Sejarah intelijen di Indonesia merupakan catatan penting untuk menjelaskan berbagai fenomena yang jarang diketahui banyak orang.
Sudah sejak lama intelijen menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai peristiwa besar di Indonesia. Salah satunya adalah rangkaian-rangkaian peristiwa selama pemerintahan Orde Baru.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Orde Baru memberikan catatan tersendiri dalam urusan sejarah intelijen di Indonesia.
Beberapa peristiwa penting seperti, Operasi Militer Aceh, Timor-Timur, Papua, Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974, hingga peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 merupakan beberapa peristiwa yang terdapat campur tangan intelijen di dalamnya.
Peristiwa yang terjadi pada periode Orde Baru tersebut memberikan gambaran penting bahwa intelijen menjadi alat politik bagi orde baru untuk menekan kelompok masyarakat tertentu.
Hingga hari ini pada periode reformasi di Indonesia, intelijen masih menjadi salah satu bagian dari catatan sejarah yang tidak lepas dari peran intelijen.
Tulisan ini akan mengulas tentang sejarah intelijen di Indonesia, dari orde baru hingga era reformasi.
Awal Mula Sejarah Intelijen di Indonesia
Menurut Muhammad Haripin dalam buku “Membangun Intelijen Profesional Di Indonesia: Menangkal Ancaman, Menjaga Kebebasan” (2022), catatan mengenai awal mula Badan Intelijen Indonesia atau BIN sebenarnya sudah bisa dilacak sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Waktu itu bagian intelijen diberi nama Badan Istimewa (BI) yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis. Badan ini dipimpin oleh Zulkifli Lubis bersama dengan 40 mantan Pembela Tanah Air (PETA) yang pernah menjadi penyelidik militer khusus.
Baca Juga: Sejarah Supersemar 1966, Penanda Beralihnya Orde Lama ke Orde Baru
Perjalanan sejarah badan intelijen di Indonesia tidak selalu mulus. Berbagai dinamika, mulai dari perubahan nama, badan yang menaungi, hingga persaingan antara angkatan dan kepolisian.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Presiden Sukarno kemudian membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) yang dikomandoi oleh Kolonel Laut Pirngadi.
Kehadiran BKI ini diharapkan dapat memberikan garis komando yang jelas terhadap urusan operasi intelijen yang sebelumnya masih bergerak secara individual.
Selanjutnya BKI ini berganti nama menjadi BPI atau Badan Pusat Intelijen yang dikepalai oleh Dr. Soebandrio
Intelijen Masa Orde Baru
Kepemimpinan Indonesia di bawah Presiden Suharto menempuh jalan yang cukup panjang. Hampir setengah dari perjalanan Bangsa Indonesia sebagai sebuah negara dipimpin oleh Presiden Suharto.
Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat pekerjaan-pekerjaan intelijen yang membuat bangunan Orde Baru berdiri kokoh.
Kutipan ini dapat ditemukan dalam buku Tim Kajian Keamanan Nasional BRIN, yang berjudul, “Intelijen dan Kekuasaan Soeharto” (2022)
Intelijen seringkali dijadikan sebagai senjata keamanan bagi rezim orde baru. Sehingga seringkali hal-hal yang bersifat mengancam negara akan disingkirkan tanpa memandang status sosial seseorang.
Menurut Andi Widjijanto dan Artanti Wardhani dalam buku “Hubungan Intelijen Negara 1945-2004” (2004), terdapat berbagai peran intelijen dalam kasus pembersihan komunisme, penggalangan kelompok radikal Islam, intervensi politik ketika pemilu, kontrol perburuhan, kontrol media massa, penghilangan orang, hingga operasi-operasi untuk menghadapi gerakan separatis di Aceh dan Papua.
Baca Juga: Konflik Soemitro dan Ali Moertopo, Dua Jenderal yang Saling Sikut
Dinamika Intelijen Orde Baru
Meskipun ditopang oleh kinerja intelijen yang efektif menopang rezim Orde Baru, terdapat dinamika tersendiri dalam perjalanan intelijen di Indonesia selama Orde Baru.
Fase pertama perjalanan intelijen periode orde baru ditandai dengan peristiwa G30S di Indonesia.
Suharto yang waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad mengambil alih Angkatan Darat dan memimpin sebuah badan baru yang bernama Komando Operasi pengamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Selama periode ini pun terdapat berbagai Kopkamtib, Operasi Khusus (Opsus), dan Pusat Psikologi Angkatan Darat (PsiAD). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam berbagai badan tersebut seperti Ali Moertopo, Yogo Sugama, dan orang-orang terdekat Suharto.
Secara umum periode awal perjalanan intelijen Orde Baru di fase awal ini mulai dari tahun 1965-1971.
Fase kedua intelijen di Indonesia dimulai pada tahun 1971-1980-an. Periode ini merupakan fase-fase pengukuhan kekuasaan Presiden Suharto dan intelijen di Indonesia.
Banyak jabatan publik diduduki oleh militer di bawah ABRI. Faktor inilah yang menyebabkan pengawasan terhadap masyarakat menjadi sangat ketat.
Namun, di sisi yang lain fase ini menjadi fase-fase teror bagi masyarakat dan berbagai pelanggaran HAM pun kerap kali terjadi.
Fase ini menjadi salah satu fase yang sangat sering dijadikan sebagai kajian akademik bagi para peneliti di Indonesia.
Fase ketiga dari perjalanan intelijen di Indonesia dimulai pada tahun 1980. Pada tahun-tahun tersebut Presiden Suharto mulai mengalami keretakan hubungan dengan Benny Moerdani.
Keretakan hubungan inilah yang menjadi tanda-tanda menurunnya kepercayaan Presiden Suharto terhadap kalangan intelejen di Indonesia terutama dari militer.
Terbukti tepat pada tahun 1988, Benny Moerdani dipecat dari jabatannya sebagai Kepala Kopkamtib dan Panglima ABRI.
Baca Juga: Sejarah Motor Jatayu, Harley Davidson Buatan Indonesia
Era Reformasi dan Perkembangan Intelijen Saat Ini
Seiring dengan keruntuhan Orde Baru pada 27 Mei 1998, perubahan politik semakin terasa. Walaupun peta politik berubah namun tidak begitu berpengaruh terhadap dunia intelijen di Indonesia.
Menurut Ikrar Nusa Bhakti dalam, “Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru” (2017), pada awal reformasi di Indonesia intelijen tidak mendapatkan perhatian yang serius.
Reformasi yang lemah di bidang intelijen ini sebenarnya merupakan hal yang wajar. Mengingat kajian-kajian waktu itu tidak terlalu menyoroti permasalahan intelijen.
Menurut Nicole Ball dalam, “Democratic Governance in The Security Sector Reform” (2002), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan melakukan reformasi terhadap sektor keamanan termasuk intelijen.
Pertama, reformasi keamanan harus dilakukan dengan menerapkan pendekatan multidimensional, interdisipliner, dan interelasi.
Kedua, reformasi intelijen juga harus sejalan dengan reformasi politik yang terjadi. Konsekuensinya, reformasi bidang intelijen ini juga harus dibarengi dengan tata ulang demokrasi yang transparan dengan menjunjung hak asasi manusia.
Ketiga, reformasi intelijen ini harus melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, institusi keamanan, hingga masyarakat.
Hingga hari ini rintangan demi rintangan masih terus dihadapi dalam upaya melakukan reformasi terhadap intelijen. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)