Pajak padi di Garut merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk menghindari kelaparan akibat terjadinya gagal panen pada tahun 1919. Kendati memiliki tujuan yang baik, hasil pajak padi hanya boleh dinikmati oleh kalangan Eropa.
Sedangkan kaum pribumi tidak boleh menikmati padi pemberian pemerintah kolonial dan terpaksa menghadapi kelaparan dengan tabah. Tentu kebijakan ini timpang, Belanda tidak mempedulikan nasib kaum pribumi, mereka hanya memperhatikan orang-orang sebangsanya.
Dari peristiwa ini para petani di Garut mulai benci pada Belanda. Apalagi setelah ada kebijakan yang mengharuskan para petani padi di Cimareme menyerahkan 40 pikul padi setiap panen pada pemerintah Belanda.
Ketika berada dalam tekanan Belanda, para petani di Garut mendapatkan pertolongan dari priyayi Sunda yang tanah dan sawahnya luas bernama, H. Hasan Arif. Ia menentang kebijakan pajak padi yang telah ditetapkan oleh Belanda.
Demi menjaga perdamaian satu sama lainnya, H. Hasan Arif sempat ikhlas memberikan 10 pikul padi saat panen untuk Belanda. Ia menolak harus menyerahkan 40 pikul, namun akibat idealisme H. Hasan yang tinggi, Belanda jengkel dan berencana menangkapnya.
Belanda juga mengintimidasi seluruh petani pengikut H. Hasan. Pemerintah akan menyita sawah dan beberapa tanah termasuk punya H. Hasan.
Intimidasi ini membuat para petani di Cimareme, Garut mendidih emosi. Mereka melawan dan memberontak Belanda mati-matian.
Baca Juga: Peran Ulama Kebumen dalam Revolusi Kemerdekaan: Berani Mati Syahid
Pajak Padi Membangkitkan Persatuan Petani di Garut Tahun 1919
Menurut Anhar Gonggong dalam buku berjudul, “Sejarah Daerah Jawa Barat” (1977), penetapan pajak padi yang Belanda terapkan pada petani di Cimareme, Garut sejak tanggal 17 Maret 1919 telah membangkitkan rasa persatuan petani. Mereka serentak sepakat untuk menolak penyerahan hasil panen 40 pikul pada Belanda.
Namun Belanda terus mengintimidasi dan meneror para petani di Garut. Pemerintah kolonial mengirimkan bala tentaranya untuk menakut-nakuti petani supaya lekas memberikan hasil panen sesuai dengan ketetapan berlaku.
Tekanan ini tak berhasil menggertak petani di Garut untuk menyerahkan 40 pikul hasil panennya. Hingga pada puncaknya tanggal 4 Juli 1919 para petani di Cimareme, Garut mengadakan pemberontakan melawan Belanda. Pemimpin pemberontakan ini tidak lain adalah H. Hasan Arif, sesepuh petani di Garut yang kaya raya.
H. Hasan Arif mengadakan pemberontakan petani di Garut menggunakan semagat perang Jihad. Maka dari itu seluruh petani yang ikut berperang melawan Belanda pakaiannya putih bersih –mempercayai pakaian putih berlumur darah jadi saksi jihad.
Belanda bersama pasukan bersenjata lengkap mendatangi rumah H. Hasan Arif yang sudah penuh dengan ribuan petani mengumpul.
Tak menunggu aba-aba para petani menyerang tentara Belanda secara membabi-buta, banyak korban tewas mengenaskan. Belanda memenangkan perang karena punya senjata api yang lengkap.
Sedangkan para petani hanya membekali diri di medan tempur dengan menggunakan peralatan kerja sehari-hari seperti, golok, pedang, palu, celurit, dan bambu runcing. Banyak petani yang tewas termasuk pemimpin pemberontakan –H. Hasan Arif.
Walaupun kalah berperang, peristiwa ini mengilhami beberapa gerakan petani di pulau Jawa. Belanda menghadapi banyak persoalan baru akibat pemberontakan petani yang terjadi di Garut tahun 1919. Mereka sadar petani mempunyai tingkat solidaritas yang tinggi.
Baca Juga: Pajak Zaman Kolonial Belanda, Penyebab Lahirnya Perbanditan
Sistem Pajak Padi Memiskinkan Pemerintah Kolonial
Berbeda dengan sejarawan senior Anhar Gonggong yang menyoroti kausalitas sejarah dari peristiwa pemberontakan petani Garut 1919, kali ini Robert van Niel dalam “Munculnya Elite Modern Indonesia” (1984) menyoroti peristiwa ini dari sudut pandang ekonomi.
Menurut Robert ternyata akibat peristiwa penarikan pajak padi yang memaksa petani Garut mengadakan perlawanan kolektif menyebabkan keadaan ekonomi pemerintah kolonial mengalami kemiskinan –krisis.
Pertanyaannya mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak sebab, namun salah satunya bisa terjawab karena banyak petani tebu yang mengalihfungsikan lahannya untuk bertanam padi (berubah jadi sawah). Padahal tebu pada saat itu masih menjadi komoditas penting kolonial yang menghasilkan banyak uang.
Oleh karena itu keadaan ekonomi pemerintah kolonial saat itu mengalami ketidakstabilan. Pemerintah di Batavia pernah melarang petani tebu mengalihfungsikan lahannya, namun petani pemilik ladang tak mendengarkan perintah tersebut.
Mereka justru memberontak balik dan melawan setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Belanda –seperti melarang bertanam padi di ladang tebu dengan mempertanyakan bagaimana nasib para petani apabila mengalami kelaparan?
Para petani saat itu terancam kelaparan karena ladang padi mereka mengalami kekeringan. Musim kemarau panjang merupakan salah satu sebab terjadinya gagal panen. Oleh sebab itu satu-satunya jalan mempertahankan kehidupan yaitu memanfaatkan ladang subur kaya mineral untuk ditumbuhi tanaman padi.
Fenomena Pajak Padi Jadi Media Penggaet Massa PKI di Jawa Barat
Karena peristiwa pemberontakan petani di Cimareme, Garut, PKI memanfaatkan fenomena pajak padi jadi media menggaet pengikutnya di Jawa Barat. Kala itu PKI terus menggodok isu ini sebagai wacana perlawanan kaum tani pada pemerintah Belanda yang licik.
Baca Juga: Kekejaman Tentara NICA di Banten, Melanggar Batas Kemanusiaan
Wacana ini pun berhasil dilakukan PKI, partai kiri yang kalah di Jawa Barat ini mendadak punya banyak massa dan melakukan pemberontakan pertama di Ciamis pada tahun 1926. Para pengikut partai ini menyasar elit modern lokal dan pemerintah kolonial di kota tersebut.
Namun karena persiapan kurang matang, pemberontakan PKI di Ciamis mudah terpatahkan. Tak selang beberapa lama dari kejadian, para pelaku utama tertangkap. Bahkan mereka menerima vonis hukuman mati, pemerintah kolonial menggantung tiga tokoh komunis Ciamis di alun-alun kota.
Dari peristiwa penetapan pajak padi kita akhirnya paham bahwa fenomena ini menyebabkan banyak persoalan. Pemerintah Belanda terus mendapat perlawanan dari pribumi, hal ini jadi bukti nyata bahwa sistem pajak padi adalah kebijakan yang memberatkan rakyat.
Karena ketetapan pajak padi ini pula citra pemerintah kolonial Hindia Belanda memburuk. Sudah 100 persen pribumi dari golongan petani membenci kebijakan kolonial terutama saat menetapkan pajak –menguntungkan sepihak tanpa menimbang kesulitan rakyat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)