Sejarah Supersemar merupakan singkatan yang bermakna “Surat Perintah 11 Maret 1966”. Supersemar ditengarai sebagai penanda beralihnya masa kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru.
Sukarno adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan surat tersebut. Ia menyerahkan Supersemar kepada Pangkopkamtib, Letnan Jenderal Soeharto.
Adapun isi dari surat tersebut adalah mandat Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Revolusi Indonesia pada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Letjen. Soeharto agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk meredam kerusuhan.
Ini berarti Sukarno menunjuk Soeharto sebagai orang yang bertanggung jawab mengamankan situasi dan kondisi Jakarta pasca terjadinya peristiwa G30S tahun 1965.
Kala itu Soeharto diamanati Supersemar oleh Sukarno karena kedudukannya sebagai Pangkopkamtib. Maka dari itu kerja-kerja mobilisasi, kontrol, dan pengamanan sosial merupakan tugas utama, relevan dengan butir-butir perintah dalam Supersemar.
Kendati begitu, nampaknya Letnan Jenderal Soeharto tak begitu paham dengan arti pemberian mandat oleh Sukarno melalui Supersemar. Sebab beberapa kelompok pro Soeharto menafsirkan Supersemar sebagai surat penanda beralihnya kekuasaan Sukarno dari Orde Lama ke Orde Baru.
Baca Juga: Asal-usul Jalan Margonda Depok dan Pahlawan yang Mati Muda
Kontroversi Sejarah Supersemar Tahun 1966
Menindaklanjuti kekeliruan tafsir akan Supersemar yang dilakukan oleh kelompok pro-Soeharto nampaknya mendukung lahirnya sejarah yang kontroversial.
Hal ini terlihat dari adanya teks Supersemar di beberapa instansi negara yang memegang versinya masing-masing.
Supersemar versi Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat, berbeda dengan Supersemar yang ada di Sekretariat Negara, dan Akademi Kebangsaan.
Tiga versi Supersemar itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang bisa jadi perdebatan ulang tentang tafsiran pemindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, sebab bisa jadi terdapat intrik politik di masa itu yang belum selesai dan berusaha menutupi.
Selain kontroversi akibat berbeda satu sama lain, lahirnya Supersemar saat itu juga penuh dengan kisah-kisah tegang yang bersifat intimidatif.
Menurut kesaksian ajudan Sukarno, Lettu. Sukardjo, sebelum terbit Supersemar ada 4 perwira Angkatan Darat terdiri dari; Amir Machmud, Maraden Pangabean, Basuki Rachmat, dan M. Yusuf datang ke Istana dan memaksa Sukarno meneken sebuah surat yang isinya Supersemar.
Bahkan Lettu. Sukardjo juga turut menyaksikan dua perwira yang terdiri dari Maraden Pangabean dan Basuki Rachmat sempat menodongkan pistol pada Sukarno tanda memaksa legalisasi Supersemar.
Setelah peristiwa itu usai Sukarno sempat melerai perdebatan antara Sukardjo dengan empat perwira itu.
Sukarno tak ingin ada konflik internal yang nantinya mengakibatkan kehancuran birokrasi, maka dari itu tidak ada cara lain ataupun perlawanan balik atas todongan pistol tersebut. Sukarno rela menandatangani Supersemar.
Supersemar yang jatuh pada Letnan Jenderal Soeharto ikut membranding namanya menjadi besar.
Soeharto muncul seperti matahari kembar, namun dengan cepat dan sigap menenggelamkan kembarannya itu dengan menetapkan Sukarno sebagai tahanan politik. Pada 7 Maret 1967 melalui Sidang Istimewa MPRS Soeharto dilantik jadi Presiden.
Baca Juga: Konflik Soemitro dan Ali Moertopo, Dua Jenderal yang Saling Sikut
Peristiwa ini merupakan representasi dari istilah bahwa Supersemar adalah surat penanda beralihnya kekusaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Sejarah Tritura, Cikal Bakal Kelahiran Supersemar Tahun 1966
Menurut Riyadi Gunawan, dkk dalam buku berjudul, “Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966” (1986), Tritura atau singkatan dari tiga tuntutan rakyat merupakan faktor utama lahirnya Supersemar pada 11 Maret 1966 di Jakarta.
