Sejarah Gerajak atau Gerakan Rakjat Kelaparan berawal dari konflik sosial di Gunung Kidul, Yogyakarta pada tahun 1964.
Gerakan Rakjat Kelaparan atau Gerajak tergolong dalam bentuk konflik sosial. Sebab selain melakukan demonstrasi pada para pejabat pemerintah, para pelaku aksi Gerajak ini menyasar elit lokal akibat terjadinya degradasi ekonomi yang mencolok.
Elit lokal di daerah Gunung Kidul yang terdiri dari kepala desa, pemilik tanah yang luas (tuan tanah), dan tengkulak padi hidup bermewah-mewahan di tengah kesulitan pangan. Pemandangan timpang ini memicu kemarahan petani –kalangan kelas bawah.
Para petani di Gunung Kidul merasa tidak diperlakukan secara adil oleh pemerintah daerah. Padahal jasa-jasa para petani di Gunung Kidul begitu berarti untuk kehidupan orang-orang kaya seperti kepala desa, tuan tanah, dan para tengkulak beras itu sendiri.
Baca Juga: Perang Rakyat Pekanbaru: Pejuang Menang, Belanda Terusir
Di sisi lain kesusahan ekonomi dan pangan yang menyebabkan kelaparan terjadi pula oleh adanya faktor cuaca.
Sepanjang tahun 1960-an Gunung Kidul dilanda kekeringan panjang. Selain itu daerah di sana juga terkenal dengan tanahnya yang tak subur. Minim sumber daya alam.
Sejarah Gerajak, Dipicu Paceklik
Menurut Miftahul H. Fachrurozi dalam Jurnal Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang berjudul, “Dinamika Masyarakat Petani di Gunung Kidul tahun 1950-an hingga 1980-an”, bencana paceklik memicu lahirnya konflik sosial bernama Gerajak.
Gunung Kidul memiliki kontur geografis minim sumber daya alam. Tanahnya gersang tak subur, apalagi sepanjang tahun 1960-an mengalami kemarau yang tak berkesudahan.
Para petani mengeluh kesulitan menanam padi tanpa air dan cuaca yang gersang. Apalagi saat itu hama tikus ikut memperparah keadaan sawah milik petani di Gunung Kidul.
Karena dua faktor ini pertanian di sana gagal, para petani mengalami gagal panen, mereka hanya bisa menyelamatkan seperempat padi dengan kualitas rendah.
Mereka terpaksa mengkonsumsi beras tak layak. Selain dengan beras para petani di Gunung Kidul pun memanfaatkan tumbuhan jagung untuk memenuhi kelengkapan gizi sehari-hari.
Tumbuhan jagung mampu hidup dan berbuah subur di tanah gersang semacam Gunung Kidul, oleh karena itu jagung dijadikan cadangan pengganti beras.
Baca Juga: Strategi Putus Jembatan, Taktik Perang Ambarawa Taklukan Belanda
Berdasarkan hitungan grafik pertanian di Gunung Kidul tahun 1960-1964, tanaman padi mengalami penurunan drastis sampai 55%. Namun tanaman jagung tetap stabil bisa melayani kebutuhan konsumen, jagung hanya turun 25% akibat terjadinya paceklik.
Terjadinya Fenomena Busung Lapar
Tidak hanya terjadi di negara-negara miskin dunia, fenomena busung lapar juga sempat melanda masyarakat Gunung Kidul pada tahun 1960-an.
Terutama masyarakat dari kalangan petani, mereka sulit mencari kebutuhan konsumsi akibat harga-harga makanan saat itu mahal. Selain itu karena terjadi paceklik berkepanjangan para petani sulit mendapatkan beras yang memadai untuk makan satu keluarga.
Para petani di Gunung Kidul kelaparan, mereka sakit-sakitan tak jarang ada yang menyerah dan meninggal dunia akibat busung lapar.
Pemandangan miskin petani Gunung Kidul yang tragis berbanding terbalik dengan kehidupan hedonis elit lokal di sekitarnya. Mereka hidup enak dan tak khawatir mengalami kelaparan. Elit lokal di Gunung Kidul punya cukup persediaan beras yang berasal dari hasil timbunan dari bulan panen yang telah lalu.
Peristiwa tak adil ini mengundang kemarahan petani kelaparan. Apalagi ketika itu tersiar kabar Pangreh Praja (setara pegawai daerah) di daerah Gunung Kidul mencatut uang rakyat alias korupsi.
Akibat peristiwa ini petani kelaparan menghimpun diri dalam wadah bernama Gerajak (Gerakan Rakjat Kelaparan). Mereka melakukan pemberontakan pada para penguasa korup dan elit lokal yang tidak menghargai keadilan.
Konflik sosial pun tak terhindarkan. Pada puncaknya Gerajak secara brutal terjadi pada tahun 1964 dan satu hingga dua tahun setelahnya. Para petani sampai ada yang melukai dan teror pembunuhan pada kelompok elit lokal yang mencolok.
BTI Mempengaruhi Petani Gunung Kidul
Menurut Fadjar Pratikto dalam buku berjudul, “Gerakan Rakyat Kelaparan” (2000), BTI (Buruh Tani Indonesia) mempengaruhi petani Gunung Kidul untuk membuat gerakan mereka melawan pembiaran kelaparan oleh pejabat setempat semakin massif pada Januari 1964.
Baca Juga: Sejarah Pajak Padi di Garut 1919, Pemicu Pemberontakan Petani
Para petani dalam Gerajak melakukan demonstrasi pada Bupati Gunung Kidul, KRT. Djojodiningrat. Demonstrasi pertama sukses, Bupati Djojo menyanggupi permintaan pendemo. Ia memberi bantuan dan mensubsidi harga kebutuhan pokok agar harganya tidak terlalu melonjak tinggi.
Meskipun sudah mendapatkan peradilan dari Bupati Gunung Kidul, Gerakan Rakyat Kelaparan terus berkobar. Semangat petani yang awalnya meminta keadilan mendadak berubah menjadi aksi kriminal.
Akibat peristiwa ini BTI membubarkan Gerajak. Perkumpulan Buruh Tani Indonesia itu tak mau bertanggung jawab apabila kerusuhan ini terjadi dan menyebar ke mana-mana. Maka dari itu mereka membubarkan Gerajak sehingga aksi kriminal petani pada pemerintah sirna.
Namun Fadjar Pratikto menganalisis penyebab hilangnya Gerajak, pertama karena wabah kelaparan selesai –dibantu pemerintah daerah, Bupati KRT. Djojodiningrat, atau karena aksi kriminalitas yang membabi-buta.
Gerajak adalah catatan sejarah kelas bawah yang pernah ada di Indonesia, mereka hidup miskin, kelaparan, dan jadi warna kontras dengan kehidupan kaum elit yang hedonis. Gerajak adalah perlawanan masyarakat desa menuntut keadilan dan kesejahteraan hidup. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)