Untuk mengetahui gambaran sejarah pengangguran zaman Hindia Belanda kita bisa melongok pada peristiwa sosial tahun 1924.
Saat itu, pengangguran dari kalangan bumiputera membludak. Mendapat pekerjaan tetap merupakan suatu hal yang sulit bagi bumiputera jelata, akan tetapi berbeda dengan teman-temannya yang merupakan anak dari seorang pejabat.
Mereka anak-anak yang lahir dari keluarga golongan elit modern ataupun pegawai pemerintah kolonial akan mudah mendapat pekerjaan. Hal ini telah menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan pemuda bumiputera.
Mereka akhirnya mengkritik habis-habisan praktik kolusi dan nepotisme semacam ini pada pemerintah kolonial.
Baca Juga: Kisah Redaktur Koran Diseret ke Pengadilan karena Pencemaran Nama Baik Tahun 1935 di Batavia
Para pemuda bumiputera mengkritik pemerintah melalui berbagai sarana: corong terbuka, karya seni, jurnal berkala, dan surat kabar.
Mereka menulis artikel yang menyudutkan pemerintah telah kacau menjalankan roda birokrasi: mewariskan tradisi buruk zaman feodal.
Menurut kaum bumiputera jika praktik kolusi semacam ini masih terus terjadi di tanah Hindia, maka lambat laun birokrasi kolonial akan hancur.
Sebab praktik kolusi merupakan visualisasi nyata dari kebobrokan pemerintah yang dapat mengancam stabilitas sosial-masyarakat.
Sejarah Pengangguran Zaman Hindia Belanda dan Kekecewaan Rakyat Biasa yang Sulit Bekerja
Surat kabar Mardi Oetomo yang terbit pada bulan Januari 1923 bertajuk, “Nasib jang Malang: Korban Beziniging”, menarasikan bagaimana sejarah sosial saat itu menyoroti kekecewaan rakyat biasa yang sulit mencari pekerjaan.
Mereka kecewa dengan kebijakan pemerintah kolonial yang tak konsisten. Praktik kolusi dan nepotisme yang sering terjadi dalam dunia kerja saat itu telah menimbulkan fenomena pengangguran yang membludak.
Penyebab utamanya yaitu karena banyak orang tua bumiputera (rakyat biasa) yang menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Mereka berharap supaya sang anak bisa memiliki nasib yang lebih bagus dari padanya. Namun harapan ini sia-sia belaka. Sebab untuk masuk jadi pegawai kolonial harus punya relasi yang kuat dan loyal.
Kekecewaan ini tergambar jelas melalui kutipan surat kabar Mardi Oetomo (1923) sebagai berikut: “keluarga dirumah menantikan hasil belajar sang anak. Ketika belum dapat kerja mereka hanja bisa katakan Sabar. Si iboe papa menantikannja sambil terpekoer-pekoer bilamanakah ia diangkat bekerja. Tapi apakah itu berlakoe untuk rakjat biasa?”
Kendati ada anak bumiputera yang pintar dan terampil menguasai pekerjaan, tetap saja akan kalah oleh anak-anak para Sentana dan pegawai negeri kolonial. Praktik kolusi ini mewarnai sejarah pengangguran di Hindia Belanda, bahkan sampai Indonesia merdeka.
Baca Juga: Toean Ch G Cramer, Pejabat Kolonial yang Kirim Pengangguran dari Belanda ke Jawa
Kisah Pilu Anak Bumiputera yang Dipecat dari Pegawai Negeri
Selain menarasikan bagaimana sulitnya anak-anak bumiputera mendapatkan pekerjaan tetap, surat kabar Mardi Oetomo (1923) menceritakan kisah pilu mereka yang sempat sukses jadi pegawai negeri namun dipecat oleh atasannya untuk diganti dengan anak-anak para Sentana.
Peristiwa ini sebagaimana tergambar dalam narasi Mardi Oetomo (1923) berikut ini, “Hs –nama jg disamarkan, pada 1 Januari 1923 aken dilepas dengen hormat dari pekerdjaanja sebagai pegawe negeri. Setelah si Hs membatja soerat tsb, hampir2 ribah badanja karena sangat piloenja memikirken nasib jg malang ini. Sambil bertanja ia dalem hatinja: maoe kemana koe ini?”
Tak lama setelah pemecatan itu terjadi Hs memilih menjadi kuli. Ia bekerja keras untuk menghidupi keluarga dari keringat yang deras.
Padahal Hs adalah anak bumiputera yang lulus diploma. Namun sertifikasi pendidikan itu tampaknya tidak berguna lagi. Sebab pemerintah kolonial hanya menerima anak Sentana walaupun tak punya prestasi.
Dari peristiwa ini kita jadi tahu ternyata praktik kolusi dan nepotisme dalam mencari kerja sudah terjadi sejak zaman kolonial. Lantas bagaimana dengan hari ini? Nampaknya praktik itu masih kerap terjadi di berbagai instansi, apakah itu bagian dari warisan kolonial?
Indonesia belum sepenuhnya merdeka, apabila praktik kolusi dan nepotisme dalam pekerjaan masih kentara, sudah jelas jika Indonesia masih berada dalam belenggu kolonial. Merdeka kita adalah “Merdeka yang Tendensius”.
Bumiputera Memberi Solusi Meminimalisir Pengangguran
Melihat peristiwa pilu yang menimpa Hs, maka kaum bumiputera menghimpun rakyat biasa yang pernah mengenyam pendidikan tinggi untuk sama-sama merancang solusi guna meminimalisir pengangguran di Hindia Belanda.
Baca Juga: Sejarah Gedung Jasindo Kota Tua, Warisan Kolonial Belanda
Sebagaimana kritik pada awal penyampaian aspirasi bumiputera, solusi yang mereka tawarkan juga mengudara di suratkabar-suratkabar nasional. Adapun solusi mereka untuk meminimalisir pengangguran sebagaimana mengutip Mardi Oetomo (1923) sebagai berikut:
“Pertama adalah menghemat anggaran belandja negara. Kami bermoehon kepada pemerentah Agoeng bahwa kami ada pikiran begini –oempama Gouvernement hendak menghematken oeang sebegitoe banjak, maka djangan mengoerangi orangnja tapi mengoerangi lah belandjanja”.
Selain itu para pemuda bumiputera juga menyarankan agar pemerintah kolonial mengurangi gaji para pegawai negeri untuk membuka lowongan kerja baru. Dengan begitu para pegawai negeri akan mengalami peningkatan jumlah anggota.
Terakhir adalah menggunakan sistem pensiun berdasarkan patokan umur. Kurang lebih jika umur si pegawai sudah mencapai 50 tahun maka pemerintah wajib memberikan pensiun (stop kerja –saatnya menikmati hari tua). Gunanya tidak lain untuk menciptakan regenerasi pegawai.
Dengan demikian para pemuda bumiputera optimis bisa meminimalisir pengangguran yang membludak pada tahun 1922-1924. Kemiskinan akan hilang dan kesejahteraan bersama akan terbit. Semua ini bisa terjadi apabila saran-saran tersebut pemerintah ikuti. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)