Kelahiran Supersemar itu tak terlepas dari isi Tritura yang terdiri dari; (1) tuntutan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), (2) tuntutan membersihkan kabinet Dwikora dari unsur tokoh terlibat G30S 1965, dan (3) tuntutan perbaikan ekonomi negara –menurunkan harga kebutuhan pokok.
Namun sebelum Tritura ini terjadi, sejak tanggal 10 Januari, Mahasiswa dan rakyat anti Sukarno telah mengadakan aksi turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta.
Huru-hara Mahasiswa dan massa sipil yang membenci Sukarno memadati beberapa titik penting Jakarta seperti di jalan utama Cikini, Diponegoro, Hayam Wuruk, dan Gadjah Mada.
Demontrasi dan Kerusuhan
Demonstrasi diwarnai berbagai kerusuhan massa yang merugikan. Salah satunya mengganggu ketertiban warga sipil dengan melakukan aksi pengempisan ban-ban kendaraan; mobil, motor, dan sepeda motor.
Mereka juga memblokade jalan dan mengimbau pada pelaku usaha angkutan umum untuk meniadakan trayekannya terlebih dahulu. Akibatnya banyak pegawai pemerintah terpaksa meliburkan diri karena sulit mencari tumpangan ke kantor.
Demo terjadi hampir setiap saat. Pada puncaknya jatuh pada tanggal 11 Maret 1966. Jakarta semakin tegang bahkan Sukarno pun ikut panik karena ia mensinyalir Istana Merdeka sudah terkepung oleh massa yang rusuh.
Apalagi ada beberapa kelompok angkatan tak berseragam datang dari arah Glodok menuju jalan Medan Merdeka, tempat Istana Kepresidenan RI.
Dari peristiwa ini Sukarno kemudian mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto yang kala itu tidak hadir di Istana karena sedang sakit.
Sukarno memerintahkan Soeharto supaya mengamankan keadaan demonstrasi, namun Soeharto menafsirkan lain.
Entah karena tidak ikut serta dalam rapat kabinet membuat Soeharto gagal fokus, atau karena sesuatu lain yang menyebabkannya terlalu tampil percaya diri.
Sebab pada kenyataannya Soeharto meyakini Supersemar adalah surat pemindahan kekuasaan dari Sukarno kepadanya atau dengan perkataan lain tanda beralihnya Orde Lama ke Orde Baru.
Baca Juga: Sejarah Petisi 50, Kala Para Jenderal Gugat Filsafat Pancasila Versi Suharto
Sukarno Menuntut Kerja Keras Kabinet
Sebelum meneken Supersemar, Sukarno terlebih dahulu menuntut Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan agar bekerja lebih keras dan ketat.
Terlebih saat sedang menghadapi situasi tegang saat itu, himbauan ini berlaku agar birokrasi semakin baik, dan huru-hara menjinak.
Sukarno juga mengimbau agar para menteri yang punya musuh agar tinggalkan saja dan tempuh jalan damai. Saling bekerjasama satu sama lainnya agar nuansa kerja Kabinet Dwikora semakin solid dan memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia.
Pernyataan itu sebagaimana mengutip pidato Sukarno dalam Sidang Kabinet Dwikora di Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 sebagai berikut:
“Saja menghendaki kekompakan seluruh menteri-menteri anggota Kabinet Dwikora jang disempurnakan sebagai pembantu-pembantu saya. Merupakan kabinet jang betul-betul mengikuti pimpinan saja sebagai Presiden, Perdana Menteri, Panti (Panglima Tertinggi), Pemimpin Besar Revolusi, dan semuanja itu harus berdiri di atas ajaran-ajaran saja”.
Sukarno terang-terangan menyampaikan pendapatnya akan memberhentikan menterinya yang kontra dengan kebijakan Dwikora.
Namun rapat itu tak sampai selesai, ajudan keamanan Sukarno melihat ada unidentified force –pasukan tak berseragam yang mengancam nyawa sang Presiden. Sukarno bersama Brigjen. Sabur menaiki helikopter dan terbang menuju ke Istana Bogor. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)