalangan Ulama seperti yang terjadi di Karesidenan Pekalongan dicontoh oleh beberapa daerah seperti, Kabupaten Brebes (Bupati Ulama: Kyai Haji Syator’i) dan Kabupaten Tegal (Bupati Ulama: Kyai Haji Abu Suj’ai).
Baca Juga: Mengenang Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Wanita Keturunan Menak Sunda Revolusioner
Ulama Jadi Benteng Pertahanan Karesidenan Pekalongan
Ulama menjadi benteng pertahanan bagi pemerintahan darurat Karesidenan Pekalongan. Rakyat Pekalongan menjadi berani melakukan apa saja demi mendengarkan kata-kata sang pemuka agama.
Mereka rela korban nyawa apabila memang takdir Tuhan menyatakannya harus gugur di medan pertempuran saat menghadapi tentara Belanda.
Karena pemimpinnya dari seorang Ulama berpengaruh, seluruh rakyat Pekalongan Kota dan Kabupaten berdatangan. Mereka datang dengan jiwa yang semangat untuk menjalankan perintah Wali Al-Fatah. Semua itu mereka lakukan semata-mata untuk mempertahankan kedaulatan Karesidenan.
Maka dari itu Wali Al-Fatah yang jadi pemimpin Karesidenan Pekalongan menjadi mudah untuk memerintah rakyat memperjuangkan kedaulatan negara.
Akibat keberanian ini membuat mental tentara Belanda menciut. Mereka khawatir kalah karena lawan yang dihadapinya berasal dari pasukan berani mati.
Tentara Belanda takut pada pejuang kemerdekaan di Pekalongan. Mereka telah membuat sebagian pasukan Belanda menjadi korban. Keberhasilan tersebut membuat Belanda terpukul mundur dari daerah Karesidenan.
Belakangan baru diketahui hampir seluruh gerilyawan yang berjuang memerangi tentara Belanda ternyata berasal dari golongan santri.
Kekuatan para santri di Pekalongan sukses membantu perjuangan kaum republieken dalam memperoleh hak kemerdekaannya dari Belanda yaitu, pada tanggal 27 Desember 1949. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)