Dalam catatan sejarah kolonial, pajak peneng pernah berlaku di kawasan Hindia Belanda. Pajak peneng ini merupakan pajak kendaraan tanpa mesin alias sepeda. Biasanya pemerintah kolonial Belanda melakukan pemeriksaan pajak peneng.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah kegiatan razia kelengkapan surat-surat pengguna sepeda yang ada sejak zaman kolonial Belanda.
Biasanya para petugas pemeriksaan pajak peneng adalah polisi bagian lalu lintas. Sanksinya kurang lebih sama seperti tilang saat ini.
Kebanyakan pemeriksaan pajak peneng untuk pengguna sepeda digelar di beberapa daerah. Terutama daerah perkotaan seperti, Batavia (Jakarta), Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Jombang.
Baca Juga: Ordonnantie Andjing Gila, Kebijakan Kolonial Berantas Rabies Tahun 1927
Kendati demikian bukan berarti razia pemeriksaan pajak peneng tak berlaku di daerah-daerah kecil. Pada kenyataannya para petugas pajak peneng aktif di berbagai daerah kecil juga. Mereka melihat dari data jumlah pengguna sepeda.
Artinya meskipun daerah itu kecil dan terpencil, tetapi jika para penduduknya pengguna aktif sepeda maka pemeriksaan pajak peneng berlaku di daerah tersebut.
Adapun bagi pemilik sepeda yang belum memperpanjang masa pajak peneng, konsekuensinya adalah penahanan sepeda.
Para penunggak pajak peneng harus menyelesaikan dahulu administrasi tunggakannya, setelah selesai baru sepedah yang ditahan di kantor polisi terdekat bisa kembali dibawa pulang ke rumah.
Sejarah Pajak Peneng, Jombang Daerah Penunggak Terbanyak
Menurut surat kabar Soeara Oemoem yang terbit pada hari Kamis, 11 Februari 1937 bertajuk, “Penning Sepedah”, pemerintah kolonial di Jawa Timur mengelompokkan Jombang sebagai daerah penduduk tak taat pajak peneng sepeda.
Penduduk di daerah tersebut padahal masuk dalam kategori masyarakat pengguna aktif sepeda. Bahkan dalam satu keluarga yang memiliki 4 anggota (istri dan anak) bisa memiliki sepeda 5 sampai 6 sepeda.
Tentu ini bisa menimbulkan kerugian bagi pemerintah urusan perpajakan. Akibatnya banyak masyarakat Jombang pemilik sepeda terjaring pemeriksaan pajak peneng.
Bagi mereka yang tidak tertib alias tak membayar pajak peneng sepedanya berbulan-bulan, maka kendaraan roda dua tak bermesinnya itu akan diamankan oleh petugas veldpolitie atau polisi keamanan masyarakat yang juga mengurusi lalu lintas.
Baca Juga: Kisah Tentara Belanda Culik Kuli di Garut Tahun 1949
Surat kabar Soeara Oemoem (1937) menggambarkan suasana pemeriksaan pajak di Jombang sebagai berikut:
“Tanggal 5 boelan ini maka di Djombang moelai diadakan tangkapan penning sepedah. Dari sebab masih banjak mereka jang beloem djoega membeli peneng sepedah. Maka banjaklah orang2 jang haroes meninggalkan sepedahnja di kantor Veldpolitie”.
Karena kebutuhan sepeda saat itu jadi alat transportasi utama masyarakat sehari-hari, lambat laun keterlambatan membayar pajak penduduk di Jombang tersadarkan. Mereka berdatangan ke kantor pajak untuk membeli peneng, setelah itu menjemput sepedanya di kantor polisi terdekat.
Wacana Penggantian Stiker Bukti Telah Bayar Pajak Peneng
Guna menghindari terjadinya kecurangan para pemilik sepeda yang mengaku telah bayar pajak padahal belum, pemerintah kolonial melahirkan solusi penyelesaiannya dengan mewacanakan penggantian bukti bayar pajak peneng dari yang semula stiker kertas menjadi stiker dari plat besi.
Dengan demikian para penunggak pajak yang sering mengimitasi alat bukti pembayaran peneng bisa tercegah. Intinya meminimalisir kecurangan dalam pajak peneng.
Kebijakan penggantian stiker bukti telah bayar pajak peneng menggunakan plat besi juga jadi alternatif kerugian si taat pembayar pajak. Sebab sebelumnya stiker bukti bayar pajak peneng berbahan kertas yang mudah rusak bila terkena air hujan.
Tentu ini merugikan sebagian pengguna sepeda karena jika ada razia pemeriksaan pajak peneng mereka terkena tilang.
Sebab tidak ada stiker bukti telah bayar pajak peneng di sepeda, padahal beberapa bulan lalu ia baru bayar. Namun stiker itu hilang atau rusak akibat air hujan, terpaksa harus membayar lagi pajak peneng di tempat razia.
Baca Juga: Sejarah Gelar Haji Zaman Kolonial Belanda, Jadi Alat Kontrol Sosial
Setelah penggantian dari kertas menjadi plat besi kerugian semacam itu tak berlaku lagi. Selain itu stiker plat ini memiliki fungsi estetika.
Enak dipandang karena terpampang logo kantor pajak yang masing-masing daerah berbeda secara bentuk, namun sama secara warna. Merah semua.
Pajak Peneng Masih Berlaku Sampai Tahun 1990-an
Menurut para pengamat sejarah transportasi, penegakan pajak peneng untuk sepeda merupakan salah satu warisan kolonial yang berlaku sampai akhir abad ke 20.
Tepatnya pada tahun 1990-an pemerintah Republik Indonesia masih menarik pajak sepeda kepada para pengguna transportasi kayuh ini di berbagai daerah.
Pada tahun 1970-1990 pajak peneng sepeda juga disebut dengan istilah plombir. Selain sepeda penerapan pajak peneng juga berlaku untuk transportasi tradisional seperti becak. Hasil pajak ini nantinya jadi pendapatan negara yang berfungsi membangun kesejahteraan bersama.
Menurut catatan sejarah transportasi di Indonesia, terdapat beberapa daerah aktif pengguna sepeda langganan pajak peneng. Daerah tersebut antara lain terdiri dari, Banyuwangi, Kudus, Bandung, Kediri, dan Yogyakarta.
Bahkan di Yogyakarta sendiri penggunaan sepeda masih terlihat massif hingga tahun 2005. Kendati begitu pajak peneng untuk sepeda sudah tiada, tepatnya peneng sepeda berhenti sejak tahun 1993-1995-an.
Penarikan pajak peneng untuk sepeda biasanya dimulai awal tahun di bulan Januari. Namun sejak tahun 1970-an jadwal bayar peneng sepeda jatuh setiap bulan Februari. Para pengguna sepeda harus taat bayar peneng setiap 3 bulan sekali dalam satu tahunnya. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)