Sejarah erupsi gunung Krakatau pada tahun 1883 merupakan sebuah bencana alam yang tak terduga. Kendati banyak memakan korban jiwa, debu vulkanik dan sisa lahar panas yang telah berubah menjadi dingin menjadi media pembawa berkah bagi penduduk sekitar.
Selain itu erupsi gunung Krakatau juga memicu timbulnya pembentukan curah hujan yang meningkat. Sehingga persediaan air untuk tanaman padi dan perkebunan milik masyarakat sekitar Krakatau berlimpah, begitu pula dengan kualitas tanah yang subur.
Kesuburan tanah menjadi faktor penting dalam sejarah erupsi gunung Krakatau tahun 1883. Karena aktivitas vulkanik yang besar ini masyarakat yang tinggal di sekitar Krakatau tak pernah terdampak wabah kelaparan, sebagaimana penduduk lain di pulau Jawa lainnya.
Baca Juga: Sejarah Perlawanan Umat Islam Ciamis terhadap Belanda, Menginspirasi Bandung Lautan Api
Hal ini mengundang penasaran dari para ilmuwan botanis di Barat. Mereka ingin meneliti kontur geografis gunung Krakatau secara utuh.
Para botanis dari berbagai negara di Barat dunia hendak mengetahui kandungan apa yang jadi penyebab suburnya tanah setelah aktivitas vulkanis mereda satu bulan.
Sejarah Erupsi Gunung Krakatau Tahun 1883, Jadi Perhatian Serius Botanis Barat
Menurut sejarawan Universitas Padjajaran, Fadly Rahman dalam jurnal sejarah, vol. 2 (2), 2019: pp. 14-31 berjudul, “Tumbuh Setelah Bencana: Perkembangan Penelitian Botani di Hindia Belanda Sesudah Erupsi Krakatau Tahun 1883”, erupsi Krakatau mendapat perhatian serius dari para botanis Barat.
Erupsi gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 menimbulkan dampak global (mendunia). Bagi dunia, getaran letusan Krakatau pada tahun itu sampai ke negeri Barat. Gempa dan abu vulkanik bertebaran di jalan-jalan raya.
Selain itu akibat letusan Krakatau ini beberapa hutan hujan tropis yang Belanda jaga dan lestarikan di sekitar Banten rusak. Namun tak lama setelah aktivitas vulkanik Krakatau reda, hutan hujan tropis itu tumbuh rindang kembali. Bahkan beberapa di antara pepohonan lahir jenis tumbuhan baru.
Dari fenomena alam langka seperti inilah para botanis Barat berlomba-lomba meneliti dampak vulkanik dari meletusnya Gunung Krakatau tersebut. Antara lain para peneliti botanis itu terdiri dari, Treub (1886), Verbeek (1886), Backer (1888), Valeton (1905), Ernst (1907), Ter Braake (1945), dan Mohr (1945).
Mereka hanya sebagian ahli botanis yang namanya terkenal. Konon masih banyak nama-nama lain ilmuwan botanis Barat yang belum tersebutkan. Para ilmuwan itu yakin letusan gunung Krakatau merupakan bencana pembawa berkah, terutama bagi kesuburan alam di sekitarnya.
Baca Juga: Sejarah Serangan Sekutu di Bekasi, Ribuan Penduduk Kehilangan Tempat Tinggal
Abu Vulkanik Gunung Krakatau Jadi Zat Penyubur Tanaman
Menurut para ilmuwan Barat di atas, abu vulkanik yang keluar dari mulut Krakatau pada 1883 telah membawa manfaat kesuburan bagi tanah di lingkungan sekitar.
Tidak hanya menyuburkan kualitas tanah, abu vulkanik tersebut juga bisa membuat tanaman langka bertumbuh sehat di hutan hujan tropis sekitar Krakatau.
Salah satu tumbuhan langka yang ada adalah bunga Rafflesia. Tumbuhan langka yang penuh cerita ini ditemukan tumbuh segar dan sehat di hutan hujan tropis sekitar Krakatau, sekarang ada di daerah Ujung Kulon, Banten.
Bahkan Raffles mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam bukunya berjudul, “The History of Java” menyebut abu vulkanik gunung Krakatau banyak diburu oleh para petani di pesisir Jawa. Mereka percaya abu vulkanik Krakatau memiliki banyak manfaat untuk tumbuhan konsumsi seperti, padi, sayur-mayur, dan buah-buahan.
Selain menyuburkan tanah, abu vulkanik dari letusan Krakatau tahun 1883 juga memicu lahirnya pendatang baru dari luar Banten. Mereka ingin tinggal di sekitar Krakatau karena kualitas tanah yang baik dan cocok ditanami segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Masyarakat Pendatang di Banten Memicu Polemik
Menurut botanis yang juga seorang penjelajah handal, Wallace and Mohr, aktivitas vulkanik Krakatau yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat Banten membawa semangat kelompok pendatang tinggal di daerah Krakatau.
Baca Juga: Kisah Perdana Menteri Sjahrir Lolos dari Pembunuhan Belanda
Mereka ingin tinggal di sana karena pertanian masyarakat Banten cenderung subur setelah meletusnya Krakatau pada 1883. Pendatang ini berasal dari masyarakat petani di daerah Jawa –terutama daerah tak subur, kekeringan dan miskin sumber daya alam seperti Kebumen bagian Selatan.
Akibat aktivitas ini daerah sekitar Krakatau yang saat ini termasuk daerah Merak dan Banten mengalami jumlah penduduk meningkat secara signifikan. Fenomena ini memicu timbulnya polemik, pribumi mengaku risih dengan pendatang karena para pendatang menyerobot banyak lahan mereka.
Kendati berpolemik berkepanjangan, masyarakat sekitar Krakatau membentuk struktur sosial yang baik.
Mereka rukun dan hidup bersama-sama, berbagi penghidupan dengan cara bergotong royong dalam mengelola pertanian. Mereka juga hidup dalam ketenangan tanpa khawatir mengalami kelaparan akibat gagal panen.
Apalagi takut kekurangan air bersih, masyarakat sekitar Krakatau tak khawatir itu semua terjadi. Sebab alam di sekitar tempat tinggalnya memiliki curah hujan tinggi karena aktivitas vulkanik Krakatau yang terus terjadi hingga saat ini. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)