Pada tahun 1920-an di Surabaya terdapat satu musim bernama Tetamoe Malem. Musim Tetamoe Malem merupakan istilah umum masyarakat Surabaya menggambarkan ketegangan mereka menghadapi maling tak kasat mata.
Konon Tetamoe Malem dipercaya sebagai komplotan maling yang sakti. Tapi ada pula sebagian masyarakat yang mempercayai Tetamoe Malem adalah pekerjaan tuyul. Mereka sengaja dipelihara oleh seseorang untuk merampok harta demi kekayaannya.
Pada puncak kegemparan peristiwa ini terjadi tatkala semalam di waktu yang sama, ada belasan warga yang kehilangan harta. Tiba-tiba emas, berlian, dan uang hilang, padahal sama sekali tak ada bekas jejak manusia yang mengambil.
Baca Juga: Penangkapan Si Pitung Tahun 1893, Jawara Betawi Kontroversial
Saking ramainya peristiwa ini, sampai-sampai pemerintah kolonial terlibat mencari siapa pelaku kejahatan tersebut. Namun sampai dilakukan pengamanan yang ketat, tetap maling tak tertangkap. Kekecewaan ini berakhir pada pemanggilan dukun, menerawang siapa pelaku sebenarnya.
Tetamoe Malem Istilah Terkenal Sebutan Maling Tak Kasat Mata di Surabaya
Menurut suratkabar Sin-Jit-Po yang terbit pada hari Jum’at, 9 April 1926 bertajuk, “Tetamoe Malem”, para pelaku maling sakti berjuluk Tetamoe Malem di Surabaya telah merugikan belasan warga di Kampung Donokerto, Kaliondo, Jawa Timur.
Salah seorang korban perampokan maling tak kasat mata ini adalah orang Hokkian (Tionghoa) bernama, Liem Le. Ia merupakan seorang pedagang kretek. Konon selain uang dan emas kretek mahal juga ikut ludes digondol maling misterius.
Pernyataan Liem Le tentang peristiwa itu termuat dalam Sin-Jit-Po (1926) sebagaimana berikut ini:
“Serenta ia masoek dan preksa ia poenja barang djoealan ternjata disana itoe Tetamoe soedah gondola barang-barang seperti; 36 pak tembako warning, 3 blik besar sigaret double ace, 20 pak sigaret Westminster, oewang contant dari latjinya medja dasar f. 10. 16 stel djas, celana, doewa ondjie dan lain sebagainja”.
Baca Juga: Sejarah Pabrik Gula Modjopanggung, Dipimpin Tokoh Emansipasi Wanita Belanda
Setelah peristiwa ini terjadi, warga di kampung Donokerto melakukan aktivitas ronda rutin. Mereka keliling malam, berjaga-jaga menghindari terjadinya kejadian yang sama menjadi korban Tetamoe Malem.
Namun upaya ini selalu gagal dan sia-sia. Sebab pada akhirnya para Tetamoe Malem di Surabaya ini selalu bebas keluar masuk pintu rumah orang-orang berduit menggasak seluruh hartanya sampai tak tersisa.
Pemerintah Kolonial Mengerahkan Opas Tangkap Tetamoe Malem
Demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kolonial, penangkapan pelaku Tetamoe Malem dilakukan dengan mengirim 1 kompi opas untuk beroperasi menjaga kampung Donokerto.
Opas-opas Belanda bersenjata lengkap berjaga hampir di setiap sudut kampung. Mereka melakukan ronda keliling bersama masyarakat. Sampai subuh tiba baru operasi ronda selesai. Kegiatan ini mereka lakukan setiap malam tanpa henti.
Namun hasilnya belum memuaskan. Tetap saja ada yang jadi korban kemalingan. Hal ini tentu membuat geram pemerintah, mereka merasa dipecundangi oleh si maling. Sebab penjagaan ketat yang terstandarisasi tetap bisa ditembus oleh si pelaku Tetamoe Malem.
Emosi pemerintah kolonial semakin memuncak pada aksi maling tak kasat mata tersebut. Peristiwa ini terjadi setelah komandan opas bernama Darsiman menjadi salah satu korbannya.
Kejadian ini sebagaimana yang tergambar dalam kutipan surat kabar Sin-Jit-Po (1926) sebagai berikut:
“keroegian opas Darsiman jang terletak di Tj. Perak, itoe Tetamoe Malem soeda gondola Darsiman punja Hoorioge perak pake rante nickel dan satoe maenan oewang mas sama sekali harga f. 49. 60. Tak teroengkap!”
Baca Juga: Sejarah Pajak Peneng, Pajak Sepeda Warisan Kolonial Belanda
Memanggil Dukun, Cara Mengetahui Pelaku Tetamoe Malem
Karena kesal tak bisa mendapatkan siapa pelaku Tetamoe Malem, pemerintah kolonial yang bersinergi dengan warga di kampung Donokerto Surabaya memanggil dukun untuk mengetahui misteri siapakah maling tak kasat mata ini.
Menurut penerawangan sang dukun, pelaku Tetamoe Malem yang sering bolak-balik menggasak harta masyarakat di Jawa Timur adalah makhluk gaib tak terlihat berbentuk tuyul.
Mereka ditugaskan oleh seorang majikan yang berasal dari luar Jawa. Entah siapa pelakunya si dukun masih meraba-raba. Konon kekuataan si pemilik makhluk gaib ini begitu tinggi sehingga perlu melawannya dengan konsentrasi yang tinggi pula.
Walaupun demikian si dukun sakti memberi semacam jampi-jampi untuk memagari rumah dari serangan kembali Tetamoe Malem.
Selain itu si dukun itu juga memberikan wejangan dan beberapa perintah menyediakan sesaji termasuk menaruh yuyu (kepiting sungai yang kecil) di depan gerbang rumah.
Konon ini bisa mencegah tuyul masuk ke rumah dan mengambil harta orang tersebut. Si maling tak kasat mata ini akan betah memainkan yuyu hingga waktunya habis dan kembali ke si majikan tanpa membawa harta berharga.
Itulah kejadian misterius maling tak kasat mata di Surabaya, Jawa Timur yang terkenal dengan istilah Tetamoe Malem pada tahun 1926. Ternyata mitos-mitos tentang maling gaib (tuyul) sudah ada sejak dulu. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)