Sejarah Museum Fatahillah tak dapat dipisahkan dari narasi Batavia era kolonial Belanda pada tahun 1700 masehi. Bangunan luas dan megah yang berdiri di komplek Batavia ini menjadi pusat pemerintahan kota Jakarta saat itu.
Museum Fatahillah merupakan bangunan eks –Balai Kota Jakarta yang pembangunannya sejak tahun 1707 dan selesai pada tahun 1710. Sebelumnya tempat ini adalah pusat pemerintahan kota pelabuhan zaman VOC tahun 1627.
Saat ini Museum Fatahillah menjadi destinasi wisata sejarah yang berganti nama menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Banyak tetamu domestik dan mancanegara yang datang ke museum tersebut. Bahkan tak jarang dari mereka membuat film dokumenter tentang sejarah rempah zaman kejayaaan VOC.
Lantas bagaimana Museum Fatahillah ini bertransformasi menghadapi kemajuan global?
Sejarah Museum Fatahillah: Peninggalan Transisi Pemerintahan VOC ke Hindia Belanda
Menurut Fauzi Firdaus dkk, dalam jurnal arsitektur Purwarupa berjudul, “Revitalisasi Kawasan Kota Tua Jakarta Dengan Alternatif Konsep TOD” (Vol. 02, No. (1) Maret 2018), Museum Fatahillah merupakan bangunan bersejarah yang ada di zaman peralihan atau masa transisi pemerintahan VOC ke Hindia Belanda.
Saat itu VOC mengalami kebangkrutan pada tahun 1700-an. Sedangkan Museum Fatahillah yang dahulu menjadi pusat administrasi VOC di kota pelabuhan Batavia sedang dalam proses renovasi total pada tahun 1707. Proses renovasi baru selesai pada 1710.
Baca Juga: Pameran Pasar Gambir Tahun 1933, Cikal Bakal Jakarta Fair
Maka dari itu pembangunan Museum Fatahillah merupakan bagian dari revitalisasi lingkungan kerja yang mendapatkan biaya pemerintah Hindia Belanda.
Konon bangunan Museum Fatahillah memiliki arsitektur yang sama dengan Gedung Dam di Belanda. Tempat pemerintah Belanda menjalankan kerja-kerja administrasi kenegaraan. Artinya gedung Museum Fatahillah mempunyai tingkat keamanan di atas rata-rata dari pada gedung-gedung lainnya yang ada di Jakarta.
Museum Fatahillah yang dulunya adalah Balai Kota Batavia menyimpan banyak dokumen penting pemerintahan. Maka dari itu tingkat keamanan dan pengamanan pembangunan kokoh dan terjamin.
Adapun beberapa fungsi menarik dari Balai Kota Batavia zaman kolonial antara lain menjadi: ruang pengadilan, ruang tahanan, dan jadi ruang penyimpanan distribusi rempah yang akan diterbangkan ke negeri Induk (Belanda).
Maka dari itu sudah menjadi kewajaran apabila gedung ini mendapatkan tingkat pengamanan yang ketat. Termasuk struktur arsitek yang kokoh dan bisa meminimalisir kehancuran seperti runtuh, kebakaran, dan kebanjiran.
Menariknya di depan bangunan Museum Fatahillah dahulu terdapat jalur trem (kereta kota) yang menghubungkannya ke Weltevreden atau Jakarta sekitar Monas dan Istana Merdeka. Namun sekarang petilasannya sudah tak ditemukan mengingat adanya peremajaan bangunan dan lingkungan yang harus menghilangkan jejak jalur tersebut.
Museum Fatahillan pernah jadi Sasaran Perang Tentara Mataram
Menurut A. Hauken SJ dalam buku berjudul, “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta” (2015), pada zaman kejayaan VOC yang berpusat di Oude Batavia, Museum Fatahillah yang dahulunya adalah kantor pemerintahan VOC menjadi sasaran perang tentara Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Baca Juga: Razia PSK di Batavia Tahun 1936, Menteng Jadi Pusatnya
Pada tahun 1620 tentara Mataram menyerang pusat pemerintahan VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen. Mereka menggempur kota pelabuhan yang indah itu dengan ribuan pasukan. Akibatnya komplek bangunan Museum Fatahillah dulu nyaris hancur..
Namun karena wabah kolera yang menerjang wilayah Batavia saat itu, membuat peperangan berhenti. Situasi politik semakin reda dan VOC memilih mundur akibat banyaknya praktik korupsi dalam perdagangan.
Belanda mengambil alih dan membuat struktur pemerintahan VOC berganti nama menjadi Hindia Belanda.
Sejak tahun 1710 bangunan tilas VOC ini resmi direvitalisasi kembali dan berubah menjadi bangunan indah dan megah: pusat pemerintahan daerah Batavia. Zaman itu populer dengan sebutan Balai Kota Batavia.
Museum Fatahillah menjadi fakta keras dari adanya zaman kolonial yang memperhatikan tata letak pembangunan kota yang indah. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menginginkan pusat pemerintahan mereka penuh dengan gedung-gedung berarsitek Eropa seperti yang ada di negara induk.
Memiliki Air Mancur: Sumber Mineral Bagi Masyarakat Oude Batavia
Menurut pelukis kenamaan asal Belanda, Yohannes Rach, dahulu di depan percis bangunan Museum Fatahillah terdapat air mancur yang menjadi satu-satunya sumber mineral bersih masyarakat Oude Batavia.
Banyak orang-orang Oude Batavia mengambil air bersih untuk keperluan minum dan mandi dari air mancur tersebut. Konon sumber utama mineral ini berasal dari mata air yang terletak di seberang Museum Fatahillah yaitu kompleks pecinan, Glodok.
Baca Juga: Penangkapan Si Pitung Tahun 1893, Jawara Betawi Kontroversial
Melihat kekayaan mineral yang dimiliki wilayah tersebut tak disia-siakan oleh pemerintah kolonial. Mereka kemudian menginisiasi pembangunan aliran mata air dari Glodok ke beberapa titik di lingkungan Oude Batavia.
Saluran mata air itu terbuat dari pipa besi yang panjang. Pipa besi panjang itu kemudian disalurkan ke tengah-tengah halaman yang luas depan Museum Fatahillah. Dulu halaman tersebut bernama Stadhuisplein.
Masyarakat Oude Batavia senang dengan pembangunan mata air bersih di wilayah Museum Fatahillah. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan kekayaan alam tersebut. Tak jarang anak-anak kecil bermain air pancoran di tengah Stadhuisplein.
Namun sumber air itu mendadak hilang sejak abad ke-19 sampai dengan saat ini. Entah apa penyebab hilangnya mata air tersebut, tetapi besar kemungkinan akibat adanya pemanasan global yang terus meningkat setiap perubahan zaman. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)